Tribun Community
Lebih Dekat Komunitas Semarang Toys Photography
Memotret action figure dibutuhkan kreativitas. Terutama menggambarkan emosi mereka. Anggota Semarang Toys Photography pun mencoba menjawab.
Penulis: galih priatmojo | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM -- Memotret action figure dibutuhkan kreativitas. Terutama menggambarkan emosi mereka. Anggota Semarang Toys Photography pun mencoba menjawab.
Sebagai penggemar mainan, Tegar mulai mengumpulkan sejak tujuh tahun lalu, tepatnya saat masih duduk di bangku SMA. Koleksinya mulai dari tokoh robot Gundam hingga action figure.
"Koleksi mainan itu sampai dua lemari. Paling mahal, action figure Bruce Lee yang tingginya 30 cm. Harganya saat itu Rp 800 ribu," ujarnya.
Koleksinya semakin bertambah setelah bergabung di Semarang Toys Photography (Setop). Komunitas ini berisikan penyuka mainan, khususnya action figure, sekaligus fotografi. Mereka menjadikan mainan tersebut objek bidikan kamera sehingga terlihat lebih nyata.
Tegar merasakan, memotret mainan memiliki tantangan besar. Agar hasil jepretan terasa nyata, dia dituntun kreatif, baik cara memotret, menentukan angle, juga membuat gaya si tokoh mainan yang dipotret layaknya model.
Memotret pun tak sekadar membidikkan kamera. Ada skenario atau cerita yang dibuat sehingga mainan yang dipotret seolah melakukan sesuatu secara nyata dan hidup. "Di situ tantangan terbanyaknya. Jadi, tidak sekadar meletakkan mainan yang tengah berpose lalu dijepret. Tapi, kami juga harus punya ide membuat cerita bagaimana tokoh-tokoh ini berlaku dan beradegan. Cerita itu yang membuat mainan ini tampak lebih hidup. Kami ini berperan tak hanya sebagai fotografer tapi juga sutradara," jelasnya.
Tantangan lain yang tak kalah seru adalah membuat mainan yang berukuran mungil terlihat lebih besar saat dipotret. Biasanya, dia menggunakan teknik Makro. "Ini bagian yang tak kalah seru, membuat ukuran mereka seukuran manusia. Setting tempat, momentum dalam membidik serta pencahayaan jadi pertimbangan meski ini tak mutlak. Yang penting, mainan ini bisa dilihat tidak seperti mainan," tambahnya.
Untuk urusan tempat, Tegar lebih suka memotret di dalam ruangan karena kemudahan. Dirinya bahkan membuat satu studio mini sebagai tempat memotret. Alasan lain, dia tak mau, pengalaman mainan hilang tertiup angin saat dipotret di luar ruangan terulang.
Lain lagi cerita Tanjung, anggota lain Setop. Ia yang mengenal toys photography dari foto-foto yang tersebar di jejaring sosial tergerak mengikutinya dan mengunggah hasil jepretan ke akun Instagram pribadi. "Motivasi awal cuma pengen nambah koleksi foto di Instagram, eh malah ketagihan," ujarnya.
Soal memotret, sebenarnya Tanjung tak punya latar belakang. Ia belajar secara otodidak. Namun, dia menemukan keasyikan saat melakukan hobi tersebut. Selain harus punya ide kreatif, untuk bisa menghidupkan action figure, Tanjung harus memahami gerakan-gerakan tubuh mainan yang dimiliki. Tantangan semakin besar saat dia harus menggambarkan si tokoh marah atau bersedih bukan lewat mimik wajah. "Mainan ini kan memiliki keterbatasan, tak seperti manusia. Jadi, harus dibuat lewat gerakan lain, semisal saat sedih tangannya dibuat berpangku atau menepok jidat. Atau, ketika marah, tangan dibuat menggenggam atau membawa tongkat pemukul," terangnya.
Biasanya, Tanjung mengangkat cerita seperti yang ada di dalam komik. Itu sebabnya, dia menggunakan beberapa angle dan latar berbeda-beda. Beberapa tokoh yang biasa dia potret adalah action figure keluaran Marvel, Quicksilver.
Kreasi potret mainannya yang di-upload melalui media Instagram pun menuai banyak pujian. Hasilnya, salah satu koleksinya ditawar untuk dibeli. Namun, Tanjung menolak apalagi mainan yang dipotret merupakan koleksi pribadi. "Aku pernah posting Spiderman dan ada yang berniat membeli. Tapi nggak aku lepas. Eman-eman, ini koleksi pribadi, he..he..," ujarnya. (galih priatmojo)