Mendulang Untung di Balik Manisnya Getuk Goreng Khas Sokaraja
Sepanjang sisi jalan di kecamatan itu disesaki warung makan dan pusat oleh-oleh makanan khas Sokaraja Banyumas.
Penulis: khoirul muzaki | Editor: m nur huda
Laporan Wartawan Tribun Jateng Khoirul Muzakki
TRIBUNJATENG.COM, BANYUMAS - Melintasi jalan raya Sokaraja Banyumas bisa membuat pengendara menelan ludah. Sepanjang sisi jalan di kecamatan itu disesaki warung makan dan pusat oleh-oleh makanan khas Sokaraja Banyumas.
Aroma wangi gula kelapa menyeruak dari butiran-butiran getuk goreng yang dipajang di etalase warung. Getuk goreng Sokaraja tentu sudah familiar bagi para pecinta kuliner nusantara.
Terlebih getuk goreng bukan hanya mendapatkan tempat di hati para pecinta kuliner. Makanan khas itu bahkan telah mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, akhir 2017 silam.
Getuk goreng bahkan sempat diusulkan sebagai warisan budaya nasional tak benda karena dinilai sebagai budaya asli Indonesia.
Tak ayal, di berbagai daerah, banyak pengusaha oleh-oleh menumpang popularitas merek Sokaraja untuk menamai getuk buatan mereka. Tetapi dari Sokaraja Banyumas ini, getuk goreng yang melegenda itu sebenarnya bermuasal.
Tatik, pengelola toko getuk goreng Sokaraja 'Bu Diyem' adalah satu di antara pengusaha makanan di Sokaraja yang menggantungkan hidupnya dari berjualan getuk sejak puluhan tahun silam.
Tatik tak punya varian rasa untuk getuk goreng buatannya. Berbeda dengan sebagian toko lain yang menawarkan varian rasa getuk, semisal rasa gula jawa, nangka, hingga durian.
Tatik hanya menyediakan getuk goreng original atau rasa gula kelapa yang menjadi kekhasan getuk itu. Satu kilogram getuk dihargainya Rp 30 ribu.
"Pernah coba pakai rasa lain tapi kurang laku. Karena kalau rasa buah itu kan bukan pakai buah asli. Kalau pakai buah asli mahal,"katanya, Sabtu (2/6)
Sekilas, getuk goreng buatannya sama saja dengan getuk goreng yang dijajakan para penjual lain di Sokaraja. Tetapi ia menilai rasa getuk di masing-masing toko pastilah berbeda.
Meski bahan dasar sama, singkong dan gula kelapa, cita rasa yang dihasilkan bisa berbeda. Terlebih dia punya resep tersendiri dalam pembuatan getuknya, yakni dengan mencampur bahan baku dengan irisan kelapa.
Karena itu, ia mengklaim, getuk gorengnya terasa lebih gurih ketimbang produk lain yang tak memakai campuran kelapa.
"Kalau gak pakai campuran kelapa gak gurih. Saya tetap buatnya yang original,"katanya
Di Bulan Ramadan ini, para penjual getuk goreng di Sokaraja bersiap mendulang untung. Permintaan oleh-oleh itu akan naik saat musim mudik tiba. Tatik pun termasuk penjual yang mendapatkan berkah dari tradisi mudik ini.
Meski sampai pertengahan puasa ini, omset penjualannya masih stabil. Saat ini, sebagaimana hari-hari normal, ia bisa menjual getuk sampai 75 kilogram perhari.
Saat lebaran, ia biasa kewalahan melayani pembeli. Permintaan getuk waktu itu tengah memasuki puncaknya. Dari pengalaman lebaran sebelumnya, omset penjualan getuk saat musim mudik bisa berlipat, sampai 3 kuintal perhari.
Ia pun berharap, lebaran nanti, saat arus mudik memasuki puncaknya, ia kembali bisa mendulang untung dari dagangannya.
"Kalau lebaran itu permintaan tinggi, tinggal tenaganya kuat tidak,"katanya
Tatik adalah generasi ketiga pemilik toko getuk goreng Bu Diyem. Generasi pertama, Karta mulanya adalah penjual getuk singkong basah (Cemol). Suatu ketika, dia menjajal menggoreng getuk itu. Tak disangka, getuk basah yang digoreng ternyata memiliki cita rasa tersendiri dan cenderung lebih disukai pembeli.
Dia bersama beberapa penjual getuk lain di wilayah itu akhirnya mengembangkan getuk goreng sebagai produk andalan yang dijual di lapak-lapak mereka.(*)