Wonosobo Hebat

Pemkab Wonosobo Evaluasi Ulang Strategi Penanganan Stunting

IST
STUNTING - Evaluasi 10 Program PKK di Desa Sendangsari, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo. Pencegahan dan penanganan stunting masuk bagian dari pelaksanaan 10 Program Pokok PKK yang dievaluasi. (Foto Prokompim Setda Wonosobo) 

TRIBUNJATENG COM, WONOSOBO - Pemerintah Kabupaten Wonosobo masih terus berjuang mengatasi persoalan stunting yang belum juga tuntas. 


Meski berbagai intervensi telah dijalankan, data menunjukkan bahwa angka stunting di kabupaten berhawa sejuk ini masih berada pada posisi tinggi.


Wonosobo saat ini menduduki peringkat ke-35 dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah dalam hal prevalensi stunting.

Hal ini disampaikan Kepala Bappeda Wonosobo, Tono Prihartono melalui Kepala Bidang Pemerintahan, Sosial dan Budaya Bappeda Wonosobo, Dwi Erna Widayanti, Kamis (2/10/2025).


Selama empat tahun terakhir, angka prevalensi stunting di Wonosobo mengalami fluktuasi yang cukup tajam. 


Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) dan Survei Kesehatan Indonesia (SKI), pada tahun 2021 tercatat sebesar 28,10 persen.

Angka ini menurun pada 2022 menjadi 22,70 persen, namun kembali melonjak di 2023 hingga 29,20 persen.


Di tahun 2024, angka tersebut kembali menurun ke 23,90 persen.

Meski ada penurunan, perubahan yang tidak konsisten dari tahun ke tahun menandakan bahwa persoalan stunting belum selesai, dan bahkan bisa kembali naik jika intervensi tidak tepat sasaran.


Sementara itu, data hasil penimbangan serentak bulan Agustus, yang dihimpun melalui aplikasi EPPGBM juga menunjukkan pola serupa.

Pada 2021, angka stunting berada di 16,21 persen, kemudian turun menjadi 14,73 persen di 2022.

Namun, angka tersebut naik sedikit menjadi 15,25 persen di 2023, dan kembali naik ke 15,82 persen pada tahun 2024.


Menurut Erna, dengan adanya sistem data langsung dari lapangan ini, pemkab bisa melakukan pemantauan kinerja secara lebih dinamis.

"EPPGBM penimbangan serentak data real-time di lapangan, hasil pengukuran kader. Bisa melihat progres kinerja kita, ada perubahan tidak," ujarnya.


Salah satu temuan penting dari audit stunting di Wonosobo adalah adanya penyakit penyerta, khususnya tuberkulosis (TB), yang menghambat pemulihan balita meski sudah mendapatkan intervensi gizi seperti pemberian makanan tambahan (PMT).


“Kenapa sudah banyak intervensi tapi stunting masih tinggi atau ada stunting baru? Ternyata ada penyakit penyerta.

Ada beberapa balita yang diaudit stunting hasilnya positif TB. Tahun 2024 ada keluar edaran anak stunting wajib discreening," jelasnya.


Fakta ini menjadi pengingat bahwa stunting tidak hanya soal asupan gizi, tetapi juga erat kaitannya dengan kondisi kesehatan dasar anak yang bisa memperburuk status gizi bila tidak segera ditangani.


Dalam rangka memperbaiki efektivitas intervensi, Pemkab Wonosobo kini mulai menerapkan perencanaan berbasis kecamatan.

 Jika sebelumnya seluruh analisis dan penentuan intervensi dilakukan di tingkat kabupaten oleh Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS), kini kecamatan diberi peran lebih besar dalam merancang solusi.


“Sekarang yang mengupload, mengidentifikasi laporan juga dari kecamatan, sehingga kecamatan bisa mengidentifikasi sendiri permasalahannya apa, mengatasi masalah apa", jelasnya. 


Karena secara kumulasi pelaporan, permasalahan akan naik di kabupaten.

Apa sudah bisa di kecamatan atau butuh kolaborasi yang lain, pentahelik,” jelasnya.


Model ini juga membuka ruang bagi pelaksanaan rembug stunting di tingkat desa, di mana masing-masing desa bisa membahas sendiri akar masalah yang mereka hadapi dan menentukan jenis intervensi yang paling relevan.


Kebijakan nasional juga mulai mengubah pendekatan spasial menuju pendekatan berbasis sasaran langsung.

Mulai tahune 2026, program intervensi tidak lagi menetapkan lokus desa sebagai fokus utama, melainkan diarahkan ke kelompok rentan seperti ibu hamil.


Dengan pendekatan ini, diharapkan intervensi menjadi lebih tepat guna dan tepat sasaran, sehingga potensi stunting sudah dicegah sejak dalam kandungan.


Selain faktor medis, kondisi sosial-ekonomi masyarakat Wonosobo juga masih menjadi tantangan dalam upaya penanganan stunting.

Banyak rumah tangga yang tidak mampu menyediakan makanan bergizi bagi anak-anak mereka.


Pola asuh yang kurang memadai baik karena faktor pendidikan, pengetahuan, atau keterbatasan waktu juga berkontribusi besar terhadap risiko stunting. 


Maka intervensi yang hanya berfokus pada pemberian makanan tanpa menyentuh pendidikan keluarga tidak akan menghasilkan perubahan yang signifikan. (ima)