Mengintip Kerajinan Gedek di Purbalingga, Bahan Bangunan Tradisional yang Kian Ditinggalkan
Sebagian masyarakat modern menempatkan rumah bukan sekadar tempat berteduh dari panas maupun hujan.
Penulis: khoirul muzaki | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG.COM, PURBALINGGA - Sebagian masyarakat modern menempatkan rumah bukan sekadar tempat berteduh dari panas maupun hujan.
Lebih dari itu, rumah dianggap representasi kelas sosial penghuninya.
Karenanya, wajar mereka berlomba mendirikan rumah untuk menaikkan statusnya di masyarakat.
Bangunan dengan struktur beton pastinya, masih menjadi primadona masyarakat kini.
Rumah berbahan kayu, kecuali kayu tertentu yang harganya mahal, semakin tak dilirik karena dianggap ketinggalan zaman.
Apalagi rumah berbahan anyaman bambu atau gedek yang lebih jauh ditinggalkan.
Bahkan kadan rumah gedek dicitrakan lebih terbelakang.
Penghuninya dianggap kalangan lemah dalam strata ekonomi masyarakat.
Lihat saja, pemilik rumah berbahan gedek di berbagai daerah kerap menjadi sasaran program bedah rumah.
Pandangan ini mungkin juga beralasan.
Gedek memang menjadi alternatif masyarakat yang menginginkan hunian dengan dana mepet.
Harganya jauh lebih murah ketimbang bahan bangunan lain semisal kayu atau pasir semen (cor).
Seiring perkembangan zaman, juga meningkatnya kesejahteraan masyarakat, hunian berbahan gedek semakin sulit dijumpai, bahkan di desa sekalipun.
Tetapi nyatanya, kerajinan itu masih ada di pasar.
Pengrajinnya pun masih bertahan.