Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Readers Note

Anak Dididik Bukan Dibidik

Sebagian besar guru sebenarnya tidak bermaksud menyakiti, mereka hanya mengulang pola yang dulu dialami saat kecil.

|
Editor: iswidodo
tribun jateng/dok pribadi
Saniatus Solihah SE mahasiswa Magister Sains Psikologi Unika Soegijapranata 

Anak Dididik Bukan Dibidik
Oleh Tsaniatus Solihah, SE | Mahasiswi Magister Sains Psikologi Unika Soegijapranata

KEKERASAN di satuan pendidikan masih terus terjadi. Kekerasan sesama siswa atau kekerasan yang dilakukan oleh pendidik dan tenaga kependidikan. Lebih banyak kasus kekerasan dilakukan oleh guru terhadap peserta didik dengan dalih demi kedisiplinan.

Sebagian besar guru sebenarnya tidak bermaksud menyakiti, mereka hanya mengulang pola yang dulu dialami saat kecil. Masih berprinsip bahwa ketegasan harus disertai hukuman. Anak akan berubah bila dibuat jera. 

Jika prinsip seperti itu masih dilakukan, maka sekolah bukanlah tempat yang aman bagi anak. Peserta didik menjadi korban kekerasan, terjadi di Lebak, Provinsi Banten. Ada juga di Bontang, siswa SD dipukul oleh wali kelasnya. Terbaru pelajar di Blora dipukul dan ditendang oleh teman sekolahnya.

Peningkatan Kasus

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mencatat pada tahun 2024 ada 573 kasus kekerasan di satuan pendidikan. Meningkat dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya, hanya 285 kasus. 
Sedangkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI memperlihatkan data terkini, kasus yang terjadi di tahun 2025 mencapai  27.078 kasus. Sebanyak 1.550 kasus terjadi di satuan pendidikan dengan jumlah 1.811 korban. Dari banyaknya kasus tersebut pelaku kekerasan yang merupakan guru ada sebanyak 596 orang.

Banyaknya kasus yang terjadi tentunya membutuhkan respon secepatnya. Bahwa bentuk kekerasan tidak dibenarkan terjadi dimanapun termasuk di satuan pendidikan meskipun dengan alasan pendisiplinan.

Tidak Dibenarkan

Pasal 6 Permendikbud No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan menyatakan bahwa bentuk kekerasan terdiri atas kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan dan bentuk kekerasan lainnya. Artinya secara tegas disampaikan bahwa hukuman yang merupakan salah satu kebijakan yang mengandung kekerasan merupakan bagian dari bentuk kekerasan yang tidak dibenarkan. 

Faktanya kekerasan masih kerap dijadikan pembenaran dalam mendisiplinkan siswa, Guru merasa memiliki otoritas untuk melakukan pendisiplinan meski dengan cara yang kurang tepat. Perilaku negatif siswa di sekolah direspon dengan hukuman yang sering kali berujung dengan kekerasan. Padahal disiplin bukan tentang hukuman melainkan tentang pembelajaran. 

Disiplin Positif

Kata disiplin berasal dari bahasa latin diciple yang berarti murid atau pembelajar. Artinya disiplin sejatinya adalah perjalanan anak untuk memahami tanggung jawab dan aturan dengan kesadaran bukan melalui rasa takut atau rasa malu. Seorang guru bisa tetap tegas tanpa harus membentak, bisa menegur tanpa harus melukai harga diri anak.

Konsep Disiplin positif dalam “Buku Disiplin Positif untuk Merdeka Belajar” merupakan sebuah pendekatan untuk mendisiplinkan dan membangun karakter anak tanpa menghukum. Meskipun tanpa hukuman pendekatan disiplin positif bukan berarti membiarkan atau memberi kebebasan tanpa batas kepada siswa. 

Pendekatan disiplin positif membantu anak belajar dari kesalahan melalui penjelasan yang logis dan sikap empati. Saat anak berbuat salah, guru mengajak berbicara dengan tenang tentang apa yang terjadi, mengapa hal itu tidak tepat dan bagaimana memperbaikinya. Cara ini memerlukan waktu yang lebih lama, tetapi hasilnya jauh lebih mendalam. 

Anak tidak hanya menuruti aturan, tetapi benar-benar memahami alasannya. Mereka belajar menghargai nilai-nilai kedisiplinan bukan karena takut, melainkan karena merasa dihargai dan memahami bahwa perilakunya kurang tepat.

Sayangnya konsep ini masih belum dipahami oleh sebagian besar guru, meskipun disiplin positif sudah populer sejak Kurikulum Merdeka Belajar dimana Guru Penggerak mendapatkan pelatihan tentang disiplin positif namun implementasinya masih sangat minim. Sebagian besar guru belum mengetahui konsep ini bahkan guru yang sudah mengetahui pun tidak menjamin dapat mengimplementasikan di satuan pendidikan

Membuat Takut

Hukuman yang disertai dengan kekerasan dampaknya lebih besar tidak sekedar yang tampak di permukaan. Anak mungkin tampak menurut tapi sesungguhnya mereka patuh karena takut, bukan karena memahami. 

Rasa takut perlahan akan mengikis harga diri membuat anak ragu mengambil keputusan dan membuat keyakinan bahwa kekuatan adalah cara untuk mengendalikan orang lain. Anak yang sering mendapat hukuman keras cenderung mengalami kesulitan mengelola emosi, mudah cemas, dan kurang percaya diri. 

Dalam jangka panjang, mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang agresif atau justru pasif, dua sisi ekstrem dari luka yang sama. Di sekolah, anak seperti ini sering sulit fokus belajar, mudah tersinggung, dan menarik diri dari lingkungan sosialnya.

Tidak hanya itu guru juga dihadapkan dengan pelaporan orang tua yang tidak menerima anaknya diperlakukan kekerasan, mereka terancam UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak yaitu pidana penjara maksimal 3 tahun 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp 72 juta untuk kekejaman dan penganiayaan. Ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda Rp 500 juta untuk kekerasan seksual.

Pandangan Psikologi

Dari sudut pandang psikologi, hukuman dalam mendisiplinkan anak seringkali justru menimbulkan dampak negatif. Menurut B.F. Skinner, hukuman memang dapat menghentikan perilaku yang tidak diinginkan, tetapi tidak mengajarkan perilaku baru yang lebih baik. Anak akhirnya patuh karena takut, bukan karena memahami alasan di balik aturan. Ia belajar menghindari kesalahan, bukan belajar bertanggung jawab.

Albert Bandura melalui teori belajar sosial menjelaskan bahwa anak-anak membentuk perilakunya dengan meniru orang dewasa di sekitarnya. Ketika guru menggunakan kekerasan untuk menegakkan aturan, tanpa disadari anak menyerap pesan bahwa kekuasaan berarti boleh menyakiti. Pola seperti ini dapat terbawa hingga dewasa, menciptakan lingkaran kekerasan yang berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Padahal, yang dibutuhkan anak bukanlah ketegasan yang menakutkan, melainkan hubungan yang aman dan penuh kasih. Seperti dijelaskan John Bowlby dalam teori attachment, ikatan emosional yang hangat antara anak dan figur otoritas termasuk guru menjadi dasar rasa aman dan motivasi belajar. 

Anak yang merasa diterima dan dihargai akan lebih mudah mengatur diri dan memahami aturan, bukan karena takut dihukum, tetapi karena ingin menjaga hubungan baik dengan orang dewasa yang ia hormati.

Pandangan humanistik dari Carl Rogers memperkuat hal itu. Rogers meyakini setiap anak memiliki dorongan alami untuk tumbuh dan berkembang, namun potensi itu hanya muncul dalam suasana yang penuh penerimaan atau yang disebut unconditional positive regard (penerimaan tanpa syarat).

Dalam konteks pendidikan, sikap ini berarti guru menerima anak sebagaimana adanya, bahkan ketika ia berbuat salah. Guru tetap menegur dengan kasih, bukan dengan amarah sehingga anak merasa aman untuk belajar, berani mencoba, dan tumbuh menjadi pribadi yang autentik.

Aman dan Nyaman 

Lalu, bagaimana kita bisa menciptakan ruang belajar yang aman bagi anak?
Semuanya berawal dari cara kita memandang mereka. Anak bukanlah objek yang harus dikendalikan, melainkan pribadi yang sedang belajar memahami dunia. 

Langkah kecil bisa dimulai dari suasana kelas. Guru bisa menyapa dengan senyum, memberi waktu anak berbagi cerita, atau menggunakan kata-kata positif saat menegur. Membuat kesepakatan kelas menjadi panduan bersama dalam mengontrol perilaku siswa. Jika anak berbuat salah, ajaklah bicara bukan membentak. Tanyakan apa yang terjadi, apa yang bisa diperbaiki, dan bagaimana melakukannya bersama. Dari situ, anak belajar bertanggung jawab, bukan sekadar takut.

Ramah Anak

Sekolah pun perlu membangun budaya tanpa kekerasan. Bukan sekadar slogan “Satuan Pendidikan Ramah Anak”, tapi lewat perilaku nyata setiap hari. Kepala sekolah mendukung pendekatan disiplin positif dengan membuat kebijakan dan membangun komitmen bersama guru. Orang tua dilibatkan dalam membangun dan mengembangkan konsistensi perilaku positif di rumah.

Dan yang sering terlupa, guru juga membutuhkan ruang aman. Banyak kekerasan muncul bukan karena niat buruk, tapi karena guru lelah dan tidak memiliki tempat untuk menenangkan diri. Dukungan emosional, pelatihan pengelolaan stres, dan komunitas belajar sesama guru bisa menjadi sumber kekuatan. Guru yang tenang dan bahagia akan lebih mudah menumbuhkan suasana belajar yang hangat.

Ruang belajar yang aman bukan berarti tanpa aturan. Disiplin tetap ada, tapi ditegakkan dengan empati. Kesalahan tetap dikoreksi, tapi dengan kasih. Ketika sekolah menjadi tempat yang membuat anak merasa aman untuk tumbuh dan belajar, di situlah makna pendidikan sejati menemukan tempatnya. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved