Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

KISAH Gula Semut Cilongok Banyumas Tembus Pasar Ekspor, Kelapa Tak Boleh Dekat Sawah dan Sungai

Produk pengrajin harus memenuhi sejumlah kualifikasi, di antaranya wajib mendapatkan sertifikat gula kelapa organik dari Control Union (CU).

Penulis: khoirul muzaki | Editor: abduh imanulhaq
TRIBUN JATENG/KHOIRUL MUZAKKI
Pengrajin mengemas gula semut sebelum diekspor di Rancamaya, Cilongok, Banyumas, Jumat (6/1/2017). 

Laporan Wartawan Tribun Jateng, Khoirul Muzakki

TRIBUNJATENG.COM, BANYUMAS - Ada kemauan ada jalan, itulah yang terjadi pada pengrajin gula semut yang tergabung dalam Kelompok Tani Banyumanggar, Desa Rancamaya, Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah.

Rendahnya harga jual di pasaran lokal membuat mereka berpikir untuk mengekspor produknya ke mencanegara, tiga tahun silam.

Dengan satu harapan, harga jual lebih tinggi sehingga pendapatan petani pengrajin bisa meningkat.

"Semula anggota kami hanya 20 orang, produknya dijual ke pasar lokal. Ternyata harga lokal terlalu murah sehingga petani kurang sejahtera," kata Ketua Kelompok Banyumanggar, Sarwo, Jumat (6/1/2017).

Ternyata merambah pasar ekspor bukan perkara mudah.

Produk pengrajin harus memenuhi sejumlah kualifikasi, di antaranya wajib mendapatkan sertifikat gula kelapa organik dari Control Union (CU).

Adapun persyaratan mendapatkan sertifikat itu sangat ketat.

Gula semut yang dihasilkan harus dipastikan alami (organik), tak dicampur bahan lain semisal gula pasir.

Nira tak boleh terkontaminasi dengan pestisida atau zat kimia lain yang bisa merusak kealamian gula.

"Nira tak boleh diambil dari pohon kelapa yang berada di dekat sawah karena sawah sudah terkontaminasi pestisida. Tak boleh dari pohon yang tumbuh di dekat sungai karena sungai mengandung kotoran. Minimal jaraknya 200 meter dari sawah dan sungai," terangnya.

Setiap pengrajin harus siap disurvei oleh tim penguji untuk memperoleh sertifikasi.

Tim penguji dari luar negeri akan meninjau langsung dan mewawancarai pengrajin untuk menguji kualitas gula mereka.

Karena ketatnya proses itu, banyak pengrajin akhirnya gagal memenuhi persyaratan sertifikasi.

"Enam bulan sekali disurvei. Kalau ketahuan gulanya tidak organik atau dicampur, dia akan gagal," jelas Sarwo.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved