Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

HKN

Perkembangan Riset Stem Cell di Indonesia Makin Pesat, Pakar Minta Pengawasan Diperketat

Dalam momentum Hari Kesehatan Nasional 2025, dua pakar biomedis Indonesia.

Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG/REZANDA AKBAR D.
SIMPOSIUM NASIONAL - Kolaborasi SCCR dan RSCM di Hotel Gumaya, Semarang, Rabu (12/11/2025). Kegiatan ini membahas perkembangan riset dan penerapan terapi sel punca di Indonesia. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Dalam momentum Hari Kesehatan Nasional 2025, dua pakar biomedis Indonesia menegaskan pentingnya kehati-hatian sekaligus percepatan inovasi dalam penerapan terapi sel punca (stem cell) di tanah air.

Pernyataan itu disampaikan oleh Prof Dr dr Agung Putra MSi Med, Owner dan Founder PT Stem Cell and Cancer Research (SCCR) Indonesia, serta Prof dr Amin Subandrio W Kusumo PhD SpMK, Ketua Komite Sel Punca Indonesia, dalam Simposium Nasional Kolaborasi SCCR dengan RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Hotel Gumaya, Semarang, Rabu (12/11/2025).

Prof Agung menjelaskan, terapi sel punca merupakan salah satu terobosan bioteknologi yang memiliki potensi besar untuk masa depan dunia medis. 

Namun, ia menekankan bahwa terapi tersebut bukanlah obat dalam pengertian konvensional.

Baca juga: HKN ke-61, Wabup Batang Tekankan Pentingnya Kualitas Layanan Kesehatan

Baca juga: Hari Kesehatan Nasional, Pemkab Batang Beri Penghargaan Perusahaan Swasta Peduli Jaminan Kesehatan

“Stem cell bukan drug. Ia adalah biologic agent, agen biologis yang dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel tertentu. Misalnya, menjadi neuron otak untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat stroke, atau menjadi sel ginjal bagi penderita gagal ginjal,” paparnya.

Ia menambahkan, sel punca tak hanya berfungsi memperbaiki kerusakan jaringan (restoratif), tetapi juga mengatur sistem kekebalan tubuh (imunoregulator).

“Fungsi ini penting, karena banyak penyakit yang disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem imun. Misalnya lupus eritematosus, sindrom Sjögren (autoimun), hingga autisme yang berkaitan dengan gangguan imun,” jelasnya.

Melalui SCCR, Agung membangun konsep ekosistem bioteknologi nasional yang menghubungkan riset, pendidikan, dan layanan kesehatan dalam satu sistem terpadu.

“Sekarang bukan zamannya bersaing satu lawan satu, tapi membangun ekosistem. Kami punya universitas dengan program bioteknologi dan biomedis, bekerja sama dengan para ilmuwan dari Osaka University, MIT, Imperial College, hingga Nara Institute,” ujarnya.

Selain pendidikan, SCCR juga mengembangkan fasilitas wellness resort di kawasan Gunungpati, Semarang. 

Tempat itu dirancang sebagai ruang riset dan penyembuhan holistik, dengan dukungan bahan baku pertanian dan restoran berbasis hasil riset.

“Stem cell itu bukan hanya soal teknologi medis, tapi juga soal healing experience. Kami ingin membuat ekosistem di mana riset, edukasi, dan kesehatan bisa berjalan beriringan,” katanya.

Terkait harga terapi, Agung mengakui biaya masih cukup tinggi karena disesuaikan dengan berat badan dan dosis pasien.

“Kalau di Indonesia, kisarannya sekitar Rp100 juta sampai Rp150 juta per terapi. Tapi poinnya bukan di harga. Seperti teknologi ponsel, dulu mahal, sekarang bisa diakses semua orang. Harapannya begitu juga dengan stem cell,” ucapnya.

Lebih lanjut, Agung menegaskan pentingnya kolaborasi antara lembaga riset, rumah sakit, dan pemerintah agar riset klinis dapat segera menghasilkan produk-produk yang aman dan terjangkau.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved