Takut Tak Bisa Seberangkan Siswa, Pak Guru Sigit Tolak Jabatan Jadi Kepala Sekolah, Ini Kisahnya
Dengan kualifikasi yang dia miliki, bukan hal sulit untuk memperoleh jabatan tinggi di sekolah maupun kedinasan
Penulis: khoirul muzaki | Editor: m nur huda
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Khoirul Muzakki
TRIBUBJATENG.COM, PURBALINGGA - Siapa yang tidak ingin karirnya naik hingga derajatnya di mata manusia meningkat. Beragam fasilitas dan tunjangan jabatan yang menggiurkan pasti akan mengikuti.
Tak ayal, sebagian orang bahkan rela menghalalkan beragam cara untuk mendapatkannya.
Namun prinsip demikian tidak berlaku bagi Dwi Mulyanto Sigit (59), guru Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah 36 tahun mengabdikan dirinya sebagai pengajar di SD N 2 Kedungmenjangan Purbalingga.
Dengan kualifikasi yang dia miliki, bukan hal sulit bagi Sigit untuk memperoleh jabatan tinggi di sekolah maupun kedinasan. Namun ia memilih tetap menjadi guru kelas di sekolahnya hingga pensiun nanti.
Alasannya tidak lazim. Sigit hanya ingin istikamah menyeberangkan siswa-siswanya menuju sekolah. Ia tak ingin amalan yang telah ia jalankan lebih dari 25 tahun itu terputus gara-gara mengejar karir.
Sigit tak pernah menyesali pilihannya. Ia tidak menaruh iri pada teman atau adik angkatannya yang kebanyakan sudah menjadi kepala sekolah, Kepala UPT, hingga Kepala Dinas Pendidikan Purbalingga.
Sementara ia masih guru kelas biasa. Setiap pagi buta, ia setia menjalani rutinitas menyeberangkan siswa, berjibaku dengan lalu lintas kendaraan dan udara yang kotor di jalan raya. Ia seakan tak peduli wibawanya jatuh gegara mengerjakan hal yang biasa dilakukan karyawan rendahan.
Namun begitulah pilihan hidup Sigit. Ia sudah membuang jauh hasrat keduniaannya. Harta dan pangkat tak membutakan hatinya untuk merawat kebaikan.
"Sepertinya memang naif ya, ada kesempatan karir tapi saya gak minat hanya demi bisa menyeberangkan siswa. Tapi itulah pilihan hidup saya,"katanya.
Kesempatan menjadi Kepala Sekolah paling terbuka lebar untuknya. Teman-temannya sudah sering membujuknya agar tak menyiakan peluang itu karena dianggap memenuhi syarat.
Ia sempat mempertimbangkannya. Jabatan itu memang cukup menggiurkan. Namun ia harus siap atas konsekuensinya, pasti kerap berdinas ke luar sekolah, hingga dipindahtugaskan ke sekolah lain jika diangkat nanti.
Dengan kata lain, ia harus meninggalkan sekolah yang puluhan tahun diampunya. Jika demikian, ia tak akan lagi bisa menyeberangkan siswa-siswanya ke sekolah.
Ia tentu tak tenang memikirkan nasib anak-anak yang setiap pagi dan siang selalu menunggu aba-abanya, agar bisa menyeberang dengan selamat.
Sigit akhirnya memilih membuang kesempatan karir itu. Ia meyakinkan istrinya untuk mendukung pilihannya. Sigit meyakinkan, jabatan dunia hanyalah sementara. Lebih mulia amalan kebaikan, meskipun sederhana, akan terbawa sampai mati. Sang istri luluh dan mendukung keikhlasan suaminya itu.
Suatu ketika, Sigit juga pernah menolak halus tawaran mengikuti panataran di luar kota karena harus absen menyeberangkan siswa-siswanya.
"Jangankan cuma penataran, karir menjadi kepala sekolah tidak saya minati. Karena saya lebih berat dengan ini, menyeberangkan anak-cucu saya ini. Saya tidak tenang, was-was akan keselamatan mereka jika saya tinggal,"katanya
Sigit nyatanya bangga dengan pekerjaan sukarela itu, meski tiada penghargaan atau pihak yang menugaskan.
Pekerjaan itu justru dimaknainya kesempatan bermanfaat bagi orang lain. Dari situ, setiap hari ia bisa mengais pahala. Belum lagi panjatan doa dari para siswa dan orang tua yang merasa terbantu olehnya.
Di relung hatinya, Sigit meyakini, di akhirat nanti, Tuhan telah menyiapkan penyeberangan yang lebih kecil dari rambut terbelah (Siratal mustakim). Jembatan itu hanya bisa dilalui oleh orang beriman dan saleh.
Sigit berharap, ribuan siswa yang telah ia seberangkan setiap hari itu, di antaranya adalah terkasih Allah. Kelak di hari perhitungan, ia yakin, tangan-tangan suci itu berbalik menariknya agar dapat menyeberang siratal mustakim. Lalu berjumpa di surga.
"Sekarang saya menyeberangkan anak-anak, itu ibadah yang saya berikan. Suatu ketika kalau saya menyeberang siratal mustakim, mereka akan membantu menyeberangkan saya hingga selamat,"katanya
Sigit nyaris tak pernah absen menyeberangkan siswa-siswanya. Bahkan dalam kondisi sakit sekalipun, saat satu tangannya putus karena terjatuh, atau perutnya sakit karena penyakit Hernia kronis, Sigit tetap memaksa menyeberangkan siswa meksi sembari menahan perih.
Atas konsistensinya menyeberangkan siswa itu, Sigit pernah mendapatkan piagam penghargaan dua kali dari Polres Purbalingga, tahun 2012 dan 2013 karena telah membantu pekerjaan polisi mengatur lalu lintas di jalan raya.
Kepala SD N 2 Kedungmenjangan Suparso mengatakan, pihaknya mengapresiasi guru itu karena konsisten membantu menyeberangkan para siswa ke sekolah. Dengan demikian, para siswa dan orang tua merasa aman dan nyaman saat pergi ke sekolah melewari jalan raya.
Meski untuk pekerjaan itu, pihak sekolah tidak pernah menugaskannya ke Sigit, kecuali atas dasar kerelawanan.
Menurut Suparso, selama ini Sigit menjadi guru yang sangat disegani para siswa. Dia menjadi telàdan yang baik bagi para siswa karena selalu datang sebelum siswa tiba di sekolah.
"Dia jadi contoh yang baik, karena sebelum anak anak datang, dia sudah stabd by di jalan raya," katanya.(*)