FOCUS
Ada Apa dengan Reformasi?
Ada Apa dengan Reformasi? Dua puluh tahun sudah era reformasi berjalan. Namun apa yang terjadi dengan negeri ini?
Penulis: rustam aji | Editor: iswidodo
Tajuk ditulis oleh Wartawan Tribun Jateng, Moh Anhar
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Dua puluh tahun sudah era reformasi berjalan. Namun apa yang terjadi dengan negeri ini? Alih-alih bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) sebagaimana tuntutan para mahasiswa kala itu saat menumbangkan era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, yang terjadi justru KKN makin merajalela.
KKN saat ini hanya berubah bentuk saja. Kalau dulu korupsi dilakukan oleh segelintir pejabat di lingkaran kekuasaan Orde Baru, kini makin meluas. Mulai dari sejumlah kalangan anggota DPR/DPRD hingga setingkat kepala desa (Kades). Sementara kolusi dan nepotisme berubah wajah, tidak hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki jabatan di pemerintahan saja tetapi lebih luas lagi juga terjadi pada partai politik. Bagaimana tidak, sejumlah partai banyak berisi satu keluarga, kerabat, dan sahabat.
Pada dasarnya, praktik model pengurusan partai seperti itu, disadari atau tidak, telah menyemai benih-benih kolusi dan nepotisme, yang ujung-ujungnya bila kelak berkuasa akan melahirkan kader “koruptor”. Karena itu, model kepengurusan partai yang mengandalkan kekeluargaan, pada zaman demokrasi yang lebih modern seperti saat ini sudah sepatutnya untuk ditinggalkan. Sebab, hal itu jelas tidak sesuai dengan tuntutan reformasi.
Tengoklah era kepemimpinan reformasi selama ini. Meski sudah berganti beberapa presiden, tapi kenyataannya juga tidak banyak mengubah keadaan negeri ini, selain hanya menambah pundi-pundi utang negara. Karena apa? Hal itu tidak dibarengi dengan keseriusan menjalankan pemerintahan yang benar-benar bersih dari KKN. Yang ada mereka dalam menjalankan “amanat” reformasi setengah hati.
Pada saat sama, masyarakat (baca: rakyat) seolah cuek bebek atas kondisi yang ada saat ini. Entah mereka takut melakukan protes, atau karena memang tidak mau tahu apa yang sedang terjadi di negeri ini. Bahkan, di tahun ke-20 reformasi, tidak ada suara-suara sumbang yang memprotes kondisi sekarang, kecuali segelintir mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menggelar demo di depan istana dan dibubarkan oleh aparat. Itupun tidak terekspos secara masif sebagaimana kegiatan-kegiatan Presiden, di mana media memblowup secara habis-habisan.
Karena itu, atas kondisi masa depan reformasi saat ini, seolah tidak ada yang mengawal lagi sehingga pemberantasan korupsi berjalan mundur –untuk tidak menyebut jalan di tempat. Tak ayal, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu lembaga amanat reformasi, seolah berjalan sendiri tanpa “kawan” seiring yang pro pemberantasan korupsi.
Namun, kita patut bersyukur masih ada KPK yang tetap menjalankan amanat reformasi dan berisi orang-orang yang kredibel, “menghibahkan” nyawa dan pikirannya untuk memberantas korupsi tanpa tedeng aling-aling.
Dua puluh tahun reformasi, mari kita renungkan apa yang telah kita lakukan untuk bangsa ini? Mungkinkah kita “urunan” untuk membayar utang pemerintah yang mencapai Rp 4.180,61 triliun per April 2018, seperti halnya dilakukan rakyat Malaysia. Atau, malah mencari pemimpin baru yang memiliki pemikiran reformis. (tribunjateng/cetak/aji)