Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Readers Note

Strategi Mencegah Perceraian Saat Ekonomi Keluarga Terguncang

Fenomena tingginya perceraian, namun jumlah pernikahan menurun, akan menimbulkan masalah stabilitas sosial yang dimulai dari keluarga

Editor: iswidodo
Tribunjateng/dok pribadi
Devy Maria Kristiani Mahasiswa Magister Psikologi Unika Soegijapranata 

Strategi Mencegah Perceraian Saat Ekonomi Keluarga Terguncang
Oleh Devy Maria Kristiani
Mahasiswa Magister Psikologi Unika Soegijapranata

PERCERAIAN merupakan putusnya ikatan pernikahan dan memiliki konsekuensi bagi kedamaian dan stabilitas keluarga, serta masyarakat (Ul-Haq et al., 2023). Perceraian menjadi isu sosial yang kompleks secara global, termasuk di Indonesia. 
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 melaporkan adanya 399.921 kasus perceraian di Indonesia. Jawa Barat merupakan provinsi dengan kasus tertinggi (88.842 kasus), disusul Jawa Timur (77.658 kasus) dan Jawa Tengah (64.569 kasus). 
Jumlah kasus perceraian di tahun 2024 sedikit menurun jika dibandingkan dengan tahun 2023 yang mencapai 408.347 kasus, namun masih jauh diatas angka pra-pandemi 2020 yang hanya 291.677 kasus. Data ini memperlihatkan bahwa stabilitas keluarga di Indonesia belum sepenuhnya pulih meski pandemi telah berakhir. 
Pernyataan ini diperkuat dengan menurunnya jumlah pernikahan, yaitu 1,78 juta pernikahan di tahun 2020 yang menurun menjadi 1,47 juta pada tahun 2024. Artinya, ketika semakin sedikit pasangan yang menikah, namun tingkat perceraian tetap tinggi, maka ketahanan pernikahan masyarakat Indonesia mengalami tekanan sosial dan ekonomi (Tirta, 2025). 
Menariknya lagi, mayoritas perceraian diajukan oleh istri (cerai gugat), yaitu sebanyak 308.956 kasus (77,3 persen), jauh dibandingkan cerai talak oleh suami yang sebanyak 85.652 kasus (32,7 % ). Data ini memperlihatkan bahwa perempuan semakin berani mengambil keputusan hukum untuk mengakhiri hubungan perkawinan yang dianggap tidak sehat. Adapun penyebab utama dari perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran, faktor ekonomi, dan penyebab lainnya (KDRT, perselingkuhan, dan hukuman penjara). 
Fenomena tingginya perceraian, namun jumlah pernikahan menurun, akan menimbulkan masalah stabilitas sosial yang dimulai dari keluarga dan berpotensi menimbulkan tantangan struktural bagi pemerintah, khususnya dalam perumusan kebijakan sosial dan ekonomi keluarga. Selain itu, ketika data mengungkapkan bahwa faktor ekonomi menjadi sumber penyebab perceraian yang dilakukan oleh istri, maka hal ini perlu dicermati dengan kehati-hatian. 
Beberapa studi mengungkapkan bahwa tekanan ekonomi merupakan faktor utama perceraian. Ketika pasangan mengalami kesulitan keuangan, mereka dapat menderita secara individual maupun sosial (pasangan) (Conger, 1990; Conger & Elder, 1994). Kesulitan ekonomi menimbulkan stres pernikahan, meningkatkan risiko konflik, dan perceraian (Halliday et al., 2010; White & Rogers, 2000). 

Manajemen Keuangan Buruk

Studi lainnya mengungkapkan bahwa pengaruh ekonomi terhadap perceraian bersifat multifaset; bukan hanya tentang “kurang uang” namun juga mengenai bagaimana kekurangan atau manajemen keuangan keluarga yang buruk memicu serangkaian masalah lain yang secara kolektif merusak keharmonisan rumah tangga dan mengakibatkan perceraian (Faizah et al., 2021; Firdania & Subhi, 2025). 
Contoh, keterbatasan ekonomi sering menyebabkan perselisihan, ketidaksesuaian pendapat, dan stres kronis dalam rumah tangga. Tekanan ekonomi yang terus-menerus juga dapat mempengaruhi kesehatan psikologis yang kemudian mempengaruhi hubungan suami-istri dan kemampuan menyelesaikan konflik secara efektif. 
Karakteristik kepribadian tertentu, seperti resiliensi, keterampilan komunikasi, stabilitas emosi, dan sifat adaptif, dapat menentukan sejauhmana tekanan ekonomi akan mengarah pada perceraian. Resiliensi: Pasangan dengan kepribadian yang tangguh dan kemampuan koping (cara mengatasi masalah) yang baik cenderung lebih mampu menghadapi kesulitan keuangan. 
Mereka mungkin melihat tantangan sebagai masalah bersama yang harus diselesaikan, bukan sebagai alasan untuk berpisah. 

Keterampilan Komunikasi

Kepribadian yang terbuka dan komunikatif memungkinkan pasangan untuk mendiskusikan masalah keuangan secara efektif dan mencari solusi bersama. Sebaliknya, kepribadian yang tertutup atau konfrontatif dapat memperburuk dampak tekanan ekonomi menjadi konflik yang tidak terselesaikan. 

Stabilitas Emosi

Individu yang secara emosional lebih stabil cenderung tidak bereaksi berlebihan terhadap stres keuangan dan dapat mempertahankan pandangan yang lebih rasional, sehingga mengurangi kemungkinan perpisahan. 

Sifat Adaptif: Pasangan yang mudah beradaptasi dengan perubahan kondisi, seperti penurunan pendapatan, lebih mungkin untuk menyesuaikan gaya hidup mereka dan mencari alternatif, daripada membiarkan tekanan tersebut merusak pernikahan. 

Pengalaman konseling perkawinan penulis dengan pasangan yang memiliki keinginan bercerai, juga mengungkapkan bahwa faktor ekonomi merupakan trigger dari kumulatif konflik pasangan yang terus-menerus dan tidak terselesaikan. Perbedaan latar belakang dan kepribadian dan komunikasi yang buruk menyebabkan kurangnya keterbukaan dalam sistem ekonomi keluarga. Alasannya lainnya, faktor ekonomi menjadi alasan yang paling mudah dalam gugat cerai. 

Lihat Nilai Uang

Price (1993) dalam laporan penelitiannya yang berjudul “Women, men and money styles” mengungkapkan terdapat perbedaan “nilai uang” dalam perspektif gender. Baik laki-laki maupun wanita cenderung memandang uang sebagai sesuatu yang berkaitan dengan penghargaan dan kekuasaan. 

Meski demikian, laki-laki cenderung merasa lebih terlibat dan kompeten dalam mengelola uang, serta berani mengambil risiko untuk mengumpulkan kekayaan. Sementara, wanita cenderung memandang uang sebagai sarana untuk memperoleh sesuatu dan menikmatinya. 

Oleh karenanya, ketika terjadi masalah ekonomi dalam keluarga maka baik laki-laki maupun wanita cenderung mengalami tekanan psikologis, dimana laki-laki terkait rasa “gagal” atau “tidak kompeten”, sementara wanita terkait adanya rasa takut atau khawatir karena ancaman terjadinya ketidakstabilan hidup (kenyaman terancam). 

Kondisi psikologis inilah yang perlu mendapatkan perhatian, karena justru perbedaan “nilai” ini yang kemudian menjadi trigger ke masalah lainnya.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved