Forum Mahasiswa
Obsesi Pilkada Serentak
anggal 9 Desember 2015 sudah berlalau, berarti pilkada serentak seluruh Indonesia terlaksana.
TRIBUNJATENG.COM -- Tanggal 9 Desember 2015 sudah berlalau, berarti pilkada serentak seluruh Indonesia terlaksana. Suatu perjalanan demokrasi Indonesia yang kini menginjak tahapan baru. Pilkada yang awalnya dimulai dengan pemilihan tidak langsung, kemudian dilakukan dengan langsung. Hal ini tidak lepas dari proses sistem demokrasi Indonesia, yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat.
Menyoal pilkada serentak, dilatarbelakangi keinginan untuk penghematan biaya politik, dan supaya pemerintah tidak terlalu menghabiskan energinya untuk melakukan pilkada berkali-kali, tetapi cukup satu kali dalam lima tahun. Dari hal tersebut, menggambarkan bahwa politik Indonesia masih dalam proses pencarian sosok dan wajah demokrasi yang ideal.
Memang, seperti halnya yang terjadi di negara maju dan yang sudah dewasa demokrasinya, demokrasi yang ideal tidak langsung jatuh dari langit dan instan. Melainkan, kedewasaan dan pematangan memerlukan waktu yang relatif lama. Tetapi, yang menjadi persoalan, apakah demokrasi di Indonesia berproses menuju kedewasaan dan pematangan? Sedangkan dalam realitas, politik uang tidak lepas dari hal tersebut.
Di samping itu, hakikat demokrasi bukan sekadar perubahan kebijakan politik. Melainkan berkaitan sejauhmana peran masyarakat dan pemerintah patuh terhadap peraturan UUD, dan bebas dari monopoli para pemilik modal. Selain itu, masyarakat memiliki hak kebebasan dalam menentukan pemimpin yang sesuai harapan. Inilah yang menjadi visi dan misi dalam sistem demokrasi yang sesungguhnya.
Namun, dewasa ini sistem demokrasi yang teraplikasi mengalami absud. Inilah yang menjadikan dilema bagi masyarakat Indonesia. Sistem demokrasi yang teraplikasikan dalam partai politik telah dijadikan para politisi untuk mendapatkan kursi kekuasaan semata, seperti halnya dalam pilkada serentak. Pilkada serentak ini hanya dijadikan para panggung politisi sebagai pencitraan.
Di samping itu, harapan masyarakat terhadap pilkada serentak, ialah terpilihnya pemimpin yang berintelektual, berintegritas, dan jujur. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan sudahkah pemerintahan mempersiapkan macam-macam faktor pensuksesan pilkada serentak, di antaranya termasuk UU, biaya politik dan berbagai faktor pendukung lainya?
Jika faktor penunjang kesuksesan pilkada serentak masih tidak terpenuhi, maka pilkada serentak hanya sebuah pengeksploitasian terhadap rakyat. Selain itu, tidak sedikit ketidakpuasan politik akan timbul hal itu, dan itu akan berpengaruh pada pengaruh masa depan politik nusantara, yang semakin lama akan semakin tidak karuhan.
Oleh karena itu, kepercayaan rakyat terhadap demokrasi politik akan semakin terkikis, sebab pemerintah belum sungguh-sungguh berniat suci menyelamatkan dari penderitaan kemiskinan dan masalah-masalah lainnya, melalui panggung politik tersebut. Bahkan, bisa jadi rakyat tidak percaya pada institusi-institusi negara di ruang politik. Sebab tidak pernah memberi bukti yang nyata dalam pensejahterakan rakyat.
Jika demikian, maka hal itu tidak sesuai dengan tujuan demokrasi, yang menurut Abraham Lincon ialah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun dalam realita yang yang terjadi malah menjadi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk institusi- institusi poltik.
Oleh sebab itu, baik pilkada serentak maupun tidak, belum menjamin terpenuhinya harapan rakyat. Dalam kaca mata rakyat panggung politik demokrasi dianggap sebagai proses yang hanya menguntungkan partai politik. Padahal, rakyat tidak henti-hentinya berharap supaya setiap pemimpin menjadi seorang revolusioner, yang ditunggu akan perubahan baiknya.
Hal itu hanya sebagai fatamorgana yang jauh di sana, bila pemerintah atau politikus tidak mensosialisasikan dan melakukan pendidikan poltik yang memadai terhadap rakyat, baik dalam forum formal maupun non formal. Sebab, hal itu merupakan salah satu proses percepatan dalam pendewasaan dan pematangan demokrasi, serta supaya terhindar dari noda-noda demokrasi, seperti halnya politik uang.
Di samping itu, peran pemerintah dan politikus harus mencontohkan serta membuktikan dalam kinerjanya tidak melakukan tindakan yang senonoh, seperti halnya korupsi, dll. Nah, dari hal tersebut, maka akan timbul rasa kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan politikus, dan ujungnya rakyat akan menerima sosialisasinya dengan senang hati dan mengaplikasikanya.
Selain itu, pilkada serentak tidak hanya mematangkan sistem demokrasi dan penghematan biaya politik. Melainkan, sebagai sarana menentukan pemimpin-pemimpin daerah yang bersungguh-sungguh dalam mensejahterakan masyarakat, dan melepaskan rakyat dari belenggu kemiskinan.
Jika tidak, maka pilkada serentak hanya sebagai panggung politik yang tidak menghasilkan apapun, terhadap persoalan di Indonesia. Di samping itu, hal itu hanya sebagai proyek kekuasaan elite politik. Semoga yang terpilih menjadi pemimpin dalam pilkada kemarin, menjadi pemimpin yang bisa mengubah Indonesia menjadi lebih baik, serta berasaskan demokrasi yang sesungguhnya. Wallahu a’lam bi ash-showab. (*)
Ahmad Asrori
Mahasiswa Hukum Perdata Fakultas syari'ah UIN Walisongo Semarang