Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

jemaah haji

Nabung 35 Tahun, Penjahit Difabel Banjarnegara Wujudkan Mimpi ke Tanah Suci

Jemantar Muhammad Mansur (62), warga RT 02 RW 02 Dusun Banagara, Desa Mantrianom, Bawang, Banjarnegara sulit percaya keinginannya menunaikan ibadah ha

Penulis: khoirul muzaki | Editor: iswidodo
tribunjateng/khoirul muzaki
Jemantar Muhammad Mansur (62), warga RT 02 RW 02 Dusun Banagara, Desa Mantrianom, Bawang, Banjarnegara sulit percaya keinginannya menunaikan ibadah haji bisa terlaksana tahun ini. Hal itu mengingat keterbatasan fisik dan penghasilannya yang pas-pasan. 

TRIBUNJATENG.COM, BANJARNEGARA - Jemantar Muhammad Mansur (62), warga RT 02 RW 02 Dusun Banagara, Desa Mantrianom, Bawang, Banjarnegara sulit percaya keinginannya menunaikan ibadah haji bisa terlaksana tahun ini. Hal itu mengingat keterbatasan fisik dan penghasilannya yang pas-pasan.

Keinginannya naik haji itu telah ia pupuk sejak 40 tahun silam. Sejak itu, ia hampir tak pernah ketinggalan mengantarkan teman atau tetangganya berangkat haji, meski hanya sampai di Alun-alun Banjarnegara.

Air matanya selalu meleleh saat melepas calon jemaah haji ke Tanah Suci. Ia pun membayangkan suatu ketika dirinya yang akan diantar oleh teman dan para tetangganya berangkat ke Tanah Suci.
"Saya masih gak menyangka. Dulu saya suka mengantar, sekarang diantar. Saya bahagia dan bersyukur sekali," katanya, kepada Tribun Jateng, baru-baru ini.

Jemantar Muhamad Mansur, tukang jahit di Banjarnegara naik haji tahun ini setelah menabung puluhan tahun
Jemantar Muhamad Mansur, tukang jahit di Banjarnegara naik haji tahun ini setelah menabung puluhan tahun (TRIBUN JATENG/KHOIRUL MUZAKKI)

Dilihat secara kasat mata, rasanya sulit dipercaya Jemantar bisa melunasi ongkos naik haji. Ia bukanlah dari keluarga berada, dengan penampilan yang biasa, apalagi rumahnya yang tampak sederhana.

Ia tak memiliki sawah umumnya orang desa. Jemantar juga tak memiliki profesi yang menjanjikan kelimpahan harta. Jemantar adalah penyandang disabilitas yang hanya berprofesi sebagai tukang jahit biasa.

Karena keterbatasan fisik, Jemantar kesulitan mengakses pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Tetapi siapa sangka, dari hasil pekerjaannya itu, ia bisa menyisihkan pendapatan untuk tabungan haji.
"Karena keterbatasan fisik, saya bisanya cuma menjahit. Pekerjaan ini saya tekuni hingga sekarang," paparnya.

Pekerjaannya itupun ia jalani dengan berat. Di awal perjuangannya, ia harus berjalan kaki sejauh 1,5 Km tiap hari memakai alat bantu menuju tempat mangkalnya di komplek Pondok Pesantren Tanbihul Ghofilin Mantrianom, Bawang.

Beruntung, empat tahun belakangan ini, seorang donatur mendermakan motor tua kepadanya. Ia pun memodifikasinya menjadi roda tiga agar bisa dikendarai.

Penghasilan sebagai tukang jahit ternyata tak menentu. Hal itu mengingat kecenderungan masyarakat saat ini yang lebih memilih membeli pakaian jadi produk pabrikan atau konveksi ketimbang menggunakan jasa penjahit.

Membeli pakaian jadi dirasa lebih praktis dan jauh lebih murah daripada menggunakan jasa penjahit untuk membuatkannya. Jemantar pun lebih banyak mengandalkan momentum ajaran baru untuk memperoleh penghasilan lebih.

"Saya biasa menjahit seragam anak sekolah dan santri. Kalau bukan pas momentum ajaran baru, pendapatan tak menentu. Pernah sehari hanya dapat Rp 5.000," ujarnya.
Dengan kodisi ekonomi yang tak menentu, Jemantar pun masih harus menghidupi istri dan enam anaknya. Karena keterbatasan biaya, ia hanya mampu menyekolahkan tiga anak pertamanya sampai tamat Sekolah Dasar (SD).

Ia lantas memasukkan anak-anaknya itu ke pesantren yang menggratiskan biaya pendidikan. Anak bungsunya kini masih menginjak bangku kelas 1 Madrasah Aliyah (MA).
Karena kondisi ekonomi yang kurang, penghasilan Jemantar lebih banyak habis untuk menutup kebutuhan keluarga yang menjadi prioritasnya. Jika sisa, baru ia sisihkan untuk tabungan haji yang ia tak pernah tahu sampai kapan uangnya bisa terkumpul untuk mendaftar haji.

Setelah 35 tahun menabung, ia memberanikan diri untuk mendaftar haji ke Kemenag dengan uang yang terkumpul. "Yang penting saya ada niat dulu. Alhamdulillah tahun 2011 saya bisa mendaftar haji," jelasnya.

Ibadah haji lebih banyak berisi gerakan fisik pada setiap rukunnya, mulai dari tawaf, sa'i, hingga melempar jumrah. Meski fisiknya tak sempurna, Jemantar yakin bisa melalui setiap tahapan rukun haji dengan baik. Keterbatasan fisik tak membatasinya untuk menyempurnakan rukun Islam.
Ia pun telah menyiapkan sebuah kursi roda yang dipinjam dari seorang teman untuk dipakai saat menunaikan ibadah haji. Tetapi, tetap saja ada sedikit kekhawatiran yang menghinggapi pikirannya ketika melaksanakan tahapan ibadah haji.

"Saya membayangkan jika melempar jumrah dengan alat bantu, saya akan kesulitan. Tapi saya yakin, semua akan dimudahkan Allah," urainya. (Tribunjateng/Khoirul Muzakki)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved