TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Sebelum jasadnya ditemukan di kamar kosnya, dr Aulia Risma Lestari banyak curhat ke sahabat dan keluarga.
Fokus utama tentang kelelahan baik secara fisik maupun keuangan selama ia menjadi mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Undip.
Hal itu diungkap oleh sahabat dr Aulia Rism, Nur Diah Kusumardani.
Diah adalah salah satu saksi dalam sidangdi Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (4/6/2025) malam.
Diah lah yang melihat bagaimana kondisi jasad dr Aulia Risma saat pertama ditemukan.
Baca juga: "Saya Lihat Jasad Dr Aulia Risma Genggam Suntikan" Diah Saksi Kasus PPDS Undip Bongkar Semuanya
Menurut Diah, Risma sempat bercerita kepadanya soal beratnya menjalani program PPDS Anestesi di RSUP Kariadi Semarang.
Selama mengikuti program itu, Risma telah kelelahan baik secara fisik dan terkuras ekonominya.
Soal ekonomi, Risma mengungkapkan tabungannya telah habis untuk membayar kebutuhan seniornya.
Bahkan, ketika uangnya telah habis tetap harus ada iuran yang harus dibayarkan.
"Meskipun uang sudah habis tapi entah bagaimana caranya uang itu harus ada (untuk iuran). Istilahnya di antara mereka MPC 'mbuh piye carane'," terangnya.
Diah mengetahui sedetail itu karena bersahabat dengan Risma.
Mereka juga tinggal dalam satu lingkungan kos.
Selain itu, suaminya juga teman seangkatan Risma dalam program yang sama.
Bedanya, suaminya berada di divisi lain dalam program itu.
"Suami saya mengalami hal serupa yang dialami oleh Risma. Namun, saya menilai beban yang ditanggung Risma lebih berat daripada suaminya saya. Sebab, korban berada di Divisi Ilmiah," tuturnya.
Selain beban ekonomi untuk senior, Risma dan suaminya mendapatkan pula tekanan jam kerja tak masuk akal.
Akibatnya, keduanya mengalami depresi.
"Suami saya melakukan pemeriksaan jiwa. Disusul Risma yang aku dorong untuk ikut periksa. Hasilnya sama mereka depresi. Almarhum dan suami saya sama-sama mengkonsumsi obat depresan karena ikut program PPDS," ujarnya.
Sebelum kematian Aulia, Diah menyebutkan korban sempat alami masa-masa sulit yang cukup lama.
Korban telah mengalami depresi sejak November 2022. Sejak saat itu, korban mulai berobat ke psikolog.
"Korban pernah menangis di kamarnya. Curhat jam kerja di RSUP Kariadi tak masuk akal. Ditambah para seniornya mengucilkan. (Bagian) Anestesi menekan juga," terangnya.
Memasuki tahun 2024, kondisi korban mulai down baik secara mental maupun fisik.
Risma bahkan sempat mengurung diri beberapa kali di kamar kosnya.
"Faktor utama (korban depresi) karena tekanan dari senior. Korban pernah sebut nama pak Indra dan Bu Zara. Korban sampai bilang tak mau berurusan dengan Bu Zara. Dia yang menyebabkan korban depresi," ungkapnya.
Kondisi Aulia Risma puncaknya terjadi pada Senin, 12 Agustus 2024. Dia ditemukan di kamar kosnya dalam kondisi tak bernyawa.
"Kami sempat memanggil tukang kunci karena kamar korban tidak bisa dibuka sejak pagi. Selepas terbuka saya melihat jenazah (almarhum ) menggenggam suntikan ada ampul (botol obat)," jelas Diah.
Mengenai kesaksian itu, Zara menyangkalnya. Dia berdalih, beban kerja berlebihan yang diberikan ke Aulia merupakan tugas dari senior. Dia yang berada dalam satu divisi dengan korban yakni divisi ilmiah maka memberikan tugas itu ke korban.
"Soal beli parfum dan kopi itu tekanan senior kepada saya lalu saya operkan ke almarhumah. Saya operkan tradisi itu ke adik kelas (almarhumah) itu arahan dari senior," kata Zara.
Sementara, Kuasa hukum keluarga Risma, Yunisman Alim menilai, bukti-bukti yang disodorkan pihaknya ke kepolisian berupa bukti rekaman suara percakapan sudah cukup menguatkan keterlibatan Zara dalam kasus ini.
Menurutnya, dalam kasus ini tidak ada korelasi lagi dengan senior di atas terdakwa Zara. Sebab, kasus ini berkorelasi langsung dengan terdakwa yang turut serta dalam kejadian tersebut.
"Urusan ada pelaku lain itu nanti digali lagi oleh kesaksian selanjutnya. Intinya ada (Hubungan) Junior dan senior antara Zara dan korban. Jadi tidak ada hubunganmya diperintah oleh atasannya. Itu urusan lain," terangnya.
Kuasa hukum dari tiga terdakwa, Agung Utoyo menyebut, sidang kali ini masih permulaan sehingga belum bisa menilai apapun.
"Saksi baru 6. Masih awal," terangnya.
Diberitakan sebelumnya, Ibu kandung mendiang Aulia Risma Lestari, Nuzmatun Malinah mengaku lega selepas mengikuti persidangan kasus perundungan dan pemerasan pada program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang , Rabu (4/6/2025).
Sidang yang dipimpin oleh oleh Hakim ketua Djohan Arifin itu dilakukan secara maraton dengan menghadirkan enam saksi mulai pukul 11.00 WIB hingga selesai pada pukul 22.12 WIB.
Nuzmatun menyebut, merasa lega karena semua keterangannya telah diutarakan di depan Majelis Hakim.
Dia juga bersama jaksa penuntut umum telah menyodorkan bukti ke hakim.
"Saya hanya mengharapkan keadilan, sebab dari kejadian ini anak saya meninggal dunia. Lalu disusul suami saya (meninggal tak lama selepas Aulia)," bebernya kepada Tribun sesuai sidang, di PN Semarang.
Dia menuturkan, dalam persidangan sempat mendengar bantahan dari ketiga terdakwa.
Namun, baginya hal itu tak masalah. "Membantah boleh saja tapi lihat saja faktanya," ungkapnya.
Sidang tersebut menghadirkan pula tiga terdakwa meliputi Zara Yupita Azra yang merupakan senior dari korban Aulia Risma Lestari, Kepala Program Studi (Kaprodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran (FK) Undip Taufik Eko Nugroho dan Kepala Staf Medis Prodi Anestesiologi FK Undip Sri Maryani.
Sementara dari para saksi terdapat empat saksi dari keluarga Aulia yakni ibunda almarhum Aulia Nuzmatun Malinah dan adik korban Nadia. Dua kerabat lainnya masing-masing Akwal Sadika dan Nur Diah kusumardani.
Adapun dua saksi lainnya dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masing-masing Pamor Nainggolan dan Yunan.
Dua saksi dari Kemenkes ini memberikan keterangan soal hasil investigasi terkait kasus perundungan dan pungutan liar yang menimpa Aulia Risma Lestari. (Iwn)