Outlook 2016
Pelaku UKM Harus Terbuka dan Jangan Takut Bermitra untuk Hadapi MEA
Pelaku UKM Harus Terbuka dan Jangan Takut Bermitra untuk Hadapi MEA
Penulis: galih permadi | Editor: iswidodo
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - MEA memang ancaman buat kita. Sayangnya orang Indonesia nggak sadar dengan MEA. MEA bukan hanya industri gede saja, tapi industri kecil juga. Misal, investor luar mencari pengrajin lokal. UKM yang attitude bukan customer need, tapi masih orientasi diri sendiri ketika diminta membuat dalam skala besar dia menolak karena tidak mampu.
Unsur kompetitifnya kurang. UKM kita cenderung takut dengan kemitraan seharusnya bukan menutup diri. Akhirnya investor akan mencari negara lain, dan umum sekali investor ke Thailand atau Vietnam.
Harapan ke depan agar industri kreatif Semarang terus berkembang dan bisa menjadi inspirasi kaum muda?
Jangan think local act global, tapi think global act local. Tetap mengangkat komoditi-komoditi lokal yang ada. Memberdayakan orang-orang di sekitar kita. Kita harus meningkatkan kualitas dari produk komoditi lokal untuk menaklukkan skala nasional atau internasional.
Kuncinya yakni memiliki entreprenuership spirit dan berpikir kreatif di tengah tantangan yang ada. Analisis SWOT (strenghts/kekuatan, weakness/kelemahan, opportunities/peluang, dan threats/ancaman) tetap dilakukan agar skala UKM bertumbuh dengan kreatif.
Sudah lebih dari lima tahun Bernadette Natalia Sari Pujiastuti, atau lebih populer dengan nama Naneth Ekopriyono, berperan menjadi pedamping UKM. Menurut Naneth menjadi pendamping UKM gampang-gampang susah. Hal yang sering terjadi yakni eyel-eyelan dengan pelaku UKM.
“Pelaku UKM kadang sok ngeyel. Masih banyak yang berfikiran negatif dengan usaha yang dia jalankan. Contoh seorang pelaku UKM di Sragen. Ia masih yakin jika penjualan usaha tambaknya harus melalui tengkulak. Bahwa saya tetap meyakinkan bisa menjual selain tengkulak. Ini tantangan mengubah mindset mereka untuk berpikiran positif dan kreatif,” ujarnya.
Dalam menjalankan usaha, kata Naneth, pelaku usaha harus bisa open glass (pemikiran terbuka). “Kalau pemikiran kita selalu tertutup, ya selamanya akan usaha yang dijalankan akan terkendala. Misal, jualannya susah dan itu akan terus terjadi. Namun kalau pemikiran terbuka, segala hal akan dilakukan agar bisa memecahkan kendala yang dihadapi,” ujarnya.
Pada 2010, Naneth terjun langsung membuka usaha handycraft Trasty Batik. Selanjutnya, ia membuka usaha baru bidang kuliner bernama Bebek Rempah. Dua kegiatan yakni sebagai pendamping sekaligus pelaku usaha bisa saling menguntungkan. Artinya ketika pendampingan ia bisa langsung memberi contoh. “Ya akan susah untuk mengubah mindset orang ketika kita tidak ikut memberi contoh. Ah mbaknya ini cuma omong saja. Kalau saya ikut terjun paling tidak bisa menguatkan keyakinan kepada mereka. Meskipun saya juga masih belajar,” ujarnya.
Inspirasi, kata Naneth, bisa datang dari mana saja. Berawal hobi baca dan mencari referensi di dunia maya, membuat Naneth bisa menciptakan sebuah produk. “Sharing dengan teman sesama pengusaha juga perlu dilakukan. Selain bisa mendatangkan ide, juga bisa sebagai mood booster ketika kita sedang down,” ujarnya.
Naneth mengatakan, berbagi informasi tidak harus sesama profesi atau seumuran. Naneth bahkan suka sharing dengan anak didiknya di kampus. “Saya selalu ingin tahu apa yang sedang ngetren saat ini di kalangan anak muda. Misal, ada tren selebgram. Dengan mempunyai follower mencapai ratusan ribu di instagram ternyata bisa mendatangkan uang. Dan ini saya tertarik menjadi selebgram. Guru tak selamanya pintar dari muridnya. Ternyata zaman sekarang, kadang murid lebih pintar. Dan selama menjadi dosen ternyata hal itu terjadi di luar teori. Makanya berbagi informasi dan pengalaman untuk hal positif bisa dengan siapa saja dan itu memang perlu,” ujarnya. (tribunjateng/galih permadi)