Novel Seno Gumira Ajidarma Jadi Bahan Penelitian Prasetyo Utomo Untuk Gelar Doktor
Bahkan dijadikannya sebagai bahan disertasi guna meraih gelar Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa.
Penulis: deni setiawan | Editor: m nur huda
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Deni Setiawan
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Kebaruan teknik yang dilakukan oleh Seno Gumira Ajidarma melalui Novel Omong Kosong itu, menjadi alasan tersendiri bagi Sunyoto Prasetyo Utomo mencoba meneliti lebih dalam.
Bahkan dijadikannya sebagai bahan disertasi guna meraih gelar Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa.
Menurut Prasetyo Utomo, Seno Gumira telah melakukan penyimpangan peran tokoh, menghindarkan diri dari oposisi biner (hitam-putih). Lalu alur dan kisah dijalin dalam cerita unik, berselang-seling antara mitos, fakta, serta imajinasi.
“Dan yang tak kalah menariknya, kisah yang tertuang dalam novel menjadi teks jamak, teks dengan penafsiran plural. Serta diyakininya telah memenuhi syarat karya yang kuat dengan adanya persatuan dan keragaman,” jelas Sastrawan Jawa Tengah itu saat ditemui Tribunjateng.com, kemarin Jumat (9/3/2018).
Melihat dan mengkaji terhadap novel itu, lanjutnya, Seno Gumira telah menciptakan karya sastra yang membuat pembaca bisa keluar dari cara melihat percintaan Rama-Sinta yang selama ini diagungkan dalam mitos Ramayana. Itu yang kemudian menjadikan novel itu sebagai bahan disertasi olehnya.
“Secara keseluruhan saya tidak menemui kendala dalam penyusunan disertasi tersebut. Hanya terkait waktu untuk dapat berkonsentrasi, fokus terhadap produk karya tulis ilmiah yang hendak diujikan di hadapan para promotor,” paparnya seusai menjalani Ujian Terbuka di Gedung Pascasarjana Unnes Jalan Kelud Utara III Kota Semarang.
Dia mengutarakan, yang membuat butuh waktu lama dalam pembuatan serta penyusunan disertasinya yang berjudul Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma itu lebih karena harus menyelesaikan penggarapan tiga novel karyanya yang hendak diterbitkan.
“Untuk menyusun disertasi hingga akhirnya siap diujikan, saya butuh waktu selama sekitar 9 bulan 10 hari,” tuturnya. Novel itu ditulis dengan penyimpangan yang tidak lazim. Apabila ditelusuri dari hipogram roman Ramayana gubahan C Rajagopalachari. Pengasingan tokoh di karya itu merupakan satu unsur menarik untuk diteliti lebih dalam,” tandasnya.
Pria kelahiran Yogyakarta 7 Januari 1961 yang kini juga aktif sebagai dosen penulisan kreatif di Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) itu mengutarakan itu pula yang kemudian dirinya mencoba meneliti intertekstualitas novel untuk menganalisis defamiliarisasi hegemoni kekuasaan tokoh, alur, maupun kisahnya.
“Dan dari riset itu, disimpulkan ada tiga pola defamiliarisasi tokoh di dalamnya. Yakni tokoh Rama, Sinta, dan Rahwana yang mengalami perubahan ideologi, sikap, perilaku dari dalam diri mereka maupun saat menghadapi hegemoni kekuasaan dari luar,” terang Prasetyo.
Lalu, tambahnya, tokoh Hanoman yang membebaskan diri dari hegemoni kekuasaan Rama dan Walmiki sehingga mampu menciptakan akhir kisah sendiri. Dan yang ketiga, ucapnya, tokoh Walmiki yang membebaskan diri dari perannya sebagai penulis Ramayana.
“Itu yang kemudian meninjau kembali kekuasaannya dalam menentukan nasib tokoh-tokoh yang telah diciptakannya. Ya semoga dari karya kecil saya tersebut bisa bermanfaat bagi siapapun, khususnya mereka yang suka menulis, mengkaji, ataupun meneliti tentang karya sastra,” tutup Prasetyo. (dse)