Berita Semarang

Pedas di Lidah, Perih di Kantong: Harga Cabai dan Bawang Melonjak di Semarang

Penulis: budi susanto
Editor: Catur waskito Edy
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

LAYANI PELANGGAN - Seorang pedagang cabai sedang membungkus cabai di lapaknya yang ada di Pasar Peterongan Kota Semarang, Rabu (16/4/2025). Di tengah lonjakan harga bahan pokok, harga cabai rawit merah tembus Rp 120 ribu di pasar tradisional Kota Semarang. (TRIBUN JATENG/BUDI SUSANTO)

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Harga kebutuhan pokok di Kota Semarang kembali melonjak tajam usai Lebaran 2025. 

Lonjakan paling mencolok terjadi pada komoditas cabai rawit setan dan bawang merah yang harganya melambung jauh dari harga normal.

Di Pasar Peterongan, salah satu pasar tradisional di Kota Semarang, harga cabai rawit setan menyentuh angka Rp 120 ribu per kilogram, sementara harga bawang merah berada di kisaran Rp 70 ribu per kilogram, dari yang sebelumnya hanya sekitar Rp 40 ribu per kilogram.

Indah, seorang pedagang sayur di pasar tersebut mengaku kesulitan menjual dagangannya akibat harga yang tinggi. 

“Biasanya bisa habis 15 kilo, sekarang paling cuma 5 kilo. Cabai dan bawang sama-sama mahal,” keluhnya, saat ditemui Tribunjteng.com di lapaknya, Rabu (16/4/2025).

Senada dengan Indah, Febri, pedagang lainnya, juga merasakan dampak serupa. Ia mengatakan saat ini cabai rawit setan ia jual lebih dari Rp 100 ribu per kilogram, sedangkan bawang merah di kisaran Rp 60 ribu per kilogram. 

Menurutnya, harga yang terlalu tinggi membuat pelanggan sering memprotes dan enggan membeli dalam jumlah banyak.

“Kami sering dimarahi pembeli, padahal kami cuma ikut harga dari pemasok. Mereka pikir kami yang naikin harga,” ujar Febri.

Para pedagang memprediksi lonjakan harga ini disebabkan oleh cuaca ekstrem yang melanda sebagian wilayah Jateng, termasuk Kota Semarang. 

Kondisi tersebut dinilai menyebabkan terganggunya pasokan dari daerah penghasil cabai dan bawang.

Mereka berharap harga segera stabil agar aktivitas jual beli kembali normal. 

“Kalau harga tinggi, bukan cuma pembeli yang susah, kami pedagang juga susah. Barang gak laku, penghasilan turun,” imbuh Febri. (*)

Baca juga: Dulu Buruh Sekarang Bos, Cerita Pasutri di Semarang Sukses Kembangkan Bisnis Konveksi

Baca juga: Cerita Juragan Ikan Asap di Lodan: Dari Nelayan Rucahan Hingga Harapan Berangkat Ke Tanah Suci

Baca juga: Sosialisasi Siinas Jalan Terus Meski 76 Persen Anggaran Terpotong di Disperin Kota Semarang

Berita Terkini