Berita Banyumas
Tingginya Gaji Anggota DPRD Banyumas Capai 19 Kali UMK, Ini Kata Pakar Kebijakan Publik Unsoed
Informasi mengenai gaji dan tunjangan anggota DPRD Banyumas yang mencapai sekitar Rp45 juta per bulan
Penulis: Permata Putra Sejati | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG.COM, PURWOKERTO - Informasi mengenai gaji dan tunjangan anggota DPRD Banyumas yang mencapai sekitar Rp45 juta per bulan memicu reaksi keras dari masyarakat.
Publik mempertanyakan keadilan sosial atas besarnya pendapatan legislatif yang mencapai 19 kali lipat Upah Minimum Kabupaten (UMK) Banyumas tahun 2025 sebesar Rp 2.338.410.
Di tengah kondisi ekonomi lokal yang belum sekuat daerah metropolitan, isu ini dinilai bisa menimbulkan ketimpangan dan delegitimasi politik apabila tidak dikelola dengan transparan dan sensitif terhadap realitas sosial.
Guru Besar Kebijakan Publik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Prof. Dr. Dwiyanto Indiahono, menilai reaksi publik atas gaji anggota DPRD ini adalah hal yang wajar.
Menurutnya, masyarakat Banyumas mayoritas bekerja di sektor informal, pertanian, perdagangan kecil, atau jasa dengan penghasilan yang jauh di bawah angka Rp45 juta per bulan.
"Respons kebijakan publik terhadap isu seperti ini seharusnya tidak defensif, tetapi proaktif.
Pemerintah perlu memberikan klarifikasi yang transparan dan menyertakan data obyektif," kata Prof Dwiyanto kepada Tribunbanyumas.com, Senin (8/9/2025).
Ia mengatakan Kabupaten Banyumas secara ekonomi berada pada level menengah.
Industri lokal belum mampu menyerap tenaga kerja dengan upah tinggi seperti kota-kota besar semisal Semarang atau Solo.
Pendapatan warga sebagian besar hanya setara atau sedikit di atas UMK.
Karena itu, angka gaji DPRD yang tinggi meski sah secara normatif bisa menciptakan jurang sosial yang dalam jika tidak dikomunikasikan secara baik.
Menurut Prof Dwiyanto, ketimpangan antara penghasilan legislatif dan mayoritas warga dapat menurunkan legitimasi DPRD di mata masyarakat.
"Dalam kebijakan publik, dikenal istilah moral imagination, yaitu kemampuan pembuat kebijakan membayangkan dampak keputusan mereka terhadap kelompok masyarakat lain.
DPRD perlu menempatkan diri sejenak sebagai buruh atau pedagang kecil yang hidup dari UMK, agar menyadari betapa jauhnya jarak sosial itu," katanya.
Besaran penghasilan anggota DPRD yang hampir 19 kali lipat UMK menyoroti pentingnya akuntabilitas.
Meskipun secara aturan sah dan telah disetujui dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri, publik tetap berhak mengetahui komponen pembentuk gaji tersebut.
"Gaji sebesar itu bisa dipahami jika untuk menjaga integritas legislatif.
Tapi harus dibarengi pengawasan dan akuntabilitas yang ketat.
Tanpa itu, publik bisa menganggap ini sebagai privilege elit, bukan hak yang wajar," lanjut Prof Dwiyanto.
Ia juga menambahkan bahwa gaji tinggi seharusnya menjadi insentif kinerja, bukan sekadar tunjangan status.
Isu gaji DPRD juga berkaitan dengan dinamika politik elektoral.
Salah satu argumen yang sering dikemukakan adalah gaji legislatif yang rendah dapat mendorong praktik korupsi atau mencari pemasukan tidak resmi.
Namun, menurut Prof Dwiyanto, hal ini tidak sesederhana itu.
"Mahalnya biaya politik sering kali tidak berkorelasi langsung dengan besarnya gaji setelah menjabat.
Sebab, biaya politik lebih banyak dipengaruhi oleh struktur partai, sistem rekrutmen, dan budaya politik yang ada," tegasnya.
Artinya, tingginya gaji bukan jaminan akan hilangnya politik uang, kecuali ada reformasi sistemik pada struktur dan budaya politik lokal.
Langkah paling rasional dan bijak menurut Prof Dwiyanto adalah membuka ruang komunikasi.
Pemerintah daerah bersama DPRD harus menjelaskan secara rinci komponen-komponen penghasilan DPRD, mulai dari gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan komunikasi intensif, uang reses, uang perjalanan dinas, hingga biaya operasional alat kelengkapan dewan (AKD).
Dengan transparansi ini, masyarakat dapat menilai secara objektif apakah angka Rp45 juta itu layak dan sepadan dengan beban kerja wakil rakyat.
"Ketertutupan hanya akan memperkuat kecurigaan dan memperdalam jurang ketidakpercayaan publik.
Sebaliknya, keterbukaan bisa memperkuat legitimasi," ujarnya.
Langkah berikutnya adalah membandingkan struktur penggajian DPRD Banyumas dengan daerah lain di Jawa Tengah.
Apabila ternyata nominal tersebut sesuai dengan standar provinsi, maka perlu dijelaskan konteksnya secara utuh.
Namun apabila ternyata lebih tinggi dari rata-rata kabupaten/kota lain, maka evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan gaji dan tunjangan sangat diperlukan.
Evaluasi ini menunjukkan pemerintah dan DPRD tidak hanya responsif terhadap tekanan publik, tetapi juga peduli terhadap keadilan sosial.
Lebih jauh, Prof Dwiyanto menekankan keadilan dalam kebijakan publik tidak hanya soal distribusi angka, tetapi juga soal proses pengambilan keputusan.
"Apakah masyarakat dilibatkan dalam proses?
Apakah keputusan dibuat secara terbuka atau tertutup?
Keadilan prosedural seperti ini sangat menentukan apakah kebijakan itu bisa diterima publik," katanya.
Melibatkan masyarakat dalam pembahasan kebijakan akan menumbuhkan rasa memiliki terhadap keputusan publik, serta memperkuat ikatan antara wakil rakyat dan konstituennya.
Kasus gaji DPRD Banyumas menjadi pelajaran penting dalam kebijakan publik, legitimasi bukan hanya berasal dari legalitas, tetapi juga dari penerimaan publik dan kepekaan sosial.
Apabila komunikasi publik dilakukan dengan baik, gaji DPRD tidak harus menjadi polemik.
Apabila dibiarkan tertutup dan tidak dipertanggungjawabkan secara jelas, maka angka itu bisa menjadi simbol kesenjangan antara rakyat dan wakilnya.
"Dengan mengedepankan transparansi, akuntabilitas, moral imagination, serta perbandingan rasional dengan UMK, kebijakan gaji DPRD bisa lebih diterima dan tidak menimbulkan jarak sosial terlalu dalam," tutup Prof Dwiyanto. (jti)
Ratusan Peserta Ikut Semarakan Muslim Fun Run 5K di Al Irsyad Purwokerto |
![]() |
---|
Serunya Siswa Al Irsyad Al Islamiyyah Purwokerto Bermain Engklek hingga Egrang |
![]() |
---|
FIX, Festival Lampion di Purwokerto Ditunda, Begini Nasib 3.000 Tiket yang Sudah Terjual |
![]() |
---|
Mimpi Lampion Purwokerto Padam Mendadak: Wisatawan Merugi Jutaan Rupiah |
![]() |
---|
Bupati Sadewo: ASN Harus Siap Jadi Pelayan Sekaligus Perekat Bangsa |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.