AZAN salat zuhur menggema dari corong Masjid Menara. Sejumlah warga bergegas memasuki gerbang masjid bergaya Timur Tengah untuk mengikuti salat berjemaah. Begitu pun kami. Ingin merasakan berada di barisan saf salat di sela-sela melakukan tugas peliputan. Masjid di Jl Layur, Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara ini merupakan ikon kawasan Kampung Melayu.
Keberadaan bangunan ini cukup mencolok dengan menara yang lebih tinggi menjulang dibanding bangunan-bangunan sebelahnya. Begitu masuk gerbang, rupa bangunan masjid terlihat wujud ekletisisme gaya bangunan, atap tajug tumpang tiga lengkap dengan mustaka khas Nusantara dan krawangan jendela dengan ornamen geometrik serta keramik dinding khas Timur Tengah.
Sementara, bangunan masjid berupa panggung dua lantai khas Melayu. Sayangnya, lantai bawah bangunan panggung kini sudah diuruk untuk menghindari banjir dan hanya tersisa bekas-bekas bagian bangunan, seperti ujung kusen.
Kami mengakui, masjid ini begitu mempesona.
Awal Ramadan 1446 Hijriah, hari pertama ibadah puasa, Sabtu (2/3), kami memulai perjalanan keliling Kampung Melayu. Kami bertemu dengan Naiv Abdulrahman Hassan, warga lokal yang kini intens menggarap pengembangan potensi wisata Kampung Melayu
Ia sedang giat menyusun naskah panduan story telling untuk pemandu wisata berdasarkan naskah sejarah ataupun kesaksian para pelaku di lintasan masa lalu. Pengampu Bidang Seni dan Budaya, Pokdarwis Kampung Melayu, ini mengatakan, materi story telling mencakup profil Masjid Menara, Kelenteng Kam Hok Bio, bekas Studio Foto Gerak Cepat, dan omah lawas Melayu di Kampung Kali Cilik.
"Kami ingin Kampung Melayu menjadi destinasi wisata sejarah di Kota Semarang. Program yang ingin kami kembangkan yaitu walking tour ke sejumlah tempat di Kampung Melayu yang memiliki nilai sejarah," ujarnya.
Tak mudah untuk memulai penyusunan. Pasalnya, tak semua orang memahami sejarah kawasan tersebut. Sementara, generasi tua di kampung satu per satu tutup usia. Terlebih lokasi Semarang Utara seringkali diterjang banjir dan rob. Sehingga banyak dokumen yang dimiliki warga hilang.
"Sekarang saya berusaha mengumpulkan dokumen-dokumen yang dimiliki warga, termasuk dari Abah saya. Abah saya juga dapat dari orang lain," katanya.
Satu dokumen yang menurutnya penting sebagai pijakan sejarah adalah manuskrip kuno yang ditemukan di atap Masjid Menara. Manuskrip itu ditulis dengan bahasa arab dan huruf arab Pegon. Pada manuskrip itu, Naiv mengatakan berisikan sejarah tentang masjid menara, keturunan arab, kemudian para bangsa Melayu yang tinggal di lingkungan tersebut.
"Untuk melengkapi sejarah Kampung Melayu, kami menemui sejumlah tetua berharap dapat cerita-cerita dari para pelaku sejarah," jelas ia yang sehari-hari bekerja sebagai guru bahasa arab dan musik.
Naiv menerangkan, saat ini para guide lokal yang dikembangkannya masih dalam tahap pembelajaran, diantaranya mempelajari teknik-teknik story telling agar lancar saat membawa pengunjung baik dari Indonesia ataupun mancanegara.
"Ada enam pemuda di sini yang menjadi guide. Mereka semua bersemangat mengikuti program ini," katanya.
Sebagai informasi Kampung Melayu sebagai kampung tua di Kota Semarang. Keberadaannya sudah berkembang sejak abad 18. Karakteristik unik kawasan ini dihuni dengan warga berbagai etnik, mulai dari etnik Arab, Tionghoa, India, Pakistan, Cirebonan, Banjar, dan suku-suku lain Nusantara. Selain bentuk fisik seseorang yang terpengaruh genetik etnik, bentuk bangunannya pun memiliki ciri khas budaya masing-masing.
Keberadaan Kampung Melayu dikenal sebagai pusat keramaian di Kota Semarang dengan latar multikultur. Mereka yang datang dari berbagai bangsa berdatangan ini lantas berdagang, bermukim, dan melakukan aktivitas sosial kemasyarakatan di kawasan yang berada di sisi barat tepian Kali Semarang. Sayangnya wajah kejayaan Kampung Melayu itu memudar seiring gerusan zaman: rumah-rumah megah, gudang-gudang, dan pertokoan lapuk tak kuat menahan usia. Banyak kondisinya mangkrak.
Kawasan wisata
Sementara itu, Agus Kariswanto, Sub Koordinator Informasi Budaya dan Pariwisata Disbudpar Kota Semarang, mengatakan, Kampung Melayu merupakan bagian dari pengembangan wisata Semarang Lama, bersama kawasan Kota Lama dan Pecinan. Pengemabngan konsep Semarang Lama ini bertujuan agar potensi ekonomi bisa meluas, dari yang sudah jalan saat ini, yaitu Kota Lama.
"Oleh karena itu, ada model pemberdayaan melalui desa wisata. Di Semarang ada desa wisata Kandri yang berpenghasilan Rp1,5-2milyar. Jadi nantinya akan ada 10 Kandri baru. Wisata Kandri ini kita dublikasi dalam konteks keberhasilannya namun dalam konteks kearifan lokal disesuaikan potensi masing-masing," katanya, Minggu (9/2/2025).
Agus Kriswanto menambahkan, dua diantaranya yakni Kampung Melayu dan Kampung Jadul (Kampung Batik). Dalam hal ini, pihaknya melakukan promosi terhadap dua lokasi tersebut.
Untuk promosi yang dilakukan terhadap Kampung Jadul, pihaknya melakukan konektivitas dengan museum Kota Lama.
"Kalau di Kampung Melayu ya gitu, sekarang sudah ada Sleko jembatan yang baru itu. Secara khusus kami melakukan pendampingan terhadap masyarakat lokal," tuturnya.
Untuk menghidupkan atau mendatangkan wisatawan di Kampung Melayu, pihak dinas beserta Pokdarwis setempat membuat produk wisata, dengan memanfaatkan sejarah dan religi.
Selain itu beberapa masyarakat setempat juga tengah melakukan wirausaha, para wirausahawan tersebut dikelola dan dimasukan dalam produk wisata.
"Tahapan saat ini sudah sampai pada pembuatan story telling. Jadi supaya nanti setiap guide lokal menceritakan atraksi yang ada di sana itu seragam, nantinya kita akan tambah opening dan closing jadi akan menjadi buku panduan untuk pemandu," ujarnya.
Selain menyusun story telling, para pemandu lokal akan dilakukan pendampingan dan pelatihan secara khusus agar mempunyai skill yang lebih menunjang pekerjaan.
Usai produk wisata telah ditentukan, akan dilakukan pembinaan pemasaran paket wisata melalui digital ataupun secara langsung.
"Sekarang ini musim P5 di sekolah-sekolah, ternyata ini sangat dibutuhkan wisata dengan berbasis seperti ini. Tinggal mereka dilatih untuk memasarkan melalui medsos ataupun melalui online travel agent, setelah mereka dilatih mereka akan keliling ke sekolah-sekolah untuk mempromosikan 10 Kandri Baru ini," tuturnya.
Menurutnya, skema seperti ini dinilai paling efektif untuk mendatangkan wisatawan dan paling berdampak kepada masyarakat lokal. (Rezanda Akbar/Moh Anhar)