focus
Pro Kontra Densus Tipikor
Pro Kontra Densus Tipikor. Menurutnya, KPK menangani perkara yang melibatkan penyelenggara negara dan jumlah dugaan korupsinya
Penulis: Catur waskito Edy | Editor: iswidodo
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Di tengah kecaman dan kekhawatiran masyarakat Indonesia terhadap pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kini muncul rencana pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polri. Pro dan kontra pun muncul di berbagai media akhir-akhir ini.
Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif pun menyatakan mendukung rencana pembentukan Detasemen khusus tindak pidana korupsi Polri ini. Menurutnya, makin banyak yang menangani korupsi di Indonesia dia yakin bisa tertangani dengan baik. Syarif juga sependapat dengan Kapolri tentang pembagian kerjasama KPK dan Polri dalam menangani perkara-perkara korupsi, karena memang sudah diatur dalam UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Menurutnya, KPK menangani perkara yang melibatkan penyelenggara negara dan jumlah dugaan korupsinya di atas satu miliar rupiah.
Reaksi pun muncul, diantaranya dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI). Peneliti MaPPI FHUI, Adery Ardhan takut jika fungsi penyidikan dan penuntutan berada dalam satu atap di Densus Tipkor, maka posisi Kejaksaan sebagai penuntut umum berada di bawah pihak penyidik Polri.
Menurut Adery, pihak penuntut umum yang seharusnya secara obyektif dapat mengawasi pelaksanaan penyidikan Polri menjadi bermasalah ketika atasan atau pimpinan dari Densus Tipikor adalah anggota Polri dan secara fungsional merupakan penyidik.
Adery mengingatkan Densus Tipikor tidak bisa mengadopsi sistem yang dimiliki KPK sebab kewenangan KPK diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Maka bila Densus dibentuk dan fungsi penyidikan dan penuntutan satu atap maka Densus harus dibentuk melalui UU, bukan Perpres.
Selain itu, dia juga menyoroti anggaran pembentukan Densus Tipikor sebesar Rp 2,6 triliun. Jika Kapolri komitmen dalam memberantas korupsi, seharusnya pengajuan anggaran digunakan untuk memperkuat Dittipikor yang sudah ada. Mengapa anggaran sebesar itu tidak diberikan kepada Dittipikor, namun malah membentuk organisasi baru yakni Densus Tipikor?
Kritikan juga muncul dari Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (PSAK), Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar. Dia khawatir Densus Tipikor ini akan menjadi ajang baru perseteruan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Zainal ingin melihat kejelasan tentang bentuk, mekanisme, tata cara kerja serta koordinasinya dengan lembaga penegak lainnya yaitu KPK dan Kejaksaan. Bagaimana model pengerjaan perkaranya, apa kewenangannya?
Selain itu, dia berharap lembaga yang mau dibentuk ini tidak merusak ritme pemberantasan korupsi yang sekarang cukup berjalan baik. Alih-alih mau memberbaiki, jangan sampai malah merusak.
Sementara itu, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Kamis (12/10), Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan tujuan pembentukan Densus Tipikor ini bukan untuk menandingi KPK, melainkan membantunya. Harapannya KPK bisa fokus ke masalah yang besar, sedangkan Densus bisa fokus kepada wilayah-wilayah, sampai ke desa.
Menanggapi penolakan Jaksa Agung M Prasetyo jika fungsi penuntutan dilakukan satu atap.Menurut Tito, tak menjadi masalah karena pihaknya menyediakan dua opsi. Opsi lainnya adalah dengan dibentuknya tim atau satuan tugas khusus di Kejaksaan yang akan bermitra dengan Densus Tipikor. Sistem tersebut diharapkan bisa meminimalkan bolak-baliknya berkas perkara.
Lalu benarkah Densus Tipikor ini bisa membantu pemberantasan korupsi di Negeri ini? Hingga Cak Lontong pun membuat guyonan, di Negeri ini, para koruptor sudah tidak takut pada Tuhan, apalagi KPK atau Densus Tipikor? (tribunjateng/catur waskito edi)