Community
Komunitas Lopen Semarang Wadah Bagi Pecinta Sejarah
Komunitas ini terbentuk karena pertemuan beberapa anggotanya
EMPAT orang terlihat sibuk di depan laptop dan komputer saat Tribun Jateng tiba di base camp Lopen Semarang, Jalan Singosari Raya 29, Semarang. Ada yang merancang kartu tanda anggota (KTA), ada juga yang mengumpulkan foto-foto dokumentasi hasil jalan-jalan ke beberapa tempat bersejarah.
"Kami sedang mempersiapkan ulang tahun pertama Lopen, Desember mendatang," terang Ridho Alif Kurniawan (22), anggota komunitas Lopen Semarang.
Dari foto-foto dokumentasi itu, terlihat anggota Lopen bergaya di depan Benteng Willem di Ambarawa. Ada juga foto bersama berlatar GPIB Immanuel atau yang lebih dikenal sebagai Gereja Blenduk di Kota Lama, Semarang. Lopen memang memfokuskan kegiatan mereka pada hal-hal berbau sejarah.
Berasal dari Bahasa Belanda, Lopen berarti jalan kaki. Makna harafiah ini menjadi pijakan anggota Lopen dalam aktivitas jalan-jalan mereka menyuri tempat-tempat di Semarang. Tentu saja, sambil berdiskusi atau menggali nilai sejarah dari lokasi pijakan jalan kaki tersebut.
"Komunitas ini terbentuk karena pertemuan beberapa anggotanya saat membantu sebuah pagelaran bertajuk Pameran Sentiling," jelas Ridho. Acara bertema sejarah ini membuat sekelompok anak muda tertarik mendalami kota yang mereka tempati, Semarang.
Terbentuk resmi Desember 2012, Lopen yang dikoordinatori M Yogi Fajri langsung membentuk tiga divisi. Yakni, Divisi Riset yang bertugas mencari tempat atau hal yang layak dikunjungi anggota Lopen agar sejarah di dalamnya semakin terkuak. Hasilnya, akan dishare ke jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter.
Divisi Business development mengurus merchandising dan keuangan. Sementara Divisi Public Relation (PR) mengurusi hubungan Lopen Semarang dengan komunitas lain atau pihak luar.
Anggota lain Lopen, Dimas Suryo menjelaskan, blusukan menjadi agenda rutin yang digelar setiap bulan. "Tapi, beberapa bulan ini kami belum sempat melanjutkan blusukan karena mempersiapkan agenda lain yang lebih penting," ujar Dimas.
Mereka juga menggagas agenda baru, Layar Tancap. Acara yang digelar setiap Jumat malam di Jalan lantai 2 rumah makan Hungry Buzz di Jalan Singosari Raya 29, Semarang ini adalah nonton bareng (nobar. Acara dilanjutkan diskusi dan bedah film.
Di nobar pertama yang digelar Jumat (1/11/2013) pekan lalu, Lopen menyajikan film Max Havelaar. "Ada juga StandUp History, yakni menceritakan sejarah dengan cara berdiri. Kami juga pernah bermain layang-layang di kampus Undip (Universitas Diponegoro Semarang) untuk mengenang masa kecil sekaligus bersenang-senang," jelasnya.
Pada 22-28 Agustus lalu, Lopen juga menggelar pameran tentang sejarah Semarang. Bekerjasama dengan Oase (komunitas peduli Kota Lama) dan masyarakat umum yang peduli sejarah, mereka mengadakan pameran bertajuk Kuno Kini Nanti di Gedung Spiegel, Kota Lama, Semarang.
"Kami senang, acara ini mendapat sambutan meriah dari warga. Bahkan, banyak SD yang mengirim siswanya untuk studi lapangan di Gedung Spiegel," kata Dimas bangga.
Komunitas yang kini beranggotakan 20 orang ini membuka diri bagi siapa saja yang ingin bergabung. Dimas mengatakan, mereka cukup datang ke base camp Lopen dan bersedia intens belajar sejarah Kota Semarang.
"Anggota saat ini memang didominasi mahasiswa. Dan uniknya, dari mereka tidak ada yang kuliah di jurusan sejarah. Tapi kami terbuka untuk siapa saja," ujar Dimas. (luk)