READERS NOTE

Dawet Ayu Menggerakkan Ekonomi Kreatif

Editor: iswidodo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ahmad Baihaqi Midhol Mahasiswa Pascasarjana Administrasi Publik Unsoed


Dawet Ayu Menggerakkan Ekonomi Kreatif
oleh Ahmad Baihaqi Midhol
Mahasiswa Pascasarjana Administrasi Publik Unsoed

DAWET Ayu Banjarnegara kini tak hanya dikenal sebagai minuman tradisional yang menyegarkan, tetapi juga telah resmi diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia tahun 2024. Penetapan ini diumumkan pada acara Apresiasi Warisan Budaya Indonesia (AWBI) 2024 di Jakarta tanggal 16 November 2024, sebuah pencapaian yang menjadi kebanggaan bagi Kabupaten Banjarnegara.
Keputusan ini tidak hanya meneguhkan Dawet Ayu sebagai bagian dari kekayaan kuliner nasional, tetapi juga membuka peluang besar untuk mendukung ekonomi kreatif berbasis budaya lokal.
Kearifan Lokal
Dawet Ayu Banjarnegara bukan sekadar minuman tradisional, melainkan sebuah cerita panjang tentang inovasi, kearifan lokal, dan sejarah yang mengakar kuat di tanah Banjarnegara. Asal usulnya, yang menurut penelusuran penulis lakukan, dimulai pada era 1930-an.
Pada masa penjajahan Jepang, di daerah Rajesa Madukara Kabupaten Banjarnegara, pasangan suami istri Munardjo dan Marfungah, membawa dagangan mereka ke berbagai lokasi, termasuk pemukiman tentara penjajah dan pengungsi setempat. Dagangan yang mereka bawa adalah minuman penyegar yang mereka sebut sebagai dawet, hasil olahan dari bahan-bahan seperti santan, cendol, dan gula merah yang disajikan dalam batok kelapa.
Pilihan bahan baku seperti beras, yang umumnya digunakan sebagai nasi, diubah menjadi cendol, sedangkan kelapa, bahan yang mudah ditemukan, diolah menjadi santan dengan batoknya digunakan sebagai wadah penyajian. Penyediaan gula merah, yang pada saat itu terbuat dari aren, menjadi lebih memudahkan karena kebetulan Munardjo memiliki bahan-bahan tersebut di rumahnya pada masa itu.
Inovasi dalam pembuatan dawet ini mencerminkan kepiawaian Munardjo dalam memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia secara luas selama masa penjajahan. Melalui transformasi sederhana ini, Munardjo menciptakan minuman yang khas dan terus dikenal sebagai dawet hingga saat ini.
Asal Usul
Nama “dawet ayu” itu mulai tahun 1972 ketika jualan di dekat hotel Setia Banjarnegara. Waktu itu ada pelawak dari Banyumas namanya Peang penjol yang memberi “dawet ayu” nama karena ibunya ayu. Sejak saat itulah masyarakat kemudian sering menyebutnya sebagai dawet ayu.
Dawet Ayu Banjarnegara menampilkan keunikan tertentu melalui desain gerobaknya, yang terkait erat dengan filosofi Semar dan Gareng. Dalam konsepsi ini, Semar melambangkan penjaga rezeki, sementara Gareng dianggap sebagai pemanggil rezeki.
Filosofi kedua mengambil akhiran kata dari kedua tokoh tersebut, di mana “mar” dari Semar dan “reng” dari Gareng, kemudian digabungkan menjadi “mareng” yang mengandung makna terang. Interpretasi terang ini sesuai dengan waktu optimal untuk menjual dawet, yakni pada siang hari dan kondisi cuaca cerah, mengingat bahwa pada saat tersebut dalam musim terang.
Pelestarian Tradisi
Dawet Ayu Banjarnegara telah menjadi simbol kuliner dan budaya yang tak tergantikan bagi Kabupaten Banjarnegara. Berbagai upaya dilakukan untuk memastikan eksistensinya tetap relevan dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, bahkan di tengah arus modernisasi. Salah satu cara pelestariannya adalah dengan memasukkan Dawet Ayu ke dalam berbagai acara budaya, seperti Festival Serayu Banjarnegara. Pada festival tahun 2015, ratusan gelas Dawet Ayu disajikan kepada pengunjung, menciptakan momen “Banjar Banjir Dawet” yang menggambarkan antusiasme masyarakat terhadap minuman ini.
Patung di Alun-alun
Lebih dari sekadar sajian kuliner, Dawet Ayu juga diabadikan dalam bentuk karya seni monumental, seperti Patung Dawet Ayu di Alun-alun Banjarnegara. Patung ini tidak hanya sekedar dekorasi kota, tetapi juga memiliki makna mendalam.
Dibangun pada 2014, patung tersebut menggambarkan seorang penari yang mengangkat gelas dawet dengan senyuman hangat, simbol keramahan masyarakat Banjarnegara. Filosofinya mencerminkan keanggunan Tari Dawet Ayu, yang juga menjadi medium untuk memperkenalkan seni dan budaya daerah kepada khalayak luas.
Ekonomi Kreatif
Sebagai ikon Banjarnegara, Dawet Ayu memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam sektor ekonomi kreatif berbasis budaya lokal. Melihat kontribusi ekonomi kreatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang mencapai 7,3 persen pada 2019 dan meningkat menjadi lebih dari 7,4 % pada 2020, Dawet Ayu dapat menjadi salah satu penggerak utama ekonomi kreatif di tingkat lokal dan nasional.
Pendekatan triple helix yang melibatkan pemerintah, pelaku usaha, dan akademisi, menjadi kunci pengembangan Dawet Ayu. Pemerintah daerah dapat memberikan dukungan regulasi dan promosi, pelaku usaha dapat memperluas inovasi produk dan distribusi, sementara akademisi berperan dalam riset dan penguatan branding.
Dengan memanfaatkan potensi ekonomi kreatif yang terus tumbuh di Banjarnegara, Dawet Ayu memiliki peluang untuk menjadi produk unggulan yang tidak hanya memperkuat identitas daerah tetapi juga memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat.
Dawet Ayu juga dapat menjadi pusat pengembangan ekonomi kreatif di Banjarnegara. Selain sebagai minuman, produk ini memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi berbagai produk turunan, seperti souvenir, kemasan inovatif, atau bahkan sebagai bagian dari pengalaman wisata kuliner. Kolaborasi dengan sektor pariwisata melalui festival kuliner dan promosi berbasis media sosial dapat memperluas jangkauan pemasaran sekaligus meningkatkan daya tarik wisata daerah.
Produk ini menjadi bukti nyata bahwa warisan budaya tradisional mampu beradaptasi dengan kebutuhan zaman dan menjadi kekuatan ekonomi yang berkelanjutan. Dawet Ayu tidak hanya menjadi cerita masa lalu, tetapi juga peluang besar untuk masa depan ekonomi kreatif Indonesia. (*)

Berita Terkini