Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Resensi Buku

Meneladani Prinsip Hidup Sang Polisi Jujur

Meneladani Prinsip Hidup Sang Polisi Jujur HOEGENG

Penulis: rival al manaf | Editor: iswidodo
zoom-inlihat foto Meneladani Prinsip Hidup Sang Polisi Jujur
kompas.com
MANTAN KAPOLRI HOEGENG

Judul Buku   : Hoegeng
Penulis         : Aris Santoso, dkk
Penerbit       : Bentang Pustaka
Tahun terbit : 2014 (Edisi Revisi)
Tebal           : xviii + 342 Halaman
ISBN            : 978-602-7888-00-5

Oleh: Richa Miskiyya

SAAT ini citra pejabat publik sedang terpuruk. Maraknya kasus korupsi membuat kepercayaan masyarakat turun. Meski demikian, janganlah pukul rata, menilai bahwa semua pejabat negara berperangai buruk.
Tengok saja sosok Hoegeng. Mantan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) tersebut terkenal memiliki kepribadian jujur, tegas, serta antikorupsi. Komitmen itu ia bawa hingga akhir hayat.
Almarhum KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, mantan Presiden Republik Indonesia, pernah menyebut, di Indonesia cuma ada tiga polisi yang berperilaku baik. Mereka adalah patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.
Anggapan di atas tak lepas dari tindak-tanduk Hoegeng yang cukup berintegritas kuat. Saat diangkat sebagai Kepala Direktorat Reskrim Kepolisian Daerah Sumatera Utara pada awal 1956, Hoegeng menolak semua fasilitas pemberian sekelompok pengusaha.
Kala itu, Medan sangat dikenal sebagai lumbung penyelundupan dan perjudian. Bahkan, praktik kotor tersebut mendapat banyak backing dari pejabat dan aparat (halaman 47).
Hoegeng pun tak segan mengeluarkan semua perabot mewah hadiah para pebisnis. Ia meletakkan semuanya begitu saja di pinggir jalan. Sikap jempolan Hoegeng tak lepas dari kalimat-kalimat yang pernah disampaikan oleh sang ayah.
“Kita sudah kehilangan harta dan segalanya, Geng. Yang tinggal hanya nama baik. Itu saja yang perlu dipelihara” (halaman 47).
Kecintaan Hoegeng terhadap institusi kepolisian memang tak bisa diragukan. Bahkan, ia rela mundur dari jabatan Menteri/Sekretaris Kabinet Inti Pemerintahan Soekarno dan kembali ke barak sebagai Deputi Kapolri Bagian Operasi.
Hoegeng tak mempermasalahkan penurunan jabatan dari menteri menjadi Deputi Kapolri. Sebab, hati dan jiwanya memang ada di kepolisian.
Ketika sudah menjadi Kapolri pada 1968, sikap Hoegeng pun tidak jumawa. Ia tak sekalipun menerima uang selain gaji sebagai orang nomor satu di institusi kepolisian. Hebatnya lagi, Hoegeng juga tidak pernah merasa malu turun tangan mengambil alih tugas teknis seorang anggota.
Semisal terjadi kemacetan di sebuah perempatan, Hoegeng secara ikhlas menjalankan tugas sebagai polisi lalu lintas. Padahal, ketika itu, ia mengenakan baju dinas Kapolri (halaman 77).
Banyak gebrakan lain yang dilakukan oleh Hoegeng. Dua yang cukup membekas adalah penanganan kasus Sum Kuning dan Robby Tjahjadi, yang melibatkan backing aparat dan pejabat.
Dalam kasus pemerkosaan Sum Kuning pada 1970, setelah keputusan pengadilan, Hoegeng tetap berupaya menyelidiki lagi kemungkinan penyelewengan yang dilakukan oleh jajarannya (halaman 96). Dus, dalam kasus Robby Tjahjadi, gembong penyelundupan mobil mewah, ia berhasil membongkar kebobrokan yang ada.
Akibatnya, pascakejadian tersebut, Hoegeng diberhentikan secara mendadak dari jabatan Kapolri. Alasannya, pada waktu yang bersamaan ada peremajaan struktur. Tapi, kabar yang berembus, pemberhentian Hoegeng berkaitan erat dengan kasus Robby Tjahjadi (halaman 102).
Setelah tak lagi menjabat Kapolri, Hoegeng tetap bertahan dengan prinsip selalu jujur dan tak mengambil apa yang tak menjadi hak. Hoegeng hanya punya rumah tumpangan dan uang pensiun.
Kondisi itu membuat iba sejumlah Kepala Kepolisian Daerah bekas anak buah Hoegeng. Lantas, mereka sepakat melakukan iuran sejumlah uang guna membelikan Hoegeng sebuah mobil Holden Kingswood.
Awalnya, Hoegeng tak menolak. Namun, berkat upaya para mantan anak buah, ia akhirnya bersedia menerima mobil tersebut.
Setelah pensiun, ia tak memiliki harta. Hoegeng cuma punya rumah tumpangan dan uang pensiun. Risiko hidup jujur berakibat kepada kesulitan ekonomi.
Namun begitu, Hoegeng tak putus asa. Ia dan istri terus menekuni hobi melukis untuk mencukupi kebutuhan hidup (halaman 154).
Selain biografi Hoegeng, buku ini juga berisi tulisan dari sahabat dan keluarga. Buku "Hoegeng" nan inspiratif patut dibaca tak hanya oleh para pejabat publik maupun aparat kepolisian, tetapi juga masyarakat luas. (*)

*) Richa Miskiyya, lahir di Grobogan, 8 November 1989. Saat ini menempuh studi Magister Administrasi Publik Universitas Diponegoro Semarang. Email richair89@gmail.com, Facebook Richa Miskiyya, Twitter @richamiskiyya.

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved