Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

FOCUS

Demi Dewi Sri

Demi Dewi Sri. Singkat cerita, Dewi Sri menjemput maut, oleh racun paling racun, yang dikumpulkan para dewa dari pelbagai hewan

Penulis: achiar m permana | Editor: iswidodo
tribunjateng/bram
Achiar Permana wartawan tribun jateng 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Kocap kacarita, Batara Guru terpikat oleh kejelitaan paras Dewi Sri. Agaknya, dorongan libidinal membuat pemimpin para dewa itu alpa bahwa gadis dengan kecantikan seribu bidadari itu adalah anak angkatnya sendiri. Sang dewi lahir dari telur mustika, jelmaan tetes air mata Begawan Antaboga.

Ulah lucah Batara Guru itu mengguncang kahyangan. Para dewa cemas, skandal itu akan merusak keselarasan kahyangan.

Maka, para dewa pun berunding, mengatur siasat untuk memisahkan Batara Guru dan Dewi Sri. Tak ada jalan lain, Dewi Sri harus dibunuh. Demi melindungi kesucian Dewi Sri, sekaligus menjaga keselarasan rumah tangga sang pemimpin para dewa.

Singkat cerita, Dewi Sri menjemput maut, oleh racun paling racun, yang dikumpulkan para dewa dari pelbagai hewan berbisa paling mematikan, yang telah dibubuhkan ke minuman sang putri. Alih-alih bahagia, para dewa justru panik oleh kematian sang dewi lantaran merasa telah berbuat dosa besar: membunuh gadis suci tak berdosa.

Jasad Dewi Sri dibawa turun ke bumi dan dikuburkan di hutan perawan. Ajaib! Kesucian dan kebijakan Dewi Sri, menghadirkan kebajikan. Dari dalam kuburannya muncul beraneka tumbuhan yang amat berguna bagi manusia. Pohon kelapa menjulang dari kepalanya, buah-buahan dari payudaranya, jati dan cendana dari lengan dan tangannya, aren dari alat kelaminnya.

Terakhir, dari pusaranya tumbuh padi. Tanaman, yang bulir-bulir buahnya wajib hadir di piring kita saban hari. Tanaman, yang membuat kita merasa belum makan, kalau belum menyantapnya.

Dari kisah itulah, orang Jawa begitu menghormati dan memuliakan Dewi Sri.

Pelbagai acara dan ritual menjadi sarana bagi orang Jawa untuk menghormati Dewi Sri, mulai dari wiwit saat memulai tanap padi hingga saat panen. Sedekah bumi, sedekah desa (kadesa), atau merti desa, juga bentuk penghormatan kepada Dewi Sri. Bahkan orang Jawa--terutama pengamal ajaran Kejawen, memiliki ruangan yang disebut Pasrean, tempat Dewi Sri, untuk menghormati dewi kesuburan itu.

"Mulane, aja sok daksiya karo upa (Makanya, jangan suka menyia-nyiakan sebutir nasi)," tiba-tiba Dawir nyeletuk dari balik tengkuk saya, dengan lagak sok menasihati.

Semasa saya kecil, bapak bisa marah besar jika saya "meremehkan" beras. Menyisakan beberapa butir upa, bulir-bulir nasi di piring, bisa menjadi pangkal hadirnya kemarahan bapak.

Menyia-nyiakan upa sama artinya mengabaikan cucuran peluh bapak, dalam mengolah sawah.

Hari-hari ini, Dewi Sri tengah membikin gundah. Di pasar-pasar, bahan pangan yang hadir dari pusara Dewi Sri bergerak melambung tinggi. Ya, harga beras merangkak naik sejak menjelang Tahun Baru dan hingga kini cenderung emoh turun.

Harga beras kualitas bagus di Kota Semarang, misalnya, kini mencapai angka Rp 13.000 per kilogram, dari sebelumnya di kisaran Rp 11.000 hingga Rp 11.500. Padahal, harga eceran tertinggi (HET) untuk beras medium hanyalah Rp 9.500 per kilogram.

"Dalam seminggu ini, pelan-pelan (harga beras) cenderung merambat naik," kata Legiyem, seorang pedagang di Semarang Tengah, seperti dikutip Tribun Jateng, Selasa (16/1/2017).
Kenaikan harga beras yang perlahan (tapi pasti!) terang membawa dampak signifikan ke dapur dan kehidupan kita. Terlebih, bagi kita yang telah menjadikan beras sebagai sine qua none, sesuatu yang wajib ada. Laiknya dewa.

Selain persoalan gagal panen, keberadaan "tikus-tikus" dalam dunia perberasan juga menjadi pemicu ketidakstabilan harga beras di pasaran. Di tengah-tengah kesulitan warga menghadapi kenaikan harga beras, masih ada orang-orang culas yang memetik keuntungan dengan menyelundupkan beras.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved