Berita Kriminal

Jurusan Perikanan dan FISIP, Dua Mahasiswa Undip Ditangkap Polisi Terkait Penyanderaan Intel

Penulis: iwan Arifianto
Editor: muh radlis
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

INTEL DISANDERA - Anggota intel Polda Jateng disandera mahasiswa saat demo May Day di Kota Semarang beberapa waktu lalu. Dok IG @infokriminalsemarang

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Polisi menangkap dua mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) Semarang buntut aksi peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day di Kota Semarang, Selasa (13/5/2025).

Kedua mahasiswa ini meliputi RAS mahasiswa Undip jurusan ilmu pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan RES mahasiswa jurusan perikanan tangkap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK).

"Yang bersangkutan (dua mahasiswa) ditangkap karena terlibat aksi penyanderaan anggota polisi saat May Day," jelas Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jateng, Kombes Artanto, Rabu (14/5/2025).

Baca juga: Dua Mahasiswa Undip Ditangkap Polisi, Polda : Terlibat Kasus Penyanderaan Intel Saat Demo May Day

Ketika dikonfirmasi lebih jauh, Artanto enggan menjelaskan detail penangkapan tersebut.

"Bisa langsung konfirmasi ke Kapolrestabes Semarang," sambung Artanto.

Sementara, Tribun telah mengkonfirmasi penangkapan ini ke Kapolrestabes Semarang Kombes Syahduddi dan Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Polrestabes Semarang AKBP Andika Dharma Sena. Namun, upaya konfirmasi ini belum mendapatkan respon.

Diberitakan sebelumnya, Kabar penangkapan dua mahasiswa ini telah diposting oleh akun @bemundip, @aksikamisansemarang dan @bangsamahardika.

Dalam postingan tersebut menyebutkan, dua mahasiswa ini ditangkap dengan secara paksa dan tidak sesuai prosedur.

"Iya betul, ada dua mahasiswa Undip yang ditangkap oleh polisi hari ini," jelas Koordinator Aksi Kamisan Semarang, Fathul Munif saat dihubungi Tribun, Selasa (13/5/2025).

Munif menyebut, penangkapan dua mahasiswa ini dilakukan di dua tempat berbeda.

Mahasiswa berinisial RAS ditangkap di kamar kontrakan. Adapun RES belum dapat informasi detailnya.

"RAS ditangkap dikontrakkannya di Tembalang. Sementara RES belum kita ketahui kronologi penangkapan di mana," bebernya.

Menurut Munif, penangkapan dua mahasiswa ini diduga kuat buntut aksi demo May Day.

Dugaan ini menguat karena RAS dan RES sebelumnya mendapatkan doksing atau penyebaran data pribadi seperti foto, nomor handphone dan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

"Aksi doksing dilakukan oleh pihak yang belum kami ketahui siapa yang menyebar dengan akun-akun anonim di Facebook dan di Instagram," terangnya.

Kedua mahasiswa ini, lanjut Munif, dituding pula melakukan penyanderaan terhadap Brigadir Eka anggota Polda Jateng saat aksi May Day.

Padahal, kata Munif, kedua mahasiswa ini tidak terlibat dalam penyanderaan tersebut.

"Polisi menangkap dua mahasiswa ini hanya berbekal foto tanpa masker yang barangkali dianggap sebagai pihak yang melakukan penawanan terhadap anggota intel tersebut," paparnya.

Munif menilai, padahal foto-foto wajah tersebut tidak mengandung delik pidana apapun.

Oleh karena itu, polisi menggunakan barang bukti yang tidak cukup untuk melakukan penangkapan.

"Kami menyayangkan hanya beredarnya foto mereka tanpa masker kemudian secara pragmatis polisi untuk menetapkanya sebagai target operasi," ucapnya.

Dia juga menyayangkan penangkapan tersebut yang cacat prosedur karena tidak dibarengi dengan surat pemanggilan terlebih dahulu.

"Sama sekali gak ada surat pemanggilan dan tiba-tiba dilakukan penangkapan di tempat. Hal itu bagi kami sebagai tindakan maladministrasi atau menyalahi prosedur," paparnya.

Baca juga: Dua Mahasiswa Undip Ditangkap Polisi Dijerat Pasal 333 KUHP Tentang Penyekapan dan Penculikan

Bantah Anarko

Polisi telah menetapkan enam mahasiswa sebagai tersangka buntut aksi buruh internasional atau May Day yang berujung kericuhan di Jalan Pahlawan Kota Semarang, Kamis 1 Mei 2025 sore.

Mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka meliputi MAS (22), KM (19) dan ADA (22).

Ketiganya merupakan mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes).

Tiga tersangka lainnya ANH (19) mahasiswa Universitas Semarang (USM), AZG mahasiswa Muhammadiyah Semarang (Unimus), dan MJR (20) mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip).

Dalam konferensi pers, polisi menyebut keenam tersangka ini sebagai anggota Anarko.

Kelompok ini disebut polisi sebagai biang kericuhan aksi buruh tersebut.

Namun orangtua tersangka ANH (19), Supriana (50) membantah keterlibatan anaknya sebagai Anarko.

“Anak saya bukan Anarko,” jelas Supriana kepada Tribunjateng.com, Senin (12/5/2025).

Supriana menyebut, anaknya tidak terlibat kelompok Anarko karena dalam aksi demo buruh tersebut anaknya hanya ikut-ikutan.

Anaknya bisa terlibat dalam aksi demo buruh karena diajak teman semasa SMP yang berkuliah di Unnes.

Selain itu, anaknya juga buruh sekaligus mahasiswa, sehingga ingin ikut demo karena hendak menyuarakan isu buruh.

“Anak saya hanya diajak, dia pun baru pertama kali mengikuti aksi demonstrasi tersebut,” ungkapnya.

Anak Supriana memang seorang buruh.

Dia menerangkan, anaknya selama ini sibuk berkuliah sambil bekerja sebagai petugas packing atau pembungkus paket di perusahaan ekspedisi.

Oleh karena itu, waktu anaknya telah habis untuk berkuliah dan bekerja.

“Anak saya setiap mau pergi selalu pamitan."

"Dia saat mau demo tidak berpamitan karena ketika saya tahu mau demo pasti tidak saya beri izin,” bebernya. 

Dia berharap, anaknya yang kini ditahan di Rutan Kelas 1 Jalan Dr Cipto Semarang agar bisa ditangguhkan.

Anaknya juga tidak pernah berbuat kejahatan.

Selain itu, anaknya juga masih menempuh pendidikan.

“Saya tidak ingin dia putus kuliah karena ikut demo membela ibunya."

"Saya tidak ingin masa depannya hilang,” terangnya.

Menunggu Kepulangan Anak

Supriana (50) buruh jahit di Kota Semarang menceritakan kondisinya saat menunggu sang anak berinisial ANH (19) selama semalam suntuk.

ANH merupakan mahasiswa di Kota Semarang yang ditahan polisi bersama lima rekan lainnya, buntut aksi demonstrasi Hari Buruh Internasional atau May Day di Jalan Pahlawan Semarang pada Kamis 1 Mei 2025.

Supriana mengungkapkan, sempat kehilangan kabar anaknya yang pergi dari rumah pada Kamis 1 Mei 2025 pukul 14.30.

Selepas pergi, sang anak tidak memberikan jawaban meski telah dihubungi berulang kali.

Suprian sempat khawatir karena anaknya tak kunjung pulang hingga larut malam.

“Saya sampai tidak tidur menunggu anak pulang."

"Sampai besok harinya juga tidak ada kabar, kerja tidak fokus,” bebernya kepada Tribunjateng.com, Senin (12/5/2025).

Di tengah kekhawatiran itu, dia baru mendapatkan kabar anaknya pada keesokan harinya, Jumat 2 Mei 2025 pukul 10.30.

Nomor WhatsApp anaknya membalas bahwa sedang mengerjakan tugas di kampus.

Ketika itu, Supriana sempat merasa tenang.

Selang beberapa jam kemudian, Supriana sontak kaget karena anaknya kembali menghubunginya dengan meminta agar diantarkan baju dan peralatan mandi ke Polrestabes Semarang.

“Saya dihubungi nomor WhatsApp anak saya."

"Namun dilihat dari bahasanya bukan seperti anak saya, mungkin polisi,” terangnya.

Supriana lantas mengantarkan baju anaknya ke kantor polisi. 

Di kantor tersebut, Supriana sempat bertemu anaknya.

Anaknya pun bercerita telah mendapatkan kekerasan oleh polisi, di antaranya mendapatkan pukulan di bagian mata, hidung, tengkuk leher, maupun perut.

Anaknya juga sempat dibanting.

Dia melihat pula ketika bertemu anaknya ada bekas lebam di bawah kedua mata anaknya.

“Ceritanya belum selesai, anak saya sudah menangis,” paparnya.

Mendapatkan cerita dari anaknya, Supriana berusaha mencari tahu kesalahan apa yang telah diperbuat oleh anaknya.

Berdasarkan informasi dari kepolisian, anaknya telah melakukan pelemparan botol dan batu kepada polisi saat aksi demonstrasi.

Anaknya juga disebut melakukan pelemparan besi bekas pagar tanaman ke arah polisi.

Aksi anaknya tersebut terekam dalam dua video.

“Apakah ulah anak saya itu telah membuat orang terluka dan menimbulkan korban, sehingga anak saya sampai di penjara dan diperlakukan seperti itu?,” ucapnya.

Keterlibatan anaknya dalam aksi buruh, kata Supriana, murni dilakukan karena anaknya diajak teman masa SMP yang berkuliah di Unnes.

Anaknya juga buruh karena berkuliah sambil bekerja di perusahaan ekspedisi sebagai petugas packing atau pembungkus barang.

“Saya juga buruh, dia ikut demo juga ingin menyuarakan soal buruh."

"Meskipun anak saya baru pertama kali ikut demo,” bebernya.

Dia pun membantah anaknya adalah Anarko.

Sebab, anaknya selama ini sibuk bekerja sebagai buruh packing sembari berkuliah.

Hasil kerjanya juga digunakan untuk membayar kuliah dan membeli handphone yang kini disita polisi.

Oleh karena itu, ketika anaknya habis untuk aktivitas tersebut.

“Anak saya pulang setiap harinya pukul 22.00,” katanya. 

Menurut Supriana, anaknya selama ini juga tidak pernah berbuat kejahatan.

Bahkan, kenakalan remaja pada umumnya juga tidak pernah dilakukan.

“Perbuatan anak saya di aksi demonstrasi bisa jadi karena terprovokasi,” ungkapnya.

Polisi juga telah mendatangi kediaman Supriana. 

Menurutnya, kedatangan polisi untuk memastikan perilaku anaknya.

“Polisi datang ke kantor kelurahan, Ketua RT, dan tetangga, mungkin mereka ingin memastikan,” ucapnya.

Supriana kini sedang berupaya melakukan langkah hukum agar anaknya dapat dibebaskan.

Dia khawatir anaknya tidak memiliki masa depan pasca berurusan dengan polisi akibat kejadian tersebut.

“Umur saya sudah 50 tahun, tetapi masih semangat kerja."

"Ini demi masa depan anak saya."

"Jadi saya berharap dia dibebaskan agar bisa melanjutkan kuliah,” terangnya.

Dihubungi terpisah, Koordinator Tim Advokasi May Day Semarang, M Safali mengatakan, mahasiswa berinisial ANH yang ditahan polisi menjadi salah satu mahasiswa dampingan lembaganya.

Pihaknya masih berusaha untuk melakukan pengajuan penangguhan penahanan, termasuk terhadap kelima mahasiswa lainnya.

“Kami sedang menyiapkan beberapa langkah selanjutnya untuk upaya hukum ke enam mahasiswa ini,” ucap Safali.

Menurut Safali, langkah terdekat yang dilakukan adalah dengan rencana bertemu dengan Gubernur Jawa Tengah untuk beraudiensi.

Langkah kedua, pihaknya bakal melakukan pengajuan praperadilan untuk menguji keabsahan polisi dalam menangani kasus penangkapan para mahasiswa ini.

“Kami juga sedang berupaya membuktikan adanya satu mahasiswa lainnya (bukan ANH) yang alami gangguan mental atau masuk sebagai difabel tetapi kasusnya terus dilanjutkan, sehingga ada dugaan kesalahan penyidik dalam penanganan kasus ini,” ujarnya.

Sementara Tribunjateng.com telah mengkonfirmasi kasus ini ke Kapolrestabes Semarang Kombes Pol M Syahduddi. 

Namun, upaya konfirmasi sampai saat ini belum memperoleh respon. 

 (Iwn)

Berita Terkini