TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Rinai tak mampu meredam semangat ratusan pasang mata yang larut dalam semarak pentas budaya.
Di tengah guyuran hujan, Kampung Sekayu, sebuah permata tua di jantung Kota Semarang, menjelma menjadi panggung terbuka bagi semesta pertunjukan dalam Festival Bubak Semarang.
Bermandikan sinar arutala, sebuah perayaan yang bukan sekadar seni pada malam itu, menjadi penanda dimulainya kembali penghormatan atas akar budaya yang nyaris tergerus waktu.
Diapit oleh deretan monster beton menjulang ditengah perkotaan, Sekayu berdiri seperti ingatan yang menolak hilang.
Jalan kampung yang sempit, ruang yang mepet, dan panggung darurat yang menyatu dengan lorong-lorong rumah warga, dengan berlatar belakang gedung dan tembok, menjadi latar unik malam itu.
Namun justru di tengah kesempitan itulah, semangat menjadi begitu lapang.
Payung-payung kecil, jas hujan plastik, dan kerumunan yang rapat berpadu dengan alunan rebana, tarian kontemporer, serta pertunjukan fesyen batik yang menghadirkan motif-motif lokal Semarang lengkap dengan filosofi air, kota, dan manusia
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, manten Semarang ritual pernikahan khas yang nyaris dilupakan juga ditampilkan di tengah panggung kampung, menghadirkan haru dan nostalgia yang sama-sama menggetarkan.
Yang tak kalah magis adalah pentas teater eksperimental yang memadukan suara gamelan Jawa dengan denting Erhu dan petikan Pipa dua alat musik tradisional Tiongkok.
Sebuah orkestra lintas budaya yang membingkai Semarang sebagai simpul sejarah antara Timur Jauh dan Jawa Tengah.
Membuka yang Terkunci: Sekayu sebagai Simbol
“Bubak itu artinya membuka atau mengawali.
Kami memaknai itu sebagai upaya membuka kembali pintu-pintu warisan budaya yang tertutup debu modernitas," ujar Tri Subekso, Direktur Gambar Semarang, penggagas festival, Sabtu (31/5/2025).
Pemilihan Sekayu sebagai lokasi pembuka bukan keputusan biasa.
Kampung ini, meski mungil dan terhimpit oleh geliat kota, menyimpan memori panjang.
Ada Masjid Taqwa yang diyakini lebih tua dari Masjid Agung Demak, serta jejak Kiai Kamal, tokoh lokal yang masih disebut-sebut warga.
Rumah-rumah kayu tua bertahan di antara dinding semen dan kaca.
Seperti perlawanan diam terhadap arus yang terus menggusur.
Selain Sekayu, tiga kampung tua lain juga dihidupkan: Pecinan, Kauman, dan Kerapyak.
Setiap lokasi melewati proses kurasi yang teliti, mencari titik temu antara narasi sejarah, bentuk ruang, dan daya hidup masyarakatnya.
Cuaca menjadi tantangan, begitu pula manajemen tim yang besar.
Namun dengan dukungan Dana Indonesiana dari Kementerian Kebudayaan, dan kerja keras tim produksi, festival ini tetap bergulir dengan solid.
Tri menyebutkan bahwa target utamanya bukan sekadar menghibur.
Namun sebagai pematik untuk para kampung-kampung tersebut untuk menciptakan festival budaya.
“Kami ingin kampung-kampung ini termotivasi untuk bikin festival sendiri, mandiri, tiap tahun. Itu cita-cita yang sesungguhnya.” hadapnya.
Ketika Masyarakat Menjadi Pusat
Kebanggaan juga terpancar dari wajah Edy Haryoko, Ketua LPMK Sekayu, yang tak henti-hentinya bersyukur sepanjang festival.
“Saya bangga sekali, Ini bentuk nyata pelestarian budaya adi luhung kita.
Saya lihat para pemain bermain penuh jiwa, dan warga pun sangat menikmati," tutur Edy.
Bagi Edy, Sekayu memang telah lama merindukan momen semacam ini.
Kampung yang dulu menjadi pusat nilai-nilai tradisi kini seperti diberi nyawa kembali.
Warga Sekayu, dari Ketua RT hingga Karang Taruna, terlibat aktif. Tentu festival ini diharapkan menjadi agenda tahunan, dengan kolaborasi berbagai pihak.
“Dengan dukungan dari Dinas Kebudayaan dan Balai Pelestarian Budaya, saya harap ini tak berhenti di satu malam saja," harap Edy.
Malam itu, Sekayu bukan hanya panggung. Namun menjadi menjadi tokoh utama.
Sebuah kampung yang mencoba bicara di antara gedung-gedung tinggi, mengingatkan kota bahwa sejarah tak bisa diganti dengan parkiran dan pusat perbelanjaan.
Festival Bubak Semarang bukan tentang nostalgia. Ia tentang masa kini yang sadar akan akarnya.
Tentang ruang sempit yang justru membuka pandangan luas.
Tentang warga kota yang mulai percaya bahwa budaya bukan barang museum melainkan napas sehari-hari. (Rad)