Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Gempa Donggala

Mayat Korban Bencana Menimbulkan Penyakit? Ini Penjelasan Epidemiologi

153 jenazah korban gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, telah dikuburkan secara massal, empat hari pasca bencana.

Editor: m nur huda
KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO
Jenasah korban gempa bumi Palu dimakamkan secara massal di TPU Poboya, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10/2018). Gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah mengakibatkan 832 orang meninggal. 

Setelah itu, baru dimulai penguburan jenazah. Ahli bidang epidemologi dan sanitasi Nyoman Kandun mengatakan, titik kubur harus berada di atas permukaan air tanah untuk melindungi air tanah.

"Jenazah ditanam 1,5 -2 meter sudah cukup aman apa pun jenis tanahnya," ujar Nyoman.

Sementara, panduan penanganan pasca bencana WHO mengungkapkan, meskipun tidak ada rekomendasi standar untuk kedalaman kuburan, disarankan bahwa lubang itu harus berada di kedalaman antara 1,5 m dan kedalaman 3 m.

Jika memungkinkan, tanah dengan tekstur berpasir dan mengandung alkali disarankan untuk mencegah kontaminasi air dan degradasi DNA mayat.

Adapun lokasi pemakaman harus setidaknya 30 meter dari mata air atau anak sungai dan 200 m dari sumur atau sumber air minum lainnya.

Pada pemakaman massal, masing-masing jenazah ditempatkan sejajar dengan jarak 0,4 m satu sama lain.

Praktik keagamaan yang berlaku dapat menunjukkan preferensi untuk orientasi tubuh dimakamkan (misalnya kepala menghadap timur, atau menghadap kiblat).

Secara berulang, WHO pun menegaskan mayat secara umum tidak menyebabkan wabah setelah terjadinya bencana.

Satu-satunya alasan mayat korban bencana bisa menyebabkan risiko wabah jika korban meninggal mengidap penyakit menular seperti, ebola, kolera dan demam lassa, adalah ketika bencana alam terjadi, daerah tersebut sedang diserang penyakit endemik.

Konsekuensi dari salah urus orang yang meninggal salah satunya adalah tekanan mental terhadap keluarga mereka serta masalah sosial dan hukum. Justru, populasi yang bertahan hidup jauh lebih mungkin menyebarkan penyakit.

Nyoman mengungkapkan imbas dari disrupsi lingkungan, kelangkaan air bersih, dan sampah berhamburan, bisa menyebabkan terjadinya wabah.

"Jadi ada kemungkinan ada dua jenis penyakit yang menular langsung dan penyakit yang disebabkan penularan melalui vector," ujar Nyoman.

"Yang menular langsung adalah personal hygine dan environmental sanitation yang rusak, bisa muncul penyakit yang ada kaitannya dengan gastroinfestinal (muntah berak)," lanjutnya.

Maka dari itu, penanganan tanggap darurat gempa mutlak dilakukan. Kepala Sub Tanggap Darurat Bencana PMI Pusat Ridwan S Carman mengatakan bahwa untuk mencegah wabah penyakit, penanganan korban yang selamat harus diprioritaskan.

"Di tengah seluruh kondisi yang serba minim, kita tetap harus berpikir higienitas menjadi hal yang sangat penting, baik dari sisi dasar, air dan makanan, juga dari sisi promosi perilaku-perilaku masyarakat yang ada disana," papar Ridwan.

Sumber: Kompas.com
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved