MENGHARUKAN! Cerita Surat Anak Parinah Minta Restu Menikah, Terungkap 13 Tahun Kemudian
Menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri adalah pilihan sulit bagi Parinah, warga Desa Petarangan Kecamatan Kemranjen Banyumas Jawa Tengah
Laporan Wartawan Tribun Jateng Khoirul Muzakki
TRIBUNJATENG.COM, BANYUMAS - Menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri adalah pilihan sulit bagi Parinah, warga Desa Petarangan Kecamatan Kemranjen Banyumas Jawa Tengah, tahun 1999.
Yang paling berat tentu, harus meninggalkan ketiga putra putrinya yang masih butuh perhatian.
Namun sebagaimana nasib keluarga TKI lain, kemiskinan membuat keluarga itu harus hidup saling terpisah dalam waktu lama. Ia harus merantau ke negeri demi mencari sesuap nasi untuk keluarga.
Parsin (32), masih belia saat ibunya, Parinah pamit bekerja ke Arab Saudi sebagai Asisten Rumah Tangga (ART).
Anak itu harus rela melepas ibunya dalam waktu yang tidak dia ketahui. Parsin yang saat itu baru masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), tak punya alasan untuk melarang ibunya pergi.
Terlebih, hasil keringat ibunya di luar negeri itu kembali untuk mencukupi makan keluarga sehari-hari, termasuk membiayai pendidikan dia dan saudaranya hingga jenjang yang tinggi.
Dengan modal yang cukup, Parsin dan saudaranya akan lebih bersemangat mengejar pendidikan untuk masa depan lebih baik.
Namun bayangan manis itu berubah kenyataan pahit kemudian.
Bertahun-tahun menanti, sang bunda tak juga berkirim uang. Anak-anak di rumah telah menanggung lapar. Pendidikan mereka terancam mogok. Cita Parsin yang telah melambung kandas.
Anak itu harus menanggalkan baju seragam SMP nya, dan mengubur segala impian tentang masa depan.
"Saya putus sekolah waktu SMP, "kata Parsin
Alih-alih bersekolah, untuk memenuhi kebutuhan harian, Parsin dan saudaranya sering terlunta. Mereka kehilangan tulang punggung hingga ketahanan keluarga itu rapuh.
Anak sekecil Parsin bukan hanya harus kehilangan pendidikannya, namun juga kesempatan bermain dengan teman sebayanya. Ia memaksa tubuh mungilnya melakukan pekerjaan berat yang tak ramah bagi anak seusianya.
"Setelah putus sekolah, saya merantau bekerja di Jakarta,"katanya
Kepedihan itu juga dirasakan saudara-saudaranya lain. Kakak Parsin, Sunarti (36), sudah beranjak remaja saat ditinggal ibunya merantau ke luar negeri, 18 tahun lalu.
Apalagi ia seorang perempuan. Perasaan sakitnya lebih dalam karena hidup terpisah dengan orang tua.
Namun yang paling menyakitkan, Sunarti tak bisa menghadirkan ibunya saat momentum paling spesial dalam hidupnya, menikah. Kala itu, seorang pria serius meminangnya untuk dijadikan pasangan hidup.
Pinangan diterima, namun gadis itu tetap gundah. Ia terisak kala teringat ibu yang tak jelas nasibnya di perantauan. Ia berusaha mencari jalan agar orang tuanya itu pulang.
Sunarti tak sanggup membayangkan suasana batinnya ketika menikah tanpa didampingi orang tua yang melahirkannya.
Ia ingin bersimpuh di kaki ibunya di pelaminan, sebelum ia menyerahkan diri ke orang lain yang akan menjadi pendamping hidupnya.
"Saat itu kan saya adik saya masih kecil-kecil. Gak tahu mau mencari ibu kemana, bagaimana nanti mengurusnya, gak ada biaya juga,"katanya
Jika tiada jalan lain, Narti masih bisa mengangkat pena, lalu menuliskan kegalauan hatinya di atas secarik kertas.
Kalimat yang tertulis adalah bahasa kerinduan, juga pengharapan sangat agar ibu terkasih pulang. Anak yang masih ingusan saat ditinggal Parinah dulu, telah menjelma gadis perawan yang siap dikawin.
Surat itu dikirim ke alamat tempat kerja Parinah di Inggris yang dia ketahui saat masih berkomunikasi dulu.
Tanggal pernikahan semakin dekat, namun ibunya tak juga berkirim kabar. Narti tak tahu, apakah surat itu sampai di alamat yang benar, atau kandas di tengah jalan.
Nyatanya, surat berisi jeritan anak-anak yang merindukan ibunya itu tak pernah terbalas.
Telepon rumah majikan masih berdering setiap kali dihubungi, namun selalu dimatikan setelah diangkat singkat.
Sunarti terpaksa menahan kesedihan di hari perkawinan karena tiada ibu yang hadir di sisi.
"Sedih rasanya menikah gak ada orang tua. Saudara-saudara saya semua menikah tanpa dihadiri ibu,"katanya
Sebetulnya surat Sunarti telah sampai di rumah tempat kerjanya di Inggris, 2015. Tetapi surat itu tak pernah sampai di tangan Parinah.
Untung Parinah diam-diam suka memburu dokumen yang berhubungan dengan dirinya di setiap sudut dalam rumah itu.
Barangkali, terselip surat penting untuknya yang sengaja disembunyikan majikan darinya. Terlebih ia tahu watak majikan yang suka memutus komunikasinya dengan keluarga.
Hingga ia menemukan sepucuk surat yang sudah agak usang. Surat Sunarti yang telah sampai dua bulan silam baru ditemukannya sekarang.
Kabar bahagia dalam surat itu membuatnya senang. Anak perawannya telah dipinang orang dan segera menikah. Namun ia menyesal lantaran terlambat mengetahui.
Anaknya pasti menanti jawaban darinya sebelum hari perkawinan tiba. Jika pun tak bisa pulang, dia akan mengusahakan membalas surat itu, lalu memberi restu dari jauh. Agar anaknya tak begitu merana di hari bahagia.
"Saya baru tahu ada surat itu dua bulan kemudian, itu pun saya curi-curi kesempatan untuk cari surat itu,"kata Parinah yang kini telah kembali ke rumah Cilacap setelah belasan tahun hilang kontak dengan keluarga
13 tahun setelah surat Sunarti sampai, Januari 2018, kabar pertama dari ibunya sampai melalui sepucuk surat dari Inggris.
Surat itu membangkitkan kembali harapan keluarganya di kampung yang sempat pasrah atas keadaannya.
Melalui surat itu, Parinah menjerit minta tolong. Hidupnya lama terpasung dan akan terus tertawan sampai waktu entah kapan.
Parsin dan saudaranya lalu mengadukan masalah yang dialami ibunya ke pemerintah melalui Badan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP4TKI) Cilacap. Pemerintah menindaklanjuti aduan itu dengan koordinasi lintas sektoral. Semua instansi terkait bergerak.
Puncaknya, awal April 2018, Parinah berhasil diselamatkan dari rumah majikannya dengan bantuan Kepolisian Inggris di Brighton.
"Waktu itu ada polisi datang pas saya ada di depan rumah, saya lalu dibawa ke mobil,"katanya. (*)