Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Bayar Royalti Musik Wajib, Pakar Hukum Unika Soegijpranata: UMKM Bisa Dikecualikan

Polemik mengenai kewajiban pembayaran royalti bagi pelaku usaha yang memutar lagu untuk kepentingan komersial masih menjadi perdebatan di masyarakat.

Tribun Jateng/ F Ariel Setiaputra
PAKAR HUKUM - Pakar Hukum Soegijapranata Catholic University (SCU), Dr. Yohanes Budi Sarwo, SH, MH saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (22/8/2025). 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Polemik mengenai kewajiban pembayaran royalti bagi pelaku usaha yang memutar lagu untuk kepentingan komersial masih menjadi perdebatan di masyarakat.

Sebagian pihak, terutama pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), menilai aturan tersebut dirasa membebani.

Menanggapi hal itu, Pakar Hukum Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang, Dr. Yohanes Budi Sarwo, SH, MH, menegaskan royalti sejatinya adalah bentuk penghargaan sekaligus keadilan bagi para pencipta karya. 

Baca juga: Aliansi Musisi Solo Geruduk DPRD, Desak Pembubaran LMKN dan Revisi Aturan Royalti Musik

“Karya cipta, baik di bidang seni, sastra, maupun ilmu pengetahuan, memiliki hak eksklusif. Hak eksklusif itu terbagi menjadi dua, yakni hak moral dan hak ekonomi,” kata Budi saat ditemui Tribunjateng.com di ruang kerjanya, Jumat (22/8/2025).

Menurutnya, hak moral menjamin bahwa nama pencipta harus selalu dicantumkan dan diakui, sementara hak ekonomi memberi hak kepada pencipta untuk memperoleh manfaat ekonomi dari karya yang telah mereka hasilkan.

“Royalti adalah bagian dari hak ekonomi. Jadi ketika karya digunakan untuk kepentingan komersial, misalnya diputar di hotel, restoran, kafe, atau acara musik, pengguna karya itu seharusnya membayar royalti,” jelas dosen Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) SCU tersebut.

Budi mencontohkan, musik yang diputar di sebuah hotel bukan sekadar hiburan, melainkan juga menjadi bagian dari strategi bisnis untuk menarik dan membuat tamu betah.

“Kalau musik memberi kenyamanan dan membuat orang mau menginap, artinya ada manfaat ekonomi yang dirasakan. Maka wajar jika pencipta lagu mendapatkan haknya melalui royalti,” tambahnya.

Meski demikian, ia menyadari keberatan yang muncul dari kalangan UMKM.

Oleh karena itu, menurutnya, perlu ada pembatasan yang jelas.

“UMKM dengan omzet di bawah Rp200 juta per tahun bisa diberikan pengecualian. Tetapi bila omzetnya sudah besar, dan jelas mendapatkan keuntungan dari penggunaan karya cipta, maka tidak ada alasan untuk menghindari pembayaran royalti,” tegasnya.

Lebih lanjut, Budi menjelaskan mekanisme penarikan royalti di Indonesia dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang membawahi sejumlah lembaga manajemen kolektif (LMK), seperti Wahana Musik Indonesia (WAMI).

Lembaga-lembaga tersebut memiliki tugas menarik dan menyalurkan royalti kepada para pencipta. Namun, ia menekankan perlunya pembenahan di tubuh LMKN agar lebih transparan dan akuntabel.

“Dasar hukumnya sudah ada. Kita punya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Lagu atau Musik, serta Permenkumham Nomor 15 Tahun 2024 yang mengatur teknis lisensi sekunder karya cipta. Yang perlu diperhatikan adalah transparansi dalam pengelolaan agar para pencipta benar-benar merasakan manfaat dari royalti yang ditarik,” paparnya.

Budi juga mengingatkan bahwa kewajiban membayar royalti bukanlah hal baru dan bukan hanya berlaku di Indonesia. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved