Liputan Khusus
Kisah Tugiyo yang Sempat Menderita setelah Tak Bermain Sepakbola
Kehidupan sepakbola di Jateng tidak bisa lepas dari seorang Tugiyo (38), pahlawan PSIS Semarang saat menjuarai Liga Indonesia V pada 13 April 1999.
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Kehidupan sepakbola di Jateng tidak bisa lepas dari seorang Tugiyo (38), pahlawan PSIS Semarang saat menjuarai Liga Indonesia V pada 13 April 1999. Kehidupan ekonominya yang sempat carut marut selepas dari PSIS, kini sudah mulai stabil.
Bermodalkan lisensi C Nasional kepelatihan, Tugiyo menjadi asisten pelatih di Akademi Sepakbola di Salatiga. "Saya sekarang kerja di Salatiga, cuma Sabtu-Minggu pulang ke Semarang. Kalau ekonomi, Alhamdulillah mulai stabil," kata pria kelahiran 13 April 1977 tersebut.
Ia lalu bercerita tentang kehidupan sepakbola yang menenarkan namanya hingga terlupakan seperti sekarang. Ia mengeluh, meski menjadi pahlawan kemenangan PSIS, ia tidak cukup mendapat perhatian dari manajemen atau Pemerintah Kota Semarang.
Sebagai anak seorang petani di Grobogan, Tugiyo mengawali kecintaannya pada si kulit bundar di klub Persipur Purwodadi. Pada kelas 2 SMP, ia diterima di Diklat Salatiga dan berlanjut hingga Diklat Ragunan hingga lulus SMA. "Saya ikut Ragunan Baret B, sempat dikirim ke Italia juga, lalu ikut kejuaraan pelajar Asia," tuturnya.
Lepas dari Ragunan, ia sempat membela klub di Bogor. Kemudian, pada 1998 mulai membela PSIS. Usianya belum genap 20 waktu ketika menjadi pahlawan kemenangan PSIS menjadi juara Liga Indonesia setelah membobol gawang Hendro Kartiko (Persebaya).
Ia ingat waktu itu masih digaji Rp 3 juta per bulan. Angka itu cukup besar di zamannya meski tidak sebesar saat ini. Ketika membela PSIS hampir lima musim kariernya mulai meredup karena cedera lutut.
Sejak cedera dan memutuskan pensiun, hampir selama setahun kehidupannya hanya mengandalkan uang yang ditabungnya selama menjadi pemain bola. Ia ingat saat itu sekitar tahun 2006. "Saya engga nendang, istri saya juga tidak kerja. Padahal kami sudah punya dua anak," tuturnya.
Waktu itu, Tugiyo sempat ditawari membuka toko olahraga. Tapi karena tidak memungkinkan, ia menolaknya. Hingga akhirnya ada temannya yang memintanya melatih klub lokal di Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang.
Untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga, istrinya pun akhirnya mencari kerja di toko berlian di Mal Ciputra Semarang. Sementara ia menjadi pelatih klub lokal Kabupaten Batang selama dua tahun. "Sebenarnya dulu sempat ditawari jadi honorer di PDAM. Tapi karena masih muda banget, pengennya cuma main bola," jelasnya.
Setelah dari Batang, ia ditawari jadi asisten pelatih mantan pelatihnya Hariadi di Salatiga hingga sekarang.
Terkait kisruh PSSI dan Kemenpora, Tugiyo mencemaskan nasib para pemain sepak bola. Berhentinya kompetisi jelas berpengaruh pada dapur para pemain. Ia juga pernah merasakan kesulitan tidak ada pemasukan sebagai pemain bola.
Ia mengatakan kompetisi harus tetap bergulir agar para pemain bisa menghidupi anak dan istrinya. Jika tidak, pemerintah harus memikirkan nasib mereka para pemain. "Saya juga pernah merasakan susahnya menjadi mantan pemain bola," ucapnya. (tribun jateng cetak)