Wonosobo Hebat
Tangani Stunting dari Hulu, Dinas PPKBPPPA Wonosobo Libatkan Remaja dan Calon Pengantin
TRIBUNJATENG.COM, WONOSOBO - Upaya penanganan stunting di Wonosobo kini tidak hanya menyasar balita, namun juga dari hulu.
Edukasi remaja, calon pengantin, hingga perubahan pola pikir keluarga menjadi strategi utama yang dikedepankan Dinas PPKBPPPA Wonosobo.
Stunting tak lagi dilihat semata akibat kemiskinan, tetapi sebagai hasil dari pola asuh yang keliru bahkan bisa terjadi di keluarga ASN.
Sekretaris Dinas PPKBPPPA Wonosobo, Aryati Prabandari mengatakan, upaya penanganan stunting di Kabupaten Wonosobo kini semakin difokuskan pada aspek pencegahan sejak usia dini.
Pencegahan stunting sebenarnya bisa dimulai dari hulu, yaitu melalui edukasi kepada remaja.
“Kami sudah ada yang namanya konseling maupun komunikasi, informasi, edukasi (KIE).
Edukasi ini dilakukan melalui Pusat Informasi dan Konseling (PIK). Di setiap desa kan sekarang sudah ada PIK remaja,” ujarnya.
Kegiatan edukasi ini dijalankan oleh kader remaja, termasuk anak-anak Genre, yang aktif turun ke sekolah-sekolah maupun menjangkau remaja langsung di desa.
Fokus utama dari edukasi ini adalah pencegahan anemia, yang menjadi salah satu masalah gizi terbesar di kalangan remaja putri.
“Tetapi banyak yang menerima kemudian tidak meminum karena berbagai alasan, karena tidak tahu manfaatnya,” katanya.
Untuk mengatasi hambatan itu, edukasi diberikan bersamaan dengan distribusi tablet tambah darah (TTD) oleh Dinas Kesehatan.
Sedangkan Dinas PPKBPPPA hadir untuk memperkuat edukasi, termasuk dengan penggunaan rapor TTD guna memantau kepatuhan remaja.
Program ini telah menjangkau seluruh sekolah, bahkan hingga pondok pesantren di Wonosobo.
“Kalau data awalnya sih lebih dari 50 persen, sekitar 60 sekian persen remaja itu dulu anemia memang,” ungkapnya.
Namun dengan edukasi dan kegiatan rutin seperti Jumat Bersih, angka anemia mulai menurun.
Selain menyasar remaja, pendekatan juga dilakukan terhadap calon pengantin (catin).
Dinas PPKBPPPA memiliki program konseling di setiap kecamatan bernama Satya Gatra, yang wajib diikuti oleh pasangan yang akan menikah.
“Pernikahan kan bukan hanya ketemu jodoh terus resepsi.
Tapi yang penting itu justru perencanaan setelah menikah itu mau seperti apa.
Saya yakin berarti 100 persen dari catin yang sudah mendaftarkan ke KUA ini pasti sudah terkena atau terimbas dari konseling kami,” lanjutnya.
Pendampingan juga diberikan kepada ibu hamil serta keluarga yang memiliki balita dan baduta, melalui kader Tim Pendamping Keluarga (TPK).
Para kader ini aktif mencatat dan melaporkan perkembangan kondisi keluarga sasaran secara berkala di lapangan.
“Kita punya 2.034 kader yang tersebar di 265 desa dan kelurahan,” kata Aryati.
Meski secara teknis intervensi telah diperkuat, tantangan terbesar justru datang dari pola pikir masyarakat.
Aryati menegaskan bahwa stunting tidak hanya terjadi di keluarga prasejahtera, melainkan juga bisa ditemukan pada keluarga dengan latar belakang ekonomi baik.
“Hasil survei menunjukkan ternyata stunting itu tidak selalu berasal dari keluarga prasejahtera, bahkan ini ada yang ASN.
Artinya faktor utama tetap terletak pada pola asuh yang benar, supaya anak-anaknya tidak menjadi anak-anak yang stunting," jelasnya.
Sebagai respons terhadap dinamika lapangan, Dinas PPKBPPPA juga mengembangkan layanan konseling keliling yang bersifat situasional.
Tim turun langsung ke wilayah ketika ditemukan kasus atau permasalahan spesifik di masyarakat.
“Konseling keliling masih bersifat situasional sesuai kebutuhan lapangan.
Karena ini baru, jadi masih by kebutuhan.
Ada penanganan permasalahan di wilayah, baru kita turun,” jelasnya.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyuluhan di kalangan remaja, pendekatan peer-to-peer juga digunakan lewat program Genre Tandang.
Cara ini dinilai lebih efektif karena remaja cenderung lebih nyaman berdiskusi dengan teman sebayanya.
Dengan mengedepankan pendekatan edukatif, memperkuat peran remaja, serta menjangkau keluarga sejak sebelum terbentuk, PPKBPPPA Wonosobo menegaskan bahwa kunci penanganan stunting ada pada pencegahan sejak hulu.
Tantangan terbesar kini bukan lagi kurangnya program, tetapi memastikan pemahaman dan perubahan perilaku di tingkat keluarga terjadi secara berkelanjutan. (ima)