Forum Mahasiswa
Puasa, Berguru Pada "Profesor Gagal"
Ramadan 1438 H baru saja bergulir dalam hitungan hari, meninggalkan bulan-bulan yang penuh dengan peristiwa dari mulai memilukan dan membanggakan.
TRIBUNJATENG.COM -- Ramadan 1438 H baru saja bergulir dalam hitungan hari, meninggalkan bulan-bulan yang penuh dengan peristiwa dari mulai memilukan dan membanggakan. Hadirnya kembali bulan puasa yang penuh berkah ini, tentunya perubahan untuk menjadi lebih baik sangat diusahakan oleh setiap orang, tidak hanya kaum muslim saja, tetapi non muslim pun demikian, bahwa “Hari ini harus lebih baik dari pada hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari pada hari ini”.
Ramadhan tahun ini harus lebih baik dari pada Ramadan kemarin, dan Ramadan esok harus lebih baik dari pada Ramadhan ini. Penggalan tersebut sebagai motivasi untuk membangun jiwa seseorang dan membangun badannya, terlebih pada mentalnya agar berfikir dan berjiwa besar.
Mengingat lagi, akhir-akhir ini ada beberapa berita yang menggemparkan. Tidak hanya diperbincangkan di Indonesia saja, tetapi sampai ke berbagai mancanegara bahkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) juga menyayangkan peristiwa tersebut. Seperti kita ketahui bersama selama Pilgub DKI Jakarta baru lalu, masyarakat disuguhkan dengan banyak kejadian dari peristiwa yang terkadang hampir menguras energi mengikuti perkembangannya.
Berbagai bentuk kegagalan atau kesalahan itu sangat akrab dengan kehidupan manusia. Misalnya gagal dalam belajar, gagal dalam meraih angka atau nilai yang tinggi, gagal dalam berkarir, gagal dalam mencari jodoh, gagal dalam membangun keluarga bahagia, gagal dalam berwiraswasta, gagal menepati janji, gagal dalam sebuah pertandingan, ataupun gagal dalam menahan nafsu di bulan suci Ramadan, dan lain-lain. Semuanya memenuhi sudut-sudut kehidupan manusia.
Saat ini kita telah berada di tengah-tengah bulan Ramadan, bulan puasa yang penuh keberkahan. Maka menahan nafsu amarah di bulan ini harus lebih ekstra dari pada bulan-bulan sebelumnya yang banyak pertentangan dan pertengkaran.
Di bulan yang berkah ini saatnya untuk berhijrah dari permusuhan menuju persahabatan, hijrah dari nafsu amarah yang notabene negatif menuju hal yang positif. Hijrah disini merupakan berpindah dari hal buruk menuju hal baik.
Jika di bulan Ramadan kemarin masih bolong-bolong puasanya, maka Ramadan tahun ini diusahakan tidak bolong lagi. Jika sering marah-marah, maka dikurangi marahnya untuk menjaga pahala puasanya.
Sangat disayangkan apabila telah berpuasa namun tidak bisa menjaga nafsu amarah dan kesombongannya, maka yang didapatkan hanya rasa haus dan lapar. Dan akhir-akhir ini kebanyakan orang telah gagal membelenggu nafsu negatif dengan banyaknya peristiwa yang seharusnya tidak dilakukan oleh sejumlah golongan.
Boleh saja manusia itu bertengkar, namun juga harus dengan batasan-batasan yang sewajarnya yaitu tidak terlalu lama. Mengapa bertengkar itu diperbolehkan? Ya karena memang manusia secara psikologi itu memiliki potensi emosi yang positif dan emosi negatif.
Dan sudah ada aturannya dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda: “Tidak halal bagi seseorang untuk saling memdiamkan (gara-gara bertengkar) melebihi tiga hari”.
Hadits tersebut mengindikasikan bahwa bertengkar itu boleh-boleh saja, namun alangkah indahnya untuk dihindari. Karena pertengkaran yang melebihi batas itu sangat dilarang, hadits tersebut mengatakan “tidak halal” itu berarti suatu keharaman atau larangan apabila terlalu berlarut-larut dan tidak segera saling memaafkan.
Memang wajar kalau manusia bisa marah karena gagal mengendalikan nafsu amarahnya, namun harus sewajarnya dengan tidak sampai keluar batas kemanusiaan. Ada kalanya marah dan ada kalanya memaafkan, dan yang paling baik itu orang yang pertama menyapa, minimal mengamalkan 3S (senyum, salam dan sapa).
Orang yang gagal mengendalikan nafsu amarahnya itu sangat wajar. Hal yang tidak wajar adalah apabila seseorang menginginkan dirinya selalu sempurna dan tidak pernah melakukan kesalahan. Kegagalan adalah guru besar kesuksesan.
Tidak ada satu manusiapun bisa sukses dan tumbuh tanpa kegagalan. Setiap kali mengalami kegagalan, lalu tidak dapat memetik sesuatu yang positif dari hal itu, berarti telah gagal berguru pada “profesor gagal”. Profesor gagal adalah guru jiwa terbesar dan terhebat di dunia ini.
Yazinul Asfaril Mundi
Mahasiswa Tarbiyah di STAIN Kudus. (*)