Forum Mahasiswa
Tugas Pemimpin, Teladan Nabi dan Persekusi
Dengan keteguhan, kesabaran dan kesadaran Ia berhasil membuat masyarakat merasa tentram, teduh, aman dan bangun dengan bahagia.
TRIBUNJATENG.COM -- Kata penyair Andy Sri Wahyudi (2017) tugas pemimpin hanyalah membuat rakyatnya bangun pagi bahagia. Seorang raja atau presiden diakui rakyatnya ketika mampu memberi rasa nyaman, aman serta tentram. Termasuk pula pemimpin agama yang menanggung beban persoalan umat.
Seperti Nabi Muhammad SAW yang mampu menebar “Islam” dan kemajuan di Kota Madinah sebagai referensi kemajuan dunia. Dengan keteguhan, kesabaran dan kesadaran Ia berhasil membuat masyarakat merasa tentram, teduh, aman dan bangun dengan bahagia. Itu tidak hanya dirasakan oleh para pendukungnya, tetapi juga orang yang memusuhinya.
Kepemimpinannya tidak membiarkan orang lain merasa terancam meski tidak berada dalam barisan pengikutnya. Kepemimpinannya tidak pernah melukai hak siapapun juga, termasuk ketika telah meraih kemenangan. Kesamaan sikap ditunjukkannya baik kepada orang Islam maupun yang lainnya.
Peristiwa Fathu Makkah memberi teladan pada kita untuk memimpin suatu negara dengan arif dan adil. Keputusannya untuk merangkul kaum kafir Makkah dan tidak menuruti dendam para sahabat itu menegaskan salah satu fungsi kepemimpinan adalah memersatukan.
Terlihatlah bahwa kedamaian lebih utama dari segalanya. Sedangkan dendam dan permusuhan tidak lain hanya akan menimbulkan bencana. Masyarakat Indonesia dimanapun ia berada tidak selayaknya menyimpan dendam yang berkelanjutan. Maka tidak etis jika pada masa pasca pilkada, bubarnya ormas anti-Pancasila, atau hegemoni perebutan kuasa apa saja kita masih menyimpan dendam untuk mengalahkan salah satu pihak meski di masa yang akan datang.
Dalam kesehariannya, Nabi Muhammad selalu menampilkan kepemimpinan yang sederhana tanpa jumawa dan bangga. Ia selalu berusaha sederajat dengan siapa saja dalam berinteraksi. Tidak hanya dalam hal keduniawian, persoalan akidah baginya tidak ditanggapi secara ekstrim. Dalam QS. Al-Kafirun : 4 telah begitu jelas dikatakan bahwa Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Cerminan itu selayaknya patut diikuti oleh para elite politik maupun agama di negeri ini.
Rekonsiliasi antara pemimpin, pemuka agama dan elite politik menjadi sebuah keniscayaan dengan membangun komunikasi yang sejalan. Masyarakat akan melihat itu sebagai teladan yang kemudian diikuti sebagai suatu keharusan. Merajut kebangsaan sebagai sesama warga yang membutuhkan pengayom untuk melindungi diri dari sengatan perpecahan. Pun juga satu tujuan meraih masa depan kesejahteraan yang hanya bisa dicapai dengan bergandengan tangan.
Persekusi tidak selayaknya terjadi bila umat memahami dan mengikuti betul teladan yang diberikan Nabi Muhammad SAW. Dikisahkan pula, dalam hijrahnya ke Thaif Nabi Muhammad mendapat sambutan yang amat pedih oleh penduduk lokal. Beliau dilempari batu hingga ada bagian giginya yang patah. Seketika itu turunlah malaikat dan menawarkan diri untuk meledakkan gunung dan menimpakannya kepada penduduk itu. Namun, dengan kearifannya Nabi melarang dan mengatakan bahwa penduduk itu tidak bersalah, hanya saja belum mendapat hidayah.
Mengubah Paradigma
Paradigma tentang perbedaan dan saling mengunggulkan pemimpinnya harus diubah. Sudah saatnya masyarakat Indonesia kembali untuk saling memandang orang lain sebagai bagian dari keluarga. Semangat gotong royong harus kembali mengisi relung hati kita. Berbuat demi kebaikan bersama mengesampingkan nafsu dan ego pribadi yang merajalela.
Gotong royong adalah nilai asli Indonesia. Saling membantu ‘seguyub’ meski tanpa ada ikatan darah. Seperti kata Bung Karno ketika merumuskan Pancasila, “Jika kelima sila atau pun tri sila tidak bisa diterima sebagai dasar negara atau weltanschauung, maka terimalah ideologi yang telah lama ada dalam diri kita yaitu gotong royong. Semua untuk semua. Satu untuk semua (Tino Saroengallo dan Tyo Pakusadewo : 2016).
Dalam suasana seperti ini lah spirit Fathu Makkah dan teladan hijrahnya Nabi ke Thaif diatas harus kembali ditegakkan. Itu bisa diwujudkan dengan sikap para pemimpin, elite politik dan pemuka agama supaya tidak membolehkan adanya dendam dan perbuatan yang memantik perpecahan. Sikap saling mengalah demi kemashlahatan lebih baik diterapkan.
Pemimpin sejati ialah orang yang berani menjunjung falsafah Tut Wuri Handayani. Yaitu berani di belakang dengan selalu mendukung dan mengarahkan yang di depan. Pemimpin ialah pengamal prinsip Sepi ing pamrih rame ing gawe dalam falsafah Jawa. Maksudnya, ia tidak gila pangkat, kedudukan atau jabatan tapi ia selalu rela sengsara demi kebahagiaan rakyatnya. Sebagai masyarakat demokratis yang berbudaya kita harus benar-benar melaksanakan amanat sila kedua dan ketiga Pancasila yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (demi) Persatuan Indonesia.
*) Muhammad Farid, Pemimpin Redaksi Majalah Paradigma STAIN Kudus