Community
Komunitas Amerta Laksita di Sampangan, Lestarikan Tari Tradisional
Kewajiban kami adalah mengenalkan seni tradisional itu
Penulis: muslimah | Editor: agung yulianto
"KAMI prihatin, anak muda sekarang lebih mengenal K-pop (Korean pop) daripada seni budaya sendiri. Karena itulah kami mendirikan komunitas ini," cerita ketua komunitas pecinta tari tradisional Amerta Laksita, Palma Septianyputri.
Dalam beberapa tahun terakhir, anak-anak muda Indonesia begitu gandrung akan budaya Korea. Di lain pihak, budaya asli Indonesia makin terpinggirkan. Dalam kondisi seni tradisional yang serba sulit, sesekali terdengar klaim dari negara tetangga, Malaysia.
Menurut Palma, jika anak muda tidak bergerak, tidak tertutup kemungkinan kelak seni budaya Indonesia tinggal nama.
Maka, pada 29 September 2011, ia bersama delapan anak muda pecinta seni tari tradisional di Semarang, memutuskan mendirikan komunitas yang diberi nama Amerta Laksita.
Selain Palma, delapan anak muda itu adalah Cahyo Wibowo, Lidwina Meta, Nimas Ayu Nawangsih, Sukma Inggita, Veronica Riska, Dewi Tristiani, Arif Trigunanto, dan Agus Prawiro.
Mereka berkumpul membahas tindakan apa yang bisa dilakukan demi menjaga kelangsungan seni tradisional Indonesia. Akhirnya, mereka memutuskan mengajar seni tari kepada anak-anak yang berminat bergabung.
"Kami ber-positive thinking anak muda sekarang lebih suka budaya luar karena mereka tidak mengenal budaya sendiri. Tak kenal maka tak sayang. Saat mereka sudah tahu dan belajar, pasti suka. Kewajiban kami adalah mengenalkan seni tradisional itu," cerita Palma.
Sekarang, anggota komunitas sudah mencapai 30 orang. Beberapa anak muda yang juga menyukai seni tradisional ikut bergabung. Yang tertarik, menurutnya, tinggal datang ke tempat mereka berlatih tari di Balai RW 1, Sampangan, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang. Latihan digelar setiap Sabtu sore dan Minggu pagi.
Kerja keras anak-anak Amerta Laksita membuahkan hasil. Mereka sering mendapat undangan mengisi di acara-acara resmi. Misalnya, di acara Torch Relay Sea Games yang diadakan di Balai Kota Semarang pada 2011.
Bukan hanya undangan di dalam kota, beberapa anak juga merasakan tampil mengisi acara di luar negeri. Diantaranya, Chingay Parade Singapore, Matta Fair Kuala Lumpur, Festival Midosuji Osaka Jepang, dan Zaragoza Show Spanyol. Tapi, bukan berarti tidak ada duka.
"Pada awal pendirian, banyak yang meremehkan. Apa kami bisa? Tapi itu justru kami jadikan penyemangat untuk terus maju," tandas Palma.
Dukungan dari orangtua anak didik di Amerta Laksita ikut menyokong keberhasilan mereka. Seperti yang diungkapkan Lina Yulianti. Orangtua Brigita ini melihat perkembangan buah hatinya yang makin percaya diri.
"Saya senang ada komunitas seperti ini karena bisa menjadi wadah bagi anak-anak belajar tari. Perkembangan otak kanan dan kiri anak juga sejalan," ujar Lina yang selalu mendampingi putrinya saat latihan.
Terkadang, orangtua yang datang menemani anak ikut menyumbang saran untuk pengembangan komunitas tersebut. Terutama, menentukan langkah lanjutan agar seni tari bisa semakin dikenal dan kembali berjaya. (Tribun Jateng cetak/msi)