Lipsus Tambaklorok: Achmadi Tunggu Putusan MA Soal Nilai Ganti Rugi
Pembebasan lahan pembangunan Kampung Bahari Tambaklorok, Semarang Utara, belum sepenuhnya tuntas.
TRIUNJATENG.COM, SEMARANG - Pembebasan lahan pembangunan Kampung Bahari Tambaklorok, Semarang Utara, belum sepenuhnya tuntas. Ada sejumlah rumah warga yang terdampak pembangunan jalan, pasar, dan ruang terbuka hijau.
Masih ada warga yang terdampak langsung pembangunan proyek strategis nasional tersebut belum terbebaskan. Warga bersikukuh bertahan karena berbagai alasan. Achmadi Muhadi, seorang warga terdampak, merupakan satu dari warga yang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terkait pembebasan lahan rumahnya yang terdampak proyek. Ia tidak puas dengan nominal ganti rugi (untung) yang ditawarkan tim apraisal.
Dia mengatakan, sangat mendukung proyek yang akan berdampak positif kepada warga setempat yang mayoritas merupakan nelayan. "Saya sangat mendukung pembangunan ini. Bagus. Kami tidak konyol ingin menghentikan proyek ini. Kami hanya butuh keadilan," tegas Achmadi.
Ia pun tak ingin berlama-lama menghadapi masalah itu. Menurutnya, setiap pembangunan infrastruktur terdapat korban. Nah, kali ini, dia dan beberapa warga merasa jadi korban pembangunan Kampung Bahari Tambaklorok. Hanya saja, pembangunan itu meninggalkan masalah sosial ekonomi di masyarakat, terutama tidak cocoknya angka ganti rugi.
Achmadi mempunyai sejumlah alasan untuk mempertahankan lahan dan bangunan miliknya yang akan dijadikan jalan dalam proyek tersebut. Pertama, kata dia, harga yang ditawarkan antara lahan milik negara dan yang sudah ber-SHM (hak milik) selisih sedikit.
"Tanah saya yang sudah memiliki SHM dan tanah pemerintah dihargai selisihnya tidak banyak, hanya Rp 100-150 ribu," jelasnya.
Kemudian, lahan miliknya hanya dihargai Rp 850 ribu permeter. Sedangkan untuk mencari lahan di Kota Semarang, dia harus merogoh kocek sekitar Rp 1,5 juta per meter, itu pun di pinggiran, seperti di Genuk. Sehingga, ia keberatan. Dia mengaku diperlakukan tidak adil lantaran membandingkan rumah terdampak lain yang posisinya sama dengan rumahnya, padahal memiliki ukuran lebih sempit, namun dihargai lebih tinggi.
Bangunan miliknya memiliki luas 5,5x 14 meter dihargai Rp 264 juta. Itu masih harga rendah, jika dibandingkan dengan lahan tetangganya. "Seharusnya Rp 350 juta biar saya bisa beli lahan lagi yang setimpal," terang Achmadi.
Ia dan beberapa warga lain pun sempat mendatangi kantor Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang untuk mengklarifikasi kenapa bangunan miliknya yang sudah ditempati puluhan tahun itu dihargai murah. Pihaknya masih membuka jalan kekeluargaan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Setelah meminta klarifikasi, tidak ada jawaban memuaskan. Hingga akhirnya empat orang mengajukan kasasi ke MA soal pembebasan lahan itu.
Tanggal 20 Februari kemarin, kasasi sudah teregister di MA. Pihaknya masih menunggu putusan dari MA.
Pedagang Minta Dibuatkan Koperasi Pasar
Yuliatun (45) seorang pedagang sekaligus warga RT06/RW14, Tambaklorok, Kota Semarang saat malam masih buka dagangan, belum tutup. Di belakang lapaknya berdiri gedung pasar modern bercat biru yang baru saja dibangun.
Namun belum bisa dimanfaatkan pedagang karena sedang tahap penyelesaian. Oleh sebab itu para pedagang masih terlihat berjualan di tepi jalan. Mereka juga belum mendapatkan sosialiasi terkait kapan pasar tersebut bisa dipakai dan seperti apa mekanisme pembayaran agar bisa berjualan di gedung baru.
Menurut Yuliatun, selama ini para pedagang berjualan di pinggir jalan dengan biaya retribusi Rp 2.000 per hari. Dengan nantinya dipindah ke gedung pasar, ia berharap biaya sewa tidak memberatkan pedagang.
“Saya kurang tahu ini nanti sistemnya beli atau sewa. Kalau bisa biaya sewanya harian aja. Jangan mahal-mahal,” ujar wanita yang sejak 1997 sudah berjualan di pasar Tambaklorok.