TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Hartono (46) masih sulit melupakan detik-detik ia berjuang melawan ganasnya ombak di kawasan Dam Merah, Pelabuhan Tanjung Emas, Kota Semarang, Selasa (19/8/2025).
Bersama tetangganya, Sigit (45), ia bertahan di atas kursi besi yang mereka bawa sendiri setinggi 1,5 meter selama berjam-jam, menunggu pertolongan datang di tengah badai.
Saat ditemui di rumahnya, di kawasan Kokosan Kelurahan Sendangguwo, Kecamatan Tembalang, Jumat (22/8/2025).
Hartono dan Sigit yang rumahnya hanya selemparan batu sekitar 20meter saja, menceritakan kesaksiannya bertahan di tengah badai.
Sambil memandangi pancingannya, Hartono bercerita sebelum berangkat untuk memancing dia selalu melihat kondisi prakiraan cuaca pada ponsel pintarnya.
“Kalau untuk saya pribadi kondisi angin itu lebih dari 13knot saya tidak berani mancing, mending di rumah saja. Tapi saat itu kondisi angin dari prakiraan cuaca tidak lebih dari itu,” kata Hartono.
Hartono mengakui bahwa sudah bertahun-tahun dia memancing di spot lokasi tersebut.
Dari kawasan Kokosan dia berangkat bersama tetangganya, Sigit (45).
Sesampainya di muara Tambaklorok, ia bertemu sembilan pemancing lain.
“Di situ sudah ada sembilan orang, ya tidak janjian tapi mereka juga paham karena kondisinya (cuaca) memang bagus untuk memancing. Tiba-tiba di situ sudah ramai,” tuturnya.
Mereka hanya saling sapa dan bercanda seadanya sebatas dunia mancing, mereka sekadar mengenal nama atau sapaan akrab karena sering bertemu di spot mancing yang sama.
Obrolan Hangat Sebelum Badai
Obrolan ringan masih sempat mewarnai sebelum berangkat.
Sumono bercerita tentang pelangi yang dilihatnya pagi itu seakan cuaca mendukung untuk memancing, sementara Sigit menimpali dengan gurauan.
“Mbah mono (Sumono) itu sempat bilang kalau lihat pelangi. 'lho kae ono pelangi ne cetho'," ujar Sigit sambil menirukan Sumono.
“Terus saya bilang, Iyo Mbah pelangi ne neng ujung Dam Abang," timpal Sigit waktu itu.
Semua tertawa dan tersenyum. Tak ada yang tahu, gurauan itu menjadi obrolan terakhir yang hangat sebelum bencana datang.
Mereka berpencar mencari tempat. Hartono dan Sigit menuju dam buntut, sementara Pujo dan Sumono memilih dam ambles, hanya berjarak sekitar 900 meter, langsung berhadapan dengan laut lepas.
Kursi Besi Jadi Tempat Bertahan
Menjelang siang, suasana mendadak berubah. Awan hitam menggantung rendah, angin menderu.
Kursi besi setinggi 1,5meter tempat Hartono dan Sigit mulai dihantam ombak.
Kursi itu yang kemudian menjadi pijakan terakhir mereka untuk bertahan.
Hartono ingat betul bagaimana ia melihat Sigit berdiri di atas besi sempit itu, tubuh basah kuyup, tangan gemetar menggenggam erat apa pun yang bisa digenggam.
Setiap kali ombak datang, mereka berdua berdiri dari kursi agar tak terkena ombak.
“Kalau saya tidak di kursi besi, ombaknya itu udah diatas kepala saya," katanya.
Jam demi jam berjalan lambat. Pandangan mereka terbatas, hanya putih buih ombak yang sesekali menampar wajah.
Sigit mulai menggigil hebat. Hartono berulang kali menepuk-nepuk bahunya, memastikan tetangganya tetap sadar. Ia takut Sigit tiba-tiba kehilangan tenaga.
Di tengah ketegangan itu, harapan sempat muncul ketika perahu penyelamat mendekat. Tapi ombak begitu keras hingga kemudi kapal patah.
Mereka hanya bisa menyaksikan perahu itu kembali, lalu berganti dengan perahu lebih besar.
Waktu terasa berjalan sangat lambat, tiap detik dia habiskan untuk berdoa dan berharap agar semua rekannya selamat.
Melihat Kawan Terombang-ambing Ombak
Di kejauhan, Hartono melihat sosok terombang-ambing di lautan. Awalnya ia kira bendera jaring nelayan, ternyata manusia.
Dari jaket pelampung yang dipakai, ia mengenali itu Andi pemancing ke-12 yang menyusul setelah ke-11 pemancing termasuk Hartono dan Sigit berada di Dam Merah.
"Saya itu lihat Andi sempat pegangan di dam, mungkin pegangan tali dia sempat bertahan," kata Hartono.
"Terus kemudian saya lihatin ombak, gak lama kok ada yang terapung di laut. Saya sempat mengira itu tanda jaring nelayan," sambung Hartono.
Saat itu, Sigit menyadari bahwa itu bukan penanda jaring milik nelayan. Namun seseorang yang terombang ambing dilautan.
“Kadang kelihatan kepala, kadang kelihatan tangan, terus saya bilang sama Mas Har, itu bukan penanda jaring tapi orang,"
"Terus saya lihat kok orang (Andi) yang berpegangan itu ga ada,” ujar Sigit.
Hartono sempat menunjuk ke arah tubuh itu ketika kapal nelayan yang menjemput datang, dengan tujuan untuk melakukan evakuasi terlebih dahulu.
Dia sempat mengira kapal tersebut akan menghampirinya, namun justru kapal berjalan terlebih dahulu ke darat.
"Mungkin sudah tidak kuat atau gimana, tapi waktu itu kapal ke darat dahulu," tutur Hartono.
Tak lama, sesuatu yang lain ikut menghampiri.
Sosok tak bergerak, mengenakan pakaian merah dengan tubuh telungkup terbawa arus mendekati dam buntut.
Setelah tersapu ombak tubuhnya terbalik baru Hartono dan Sigit bisa mengenali itu adalah Pujo.
Hartono dan Sigit saat berada di kursi besi, ingin menolong meski sadar hampir mustahil.
Gelombang terlalu kuat, setiap usaha menolong selalu terpatahkan.
“Saya ga bisa nolong, terus saya suruh Sigit untuk lihatin jenazahnya. Nanti kalau perahu datang bisa langsung ngasih tahu lokasinya dan dievakuasi. Sedangkan saya fokus lihatin ombak sambil ngasih tanda-tanda buat berdiri," ujarnya.
Namun sayangnya ketika kapal datang untuk mengevakuasi Hartono dan Sigit, jenazah Pujo sudah tak terlihat.
Tujuh Pemancing Selamat, Lima Tunggal Nama
Satu per satu pemancing berhasil diangkat.
Dari kawasan Dam Merah, dari kursi besi, dari tali-tali tempat mereka berpegangan.
Hartono masih ingat jelas saat tubuhnya akhirnya ditarik ke atas perahu sensasi dingin, pegal, dan perasaan seperti baru diberi kesempatan kedua.
Dari 12 pemancing yang berangkat pagi itu, tujuh orang berhasil pulang dengan selamat.
Sisanya hanya tinggal nama.
Bagi Hartono, momen paling membekas adalah ketika dirinya dan Sigit hanya bisa berdiri di kursi besi setinggi 1,5 meter, berjam-jam dikepung ombak.
“Kalau panik, kalau lengah, mungkin kami sudah selesai,” ujarnya pelan.
Dari kejadian itu, mencatatkan nama-nama penyintas dan korban tragedi 12 pemancing terjebak badai di Dam Merah Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.
Tujuh orang dilaporkan selamat:
• Sigit (45), Kokosan Mrican, Semarang
• Hartono (46), Kokosan Mrican, Semarang
• Andi (45), Tegalsari Perbalan, Semarang
• Panijan (54) alias Klowor (sapaan akrab)
• Sugeng (50), Ungaran
• Pak To, Baru Tikung, Semarang
• Mbahe
Lima korban ditemukan dalam kondisi meninggal dunia:
• Bagus, Pondok Raden Patah, Sayung, jenazah dievakuasi tim SAR Gabungan di sekitar lokasi Dam Merah, Selasa (19/8/2025).
• Febriyanto Tri Cahyono (36), Sarirejo, Semarang, jenazah dievakuasi tim SAR Gabungan di sekitar lokasi Dam Merah, Selasa (19/8/2025).
• Pujo Margono (56), Pandeanlamper, Semarang, jenazah ditemukan oleh nelayan di Morodemak di Kabupaten Demak, Rabu (20/8/2025).
• M. Kiswanto (35), Sarirejo, Semarang, jenazah ditemukan tim SAR gabungan di rumpon sekitar 500meter dari dam merah, Rabu (20/8/2025).
• Sumono (35), Kramas, Tembalang, jenazah ditemukan oleh nelayan di Morodemak Kabupaten Demak, Kamis (21/8/2024). (Rad)
Baca juga: Begini Cara Polres Wonosobo Hadapi Aksi Unjuk Rasa di Kantor DPRD, Libatkan 300 Personel
Baca juga: Jepara Gencarkan NIB, Pendaftaran Tembus Puluhan Berkat Program Bupati dan Koperasi Merah Putih
Baca juga: Aliansi Musisi Solo Geruduk DPRD, Desak Pembubaran LMKN dan Revisi Aturan Royalti Musik