WAYANG TIONGHOA
Teguh Biasa Suluk Wayang Potehi Pakai Bahasa Hokkian
Teguh Chandra Irawan (83) alias Thio Tiong Gie jika suluk Wayang Potehi biasa pakai bahasa Hokkian.
Penulis: bakti buwono budiasto | Editor: iswidodo
Laporan Tribun Jateng, Bakti Buwono
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG- Teguh Chandra Irawan (83) alias Thio Tiong Gie dalang Wayang Potehi satu-satunya di Semarang tidak membuka sanggar. Latar belakang dalang otodidak ini hanya menunggu pemuda yang ingin belajar padanya. Tapi, tidak ada satu pun yang belajar pada kakek beralamat di Kampung Pesantren, Purwodinatan, Semarang Tengah.
Jadi dalang Wayang Potehi tidak harus pandai bahasa Hokkian. Walaupun dalam suluk wayang potehi memang pakai bahasa Hokkian. Teguh mengakui untuk jadi dalang Wayang Potehi tidak mudah. Seorang dalang harus cerdas menangkap inti cerita. Misalnya, kenapa negeri A dan negeri B berperang? Lalu harus bisa menganalisis siapa yang benar, lalu disampaikan.
"Tidak harus bisa bahasa Hokkian. Itu hanya untuk suluk. Sekarang saya kalau tampil mendalang harus lihat-lihat kondisi badan. Kalau ndak enak dikit, saya ndak main, besok Imlek saya ndak main," imbuhnya.
Sejak muda Teguh lancar berbahasa Hokkian. Suatu ketika, ia menemukan buku sejarah Tiongkok, putera mahkota Cu Hun melarikan diri. Seorang pegiat Wayang Potehi ketika itu menantangnya untuk menceritakan kembali sebagaimana dimuat dalam buku bahasa Hokkian yang dibacanya.
"Lalu dia bilang saya bisa ndalang, waktu itu umur saya 25 tahun. Tapi baru mulai benar-benar ndalang umur 27 tahun," ucap pria yang juga membuka usaha bengkel las di Bintoro, Demak itu.
Sejak itu Teguh melanglang buana untuk mendalang. Pernah sampai ke Lampung dan Palembang dan beberapa tempat di Jawa. Tarifnya sekali main di luar kota, ia dan timnya bisa mendapat Rp 12,5 juta hingga Rp 15 juta per hari. Satu cerita pun bisa dimainkan hingga seminggu, 10 hari atau tiga bulan.
"Paling gila saat mendapat tanggapan di Mojokerto (Jatim) yang sampai tiga bulan," tandasnya.
Teguh mengaku sedih jika Wayang Potehi musnah di Semarang. Harapan satu-satunya adalah anak didiknya, Mujiono yang kini jadi dalang di Surabaya. Meskipun tidak di Semarang, tetapi ia lega karena sudah ada yang meneruskan meskipun hanya satu orang. (*)