TRIBUNJATENG.COM - Era digital membawa banyak kemudahan, tapi juga membuka pintu selebar-lebarnya bagi kejahatan siber. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sejak November 2024 hingga pertengahan 2025, terjadi lebih dari 200 ribu kasus penipuan digital (scam) di Indonesia. Total kerugian capai Rp 4,1 triliun.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy menilai, angka ini tidak sekadar menunjukkan tingginya jumlah korban, tetapi juga menandakan lemahnya sistem perlindungan konsumen di tengah maraknya transaksi digital.
Sayangnya, kata dia, kejahatan ini tidak lagi terbatas di sektor perbankan saja. Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Frederica Widyasari Dewi, modus penipuan kini merambah sistem pembayaran digital, marketplace, hingga kripto.
Serangan tidak hanya terjadi lewat akun bank, tetapi juga melalui tautan palsu, aplikasi tiruan, dan akun media sosial palsu. "Hal ini menunjukkan bahwa scam sudah menyasar setiap celah sistem keuangan digital, tanpa pandang bulu," jelasnya, Senin (4/8/2025).
Melihat tingkat kerugian dan penyebaran yang masif, OJK dan Kominfo menggandeng sejumlah raksasa teknologi dunia seperti Google, Meta, Dana, Shopee, dan lainnya dalam inisiatif GASA (Global Anti Scam Alliance) Indonesia Chapter.
Koalisi ini bertujuan untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam melawan scam digital melalui edukasi, pembaruan kebijakan, dan pertukaran data ancaman.
Namun, inisiatif sebesar ini tidak akan efektif jika akar masalah tidak disentuh: minimnya literasi digital dan lemahnya kesadaran etika dalam transaksi daring. Sehingga diperlukan pendekatan yang lebih mendalam dan menyentuh aspek moral.
Di sinilah ekonomi syariah menawarkan solusi alternatif yang tidak hanya berbasis hukum, tetapi juga nilai spiritual. Penelitian Clara Nervia dkk (2025) menunjukkan modus scam paling umum adalah phishing, yaitu penipuan lewat tautan palsu yang menyerupai situs resmi bank atau e-wallet.
Korban diarahkan untuk mengisi data pribadi seperti PIN, OTP, hingga kode CVV. Setelah data dikantongi pelaku, rekening korban dikuras tanpa disadari. Modus ini sangat sulit dilacak karena pelaku kerap menggunakan domain mirip dan teknik social engineering
"Dari sisi hukum, phishing sudah diatur dalam Undang-Undang ITE dan regulasi OJK. Namun implementasinya masih menghadapi banyak kendala, seperti keterbatasan sumber daya penegak hukum, teknologi pelacakan yang belum mumpuni, serta kompleksitas jaringan penipuan lintas negara," beber dia.
Tak heran jika menurut OJK, dari Rp 4,1 triliun kerugian, hanya 9 persen yang berhasil diselamatkan. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya pemahaman masyarakat tentang keamanan digital, termasuk nasabah bank syariah.
Menurut Penelitian Viqi Prananda (2024) terhadap nasabah Bank Syariah Indonesia (BSI) menunjukkan kepercayaan mereka menurun tajam pasca kasus error dan dugaan kebocoran data tahun lalu. Ini menandakan keamanan sistem adalah kunci utama kepercayaan, baik di bank konvensional maupun syariah.
Dalam perspektif ekonomi Islam, kejahatan digital seperti phishing dan scam termasuk dalam kategori gharar (ketidakjelasan) dan ghasb (perampasan hak). Transaksi yang dilakukan secara tidak sah, tanpa ridha atau kesadaran penuh dari salah satu pihak, termasuk perbuatan yang dilarang syariah.
Islam dengan tegas melarang perbuatan yang merugikan pihak lain secara tersembunyi. Sebagaimana sabda Nabi Muhammas SAW. "Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya." (HR. Ahmad)