Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Forum Guru

Membangun Keluarga Pedagogis

Di tengah kondisi ekonomi yang kurang, para orang tua tersebut mendidik dan memotivasi anak-anaknya untuk terus semangat belajar.

Editor: rustam aji
tribunjateng/suharno
Mendikbud Anies Baswedan tinjau SMP Negeri 6 Solo, Selasa (21/6/2016). Anies ke Solo untuk meninjau dan proses recovery secepatnya sekolah sekolah yang terdampak banjir. 

Oleh Hernawati, Guru SMP N 1 Nusawungu, Cilacap

ADA yang menarik dari kegiatan di akhir masa kepemimpinan Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, Anies memberikan penghargaan “Keluarga Hebat” kepada 15 orang tua. Mereka dianggap menginspirasi karena mampu mengantar anak-anaknya meraih prestasi yang membanggakan Indonesia.

Di tengah kondisi ekonomi yang kurang, para orang tua tersebut mendidik dan memotivasi anak-anaknya untuk terus semangat belajar. Nilai-nilai seperti kejujuran dan pantang menyerah mampu mengantar anak mencapai prestasi yang tak banyak diraih oleh anak-anak lainnya. Sebut saja Raeni, alumnus Universitas Negeri Semarang yang lulus dengan IPK nyaris sempurna dan meraih beasiswa kuliah di Inggris. Keberhasilan serupa juga diraih oleh Miftakhul Huda yang mampu mengecap prestasi hingga lulus S-3 nanoteknologi di Jepang. Padahal, baik orang tua Raeni maupun Miftakhul Huda berasal dari keluarga miskin dan tidak pernah duduk di bangku sekolah. (Tempo, 27 Juli 2016)

Boleh saja orang tua hanya bekerja sebagai tukang becak seperti Mugiyono, ayah Raeni. Tidak masalah jika saban hari hanya menyantap sepiring nasi dengan tempe goreng dan kerupuk sebagai lauknya seperti yang dilakukan Miftakhul Huda dan keluarganya. Di luar itu semua, kesadaran dan motivasi orang tua mendidik anak jauh melebihi kondisi hidup yang serba kurang. Keluarga hebat tidak selalu lahir dari tercukupnya finansial. Melalui laku hidup sederhana dan bersyukur, sembari mendukung setiap langkah anak lewat prihatin puasa dan doa, jalan sukses anak-anaknya menjadi lebih terbuka.

Keluarga menjadi basis pendidikan pertama dan utama bagi anak-anak. Kita seringkali luput memahami hal itu. Kita menganggap sekolah sebagai satu-satunya jalan merintis kesuksesan anak. Tanggung jawab mencerdaskan dan mendidik moral anak hanya menjadi tugas sekolah. Kita menyediakan segala macam peralatan dan kebutuhan sekolah, memilih sekolah terbaik berbiaya mahal, dan menambahi anak-anak les privat. Kita terlanjur menganggap sekolah berbiaya mahal sebagai jaminan mutlak anak meraih masa depan cerah. Sekolah justru dipandang sebagai mesin cuci. Tinggal masukkan dan otomatis bekerja sendiri. Tugas orang tua hanya tinggal bayar dan siap pakai.

Padahal, semua itu hanya retorika kosong iklan lembaga sekolah agar mampu meraup untung sebesar-besarnya. Jauh lebih penting dari segala hal-hal yang bersifat material itu, adalah peran orang tua di dalam rumah. Orang tua adalah guru utama bagi anak-anaknya. Peran dan tugas yang tidak bisa sepenuhnya dijalankan oleh sekolah, sekalipun punya nama mentereng dan berbiaya mahal.

Pendidikan sejatinya disokong oleh tiga pilar penting: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan tidak hanya menghendaki transformasi ilmu yang dibuktikan melalui angka-angka di atas kertas. Lebih dari itu, menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru yang tidak hanya bersifat pemeliharaan, tetapi juga memajukan dan mengembangkan kebudayaan ke arah keluruhan hidup kemanusiaan. (Samho, 2013)

Keluarga adalah habitus pertama tempat semua manusia memulai kehidupan. Sebuah lingkungan paling efektif dan afektif bagi anak belajar berbagai aspek pendidikan yang mendasar. William Bennet (1991) mengatakan, apabila keluarga gagal menanamkan kejujuran, keberanian, dan semangat ingin maju, serta kemampuan-kemampuan mendasar lainnya, akan semakin sulit bagi lembaga pendidikan lain memperbaikinya.

Sayang, fungsi utama keluarga sebagai basis pendidikan semakin tereduksi. Dunia yang semakin pragmatis-materialis membuat banyak orang tua tenggelam dalam pekerjaannya. Urusan mendidik anak dipasrahkan sepenuhnya kepada sekolah. Panutan dalam keluarga bukan lagi orang tua. Peran guru dalam rumah diganti oleh gawai, televisi, dan console game yang lebih banyak memproduksi sampah. Anak tumbuh dengan mental, sikap, dan laku yang jauh dari keluhuran.

Tidak bisa kita pungkiri, hidup tak bisa berjalan tanpa uang. Namun, sekalipun kita berada dalam keadaan serba kekurangan, sebuah keluarga tetap berhak atas kehangatan. Di sekitar kita, banyak orang-orang sederhana tetapi apik dalam mendidik anak-anaknya. Orang boleh miskin harta, tetapi kita tak dapat miskin pula dalam hal kehangatan. Ada kekuatan dalam kesederhanaan hidup. Bukankah uang serta harta benda lainnya tidak menjamin pemiliknya pasti bahagia dan sukses di masa depan? Setidaknya, 15 orang tua yang mendapatkan gelar “Keluarga Hebat” telah membuktikannya. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved