Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Tribun Corner

Anak, Jajanan, dan Cerita

Bekal anak-anak masih dipengaruhi oleh sistem hidup agraris lewat pemanfaatan kebun subuh untuk melahirkan makanan.

Editor: rustam aji
Tribun Jateng/M Syofri Kurniawan
Ilustrasi - Makan jajanan. 

ANEKA jajanan menanti di halaman sekolah, perempatan jalan kampung, dan pinggir jalan ramai. Sering juga penjaja mengayuh sepeda berkeliling dengan bunyi-bunyian khas. Ada asap mengepulkan aroma ajakan membeli; cilok, cakue, tempura, batagor, siomay, bakso ojek, bakso bakar, mie goreng. Saus tomat, saus sambal, saus kacang, dan kecap menuang warna dan rasa di masa kanak-kanak. Jajanan memang selalu ada meski anak-anak dibekali makanan dari rumah atau penganan pasar yang lebih aman.

Jajanan itu ada di antara kesenangan anak dan keresahan orang tua meniti masa pertumbuhan dengan gizi cukup, berimbang, dan sehat-sempurna. Berita sembilan anak SD keracunan cilok di Ngrampal, Sragen, memancing lagi orang tua agar tidak lupa khawatir. Bahan, pengolahan, penyajian, atau wadah makanan masih jadi rujukan menemu kemunculan racun (Joglosemar, 5 Februari 2016). Musibah ini juga bisa jadi sindiran bagi pemerintah pengawas makanan agar tidak hanya melakukan razia di waktu-waktu menjelang lebaran saja.

Mereka diingatkan agar bekerja lebih rajin bekerja karena pelbagai jajanan dengan rupa inovasi lahir setiap hari.
Sejak anak menjadi bagian dari keluarga dan sekolah, anak harus siap menjadi pembelajar kebersihan dan kesehatan makanan. Larangan jajan sembarangan selalu keluar dari mulut orang tua dan guru. Pun, keberadaan buku pelajaran atau bacaan menjadi media pembelajaran paling dekat dengan anak. Kita bisa menyimak buku bacaan bahasa Indonesia lawas untuk murid kelas III Sekolah Rakjat berjudul Batjaan Bahasaku (1957) garapan S. Sastrawinata dan B. M. Nur.

Terdapat cerita Amir singgah ke rumah Topo yang sedang sakit setelah sekolah selesai. Topo bercerita bahwa dokter sudah datang memberikan pil dan menginjeksi. Amir juga bercerita bahwa di sekolah pak guru bercerita tentang lalat, binatang kotor si pembawa penyakit. Topo menjadi anak yang sadar untuk melakukan pencegahan penyakit dengan menjaga kebersihan makanan. Topo juga mengatakan, ,,Besok akan kubuat pemukul lalat, Mir. Dan aku tidak mau membeli penganan lagi diwarung jang kotor.”

Ibu

Di luar rumah, warung atau penjual makanan pinggiran harus diwaspadai. Buku juga memuat kisah transformasi warung yang berkesan lebih berkelas dan bersih. Diceritakan bahwa saat diajak ayah pergi jalan-jalan, Tuti dan Sudin mendapati banyak orang berjualan di tepi jalan. Tuti mengatakan, ,,Lihat jah, rapi betul tempat djualan orang itu! Makanannja dalam kota katja! Bersih, tak kena debu!” Jajan tetap dilegalkan selama ada jaminan kebersihan publik.

Dari kisah masa kecil Muhammad Rajab, bekal makanan bisa menunjukkan status sosial-ekonomi keluarga. Di buku Semasa Kecil di kampung, Anak Danau Singkarak (2011) diceritakan, “Pada waktu itu tidak ada yang berbekal roti mentega seperti anak-anak sekarang di kota-kota. Jika anak-anak pada masa itu membawa penganan dari rumah, tidak lain dari pisang goreng yang dibungkus dengan daun pisang, atau kacang goreng di dalam sakunya. Yang membawa penganan itu kerap kali yang tidak mendapat uang saku dari ibunya.”

Di kampung tidak ada makanan serba aneh. Bekal anak-anak masih dipengaruhi oleh sistem hidup agraris lewat pemanfaatan kebun subuh untuk melahirkan makanan. Tentu, tidak ada keakraban televisi dengan iklan ibu perkotaan; roti tawar, mentega, selai, atau butiran cokelat yang diwadahi kotak makan. Kini, batasan sosial itu telah dikaburkan bersamaan dengan kemajuan teknologi dan peningkatan taraf hidup yang memungkinkan setiap anak bisa mencicipi modernitas bermentega.

Jajanan selalu memiliki cerita saat kita membaca biografi intelektual Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dalam Pieta, Senandung Indonesia Raya (2015). Masa kecil Nurinwa lekat dengan biografi berjajanan tradisional. Makanan–makanan itu berhasil mengantarkan diri melanglang buana ke Eropa, mecicipi kuliner negeri-negeri asing, menemukan kesejarahan kuliner, sekaligus mengingat kenangan atas ibu. Ibu adalah rawatan aneka makanan yang mengisi masa kanak.

Nurinwa menulis, “Yang dianggap enak oleh Ibu adalah masakannya sendiri dan penjual makanan yang lewat di depan rumah. Mulai pagi sebelum aku berangkat ke sekolah, pasti penjual kue bersahutan di depan rumah. Dari sekian penjual kue biasanya Ibu memilih Mbok Ranten. “Kue mangkok, pisang goreng anget, kucur, lapis beras, pastel, kue tok, lemper, perut ayam, otok-otok kontol kambinggg…, Yoklik.” Tidak ada momentum khusus untuk bertemu jajanan. Mereka selalu bisa dimakan untuk merayakan pagi.

Dalam inovasi ruang kuliner dan rekreasi, jajanan tradisional justru memiliki kesan prestisus bukan karena momentum. Kelindan pasar dan kebutuhan lidah ingin kembali kepada yang klasik. Ini membuat segala bentuk penganan tradisional harus dikemas lagi secara lebih modern.

Banyak restoran dan juga hotel sengaja menyajikan panganan ndeso dengan paduan bahan modern agar lebih berhasil menjadi purba. Singkong, ubi jalar, pisang, serabi menjadi olahan yang bisa dipadu dengan keju, cokelat, dan selai. Inovasi memberi orang-orang pengalaman bersantap. Perubahan membuat orang-orang memberi resepsi agar tidak gagal memberi makna penganan sebagai bagian dari kesejarahan diri.

Akhirnya memang keluarga, terutama ibu, yang paling bertanggung jawab dalam urusan anak dan jajanan. Ibu tidak hanya berperan sebagai ibu biologis atau intelektual, tapi juga ibu gizi yang tidak kalah dari iklan televisi, hotel, pemerintah kota pemangku festival kuliner, dan apalagi penjaja pinggiran. Orang tua harus menjadi referensi jajanan yang mendatangkan berkah sekaligus bahaya setiap waktu. (Setyaningsih, Mahasiswi, peminat bacaan anak, tinggal di Boyolali)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved