Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Sintren dan Lais, Tarian Mistis yang Semakin Terpinggirkan

Kesenian tradisional Sintren kian dilupakan seiring perkembangan teknologi dan derasnya gelombang budaya dari luar

TRIBUN JATENG/MAMDUKH ADI PRIYANTO
Penari sintren saat acara Luwijawa Culture Festival di Luwijawa Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal, Selasa malam. 

Laporan Wartawan Tribun Jateng, Mamdukh Adi Priyanto

TRIBUNJATENG.COM,SLAWI - Kesenian tradisional Sintren kian dilupakan seiring perkembangan teknologi dan derasnya gelombang budaya dari luar yang masuk ke Nusantara ini.

Budayawan asal Tegal, Teguh Puji Harsono, menuturkan kesenian Sintren berlahan ditinggalkan masyarakat.

"Saya katakan, hampir punah. Karena tidak ada upaya untuk melestarikannya. Yang melestarikan siapa? ya seharusnya masyarakat itu sendiri," kata Teguh, saat ditemui di acara Luwijawa Culture Festival di Luwijawa, Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal, Rabu (29/11/2017).

Sintren sebagai satu kekayaan budaya dan kearifan lokal ini tidak menutup kemungkinan akan punah dari perbendaharaan budaya bangsa.

Sintren ada, kata dia, karena adanya masyarakat agraris. Masyarakat petani kerap menggunakan kesenian yang sarat mistis itu untuk mengundang hujan dan mencegah bencana terhadap hasil pertanian mereka, semisal, mengusir hama dan sebagainya.

Menurutnya, dengan adanya festival budaya di Kabupaten Tegal, diharapkan dapat ikut melestarikan kesenian yang diperankan gadis yang suci atau masih perawan itu.

"Meskipun saat ini, Sintren sudah jauh dari orisinal lagi, minimal ada upaya pelestarian. Yakni dengan cara pertunukan Sintren sebagai kebutuhan hiburan, bukan lagi sebagai ritual," ucapnya.

Kesenian tradisional Sintren merupakan tarian mistis. Karena di dalam ritualnya mulai dari permulaan hingga akhir pertunjukan banyak ritual magis untuk memanggil roh.

Sehingga penarinya yang disebut Sintren (untuk penari perempuan) dan Lais (untuk penari laki- laki), tidak sadar saat menari.

Penari dengan tangan terikat dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang berselebung kain. Pawang atau dalang kemudian membakar kemenyan dan merapalkan mantra memanggil ruh.

Jika pemanggilan roh berhasil, maka ketika kurungan dibuka, sang gadis tersebut sudah terlepas dari ikatan dan berdandan cantik, lalu menari diiringi gending.

Pawang atau dalang juga menjalani sejumlah ritual sebelum memulai pertunjukan Sintren. Mereka harus berpuasa patigeni, tidak makan dan minum serta tidak keluar rumah selama beberapa hari sebelum tampil.

"Tidak hanya kami (dalang atau pawang) tapi juga penarinya. Mereka puasa mutih (hanya makan nasi dan minum air putih) selama beberapa hari sebelum tampil," kata pawang asal Desa Luwijawa, Katri (70).

Menurutnya, jika tidak mengambil ritual tersebut, khawatir, pertunjukan Sintren atau Lais tidak berjalan lancar.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved