Wawancara Lengkap Mantan GM PSIS Semarang Ferdinand Hindiarto, Ungkap Modus Pengaturan Skor
Mantan GM PSIS Ferdinand Hindiarto mengungkapkan modus-modus praktik pengaturan skor dalam sepak bola nasional.
Penulis: Abduh Imanulhaq | Editor: abduh imanulhaq
TRIBUNJATENG.COM - Pengungkapan kasus pengaturan skor (match fixing) dalam sepak bola nasional menjadi satu dari beberapa topik panas yang mengemuka belakangan ini.
Sejumlah pihak yang terlibat dalam sepak bola, bahkan pernah menjadi pelakunya, berbicara blak-blakan di depan publik.
Skandal yang mereka beberkan membuka lagi ingatan masyarakat bola Indonesia mengenai beberapa pertandingan yang dicurigai terkena pengaturan skor.
Kepada wartawan Tribun Jateng Abduh Imanulhaq, beberapa waktu lalu, mantan General Manager PSIS Ferdinand Hindiarto mengungkapkan beberapa modus yang dipakai para pelaku pengaturan skor.
Tidak banyak pelaku sepak bola yang merupakan akademisi. Ferdinand yang mengajar di Unika Soegijapranata Semarang satu di antaranya. Maka dia pun membagikan wawasannya mengenai sisik-melik dunia sepak bola nasional.
Sebagian dari wawancara ini juga dimuat secara berseri dalam koran Tribun Jateng edisi Kamis 20 Desember dan Jumat, 21 Desember 2018.
Berikut wawancara lengkap dengan Ferdinand Hindiarto:
Bagaimana kiprah Anda di dunia sepak bola nasional?
Kiprah di sepak bola itu saya mulai dari klub kampus Unika FC sebagai pengurus, terus di PSSI Kota Semarang sebagai ketua harian. Lalu akhirnya ke PSIS mulai dari psikolog sampai akhirnya menjadi General Manager pada 2013. Kemudian pernah di PSSI di Komite Pemilihan pada 2015.
Terus sampai hari ini saya masih aktif di Unika FC. Lalu memberikan beberapa kali pelatihan psikologi di klub. Beberapa pelatih senior tahu kebutuhan pemain tidak hanya fisik dan teknik tapi juga mental. Salah satu yang sadar misalnya Pak Sartono Anwar. Lalu kami dengan Pak Sartono Anwar bikin kurikulum untuk Sekolah Sepakbola (SSB).
Mengapa kurikulum SSB, tidak lainnya?
Karena seharusnya sepak bola kita dibangun dari sana. Ya fisik, ya teknik, ya mental juga, begitu ya. Kurikulum itu seharusnya dikembangkan oleh PSSI, lalu semua pelatih SSB seharusnya punya bekal itu. Nah, kalau mau membangun sepak bola harusnya dari dasar. Mulai dari fair play di lapangan, menghargai wasit, semua nilai-nilai sportivitas seharusnya dibangun sejak kecil di SSB itu.
Saya contohkan, ya, di kurikulum SSB itu pada aspek mental saya berikan materi game dibagi dua kelompok. Lalu pelatih menjadi wasit. Kemudian dengan sengaja pelatih membuat kesalahan keputusan. Bagaimanakah reaksi anak-anak?
Kalau dia protes keras maka game segera dihentikan dan diberitahu. Apa pun keputusan wasit di lapangan, kamu harus hormati, seburuk apa pun. Nah jika sering dilatih begitu, akhirnya dia terbiasa.
Ketika ada pelanggaran misalnya, bikin pelanggaran tackling dan sebagainya, kamu harus langsung mendekati pemain yang kamu langgar. Kasih salam lalu bantu dibangunkan. Itu yang tidak bisa diajarkan di level senior.
Pernah bekerjasama dengan pelatih siapa saja selain dengan Sartono Anwar?
Banyak. Ada Hanafing, Ahmad Muhariah, Bonggo Pribadi, Bambang Nurdiansyah, Edi Paryono, Cornelis Sutadi, Eko Purjianto.
Ada perbedaan menangani psikologi pemain dan manajemen tim secara keseluruhan?
Background saya psikologi. Menangani psikologi tentu saya fokus ke aspek mental. Ketika jadi General Manager PSIS ya juga sama, hanya menjadi lebih luas. Semisal gaya manajemen, saya coba membuatnya seprofesional mungkin.
Seorang GM tidak akan ikut campur secara teknis dan detail. Jadi misalnya waktu pelatih memilih pemain saat seleksi, saya tidak ikut campur. Tak ada satu pun yang saya titipkan ke pelatih, meskipun banyak pemain yang kontak saya.
Saya hanya minta setelah selesai semua, tolong presentasikan ke kami. Kenapa memilih pemain ini, kekuatannya apa, kelebihannya apa. Resiko cedera ada enggak dan sebagainya.
Kalau pelatih menjelaskan dan oke, ya sudah kami nego. Kemudian manajer, saya tidak pernah ikut campur garis besarnya harus seperti apa. Yang penting terbuka, oke jalan. Manajer teknik misalnya, ya, sudah urusan teknik dia yang pegang. Saya tidak mempengaruhi.
Sewaktu pertandingan, saya berusaha untuk tidak mempengaruhi pergantian pemain. Saya hanya minta paparan dari pelatih sebelum dan sesudah main. Sejauh itu bisa dipertanggungjawabkan, itu kebebasan pelatih.
Isu pengaturan skor sedang mengemuka. Bisa cerita apa saja yang terkait pengaturan skor ini dalam kacamata Anda. Baik pengalaman sebagai psikolog tim, GM maupun sekarang sebagai orang yang berada di luar sistem?
Juventus itu pada 2005 gelarnya dicabut terus turun ke kasta B karena pengaturan skor. Jadi kalau mau dibilang di level itu pun ada, berarti kemungkinan besar di Indonesia juga ada, ya kan. Itu nomor 1, poinnya saya pikir yang paling penting seperti itu.
Maka jawaban saya sangat mungkin, itu yang pertama. Perbedaannya adalah kalau di Italia diusut, sampai diberikan vonis kepada Juventus bahkan gelar dicabut turun ke B.
Nah di sini, kayaknya tidak akan sampai pada penuntasan kasus. Ya, akan selesai menguap. Nanti ganti musim baru ya orang-orang akan lupa. Kenapa? Ya, ini karena sikap federasi. Federasi tidak punya keinginan yang kuat untuk membereskan ini. Kalau Federasi memiliki keinginan yang kuat, saya yakin sangat mudah.
Sangat mudah, meskipun berbau tapi tidak tampak, saya pikir bisa. Wong kasus korupsi yang begitu saja bisa. Tentu ini jujur lebih sederhana dari misalnya e-KTP.
Entah kalau federasi memiliki keinginan kuat, tunjukkan sajalah kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri, oke, pasti. Cuma keinginan itu ada atau tidak, saya tidak tahu.
Mengapa?
Kalau saya lihat, orang-orang di federasi memiliki kepentingan di luar memajukan sepak bola. Selama federasi diisi oleh orang-orang yang punya kepentingan selain memajukan sepakbola secara murni, ya, tak akan pernah bisa.
Pasti ada konflik kepentingan (Ferdinand membeberkan penilaiannya mengenai kepemilikan atau kepengurusan klub yang dia minta sebagai off the record- Red). Lalu saya membayangkan kalau Liverpool tidak pernah ada urusan sama FA. Pemilik Arsenal juga tak pernah jadi pengurus FA. Jadi ya penak. Maka ketika FIGC mendengar ada suap skor, ya, kena Juventus. Karena Juventus menerima ketika terbukti, selesai.
Bagaimana pengaturan skor dari sudut pandang psikologi?
Kalau dari kacamata sebagai seorang psikolog olahraga, indikator perilakunya sangat jelas. Contoh pemain PSMP yang menendang penalti itu. Kelas pemain Liga 2 nendang seperti itu, tidak bisa bohong. Mungkin, seharusnya dia kena tiang. Tapi mengenai tiang kan susah, risikonya lebih susah.
Ya saya memaklumi kalau orang atau penonton berpersepsi liar dong, tidak salah. Terus sujud lho, aneh lho itu, biasanya sujud kalau gol.
Saya pernah dibully di Instagram-nya Liga Indonesia sewaktu dua tim bertanding. Saya menonton secara langsung di stadion. salah satu tim terancam degradasi. Sebuah tim dengan posisi di zona degradasi pasti akan menunjukkan kengototan tapi saya tidak melihat itu.
Ekspresi wajah dan perilaku pemain selama 90 menit apa dibuat-buat? Jadi kacamata orang psikologi yang belajar perilaku ya sangat mudah sebenarnya.
Selama ini pemain A tampil selalu baik, bagus performanya tapi tiba-tiba kok berubah. Kondisi fisiknya tidak ada masalah, misal tidak cedera. Kenapa saya berani mengatakan tidak cedera? Pelatih kan menurunkan, pasti sudah konfirmasi kondisi fit. Tiba-tiba kok perilaku bermainnya berubah. Lha wajar dong misalnya pelatih atau manajer, bahkan mungkin suporter menduga-duga sesuatu yang wajar.
Jadi saya tidak menggunakan kata-kata atau verbal untuk membuktikannya. Kata-kata yang keluar dari mulut pemain, pasti membantah. Tapi kalau dari perilaku, analisis dari video saja bisa.
Pengalaman saya, dulu waktu jadi GM pernah memecat pemain senior yang saya sangat yakin terlibat pengaturan skor. Meski saya tidak bisa membuktikan langsung melalui pembuktian formal, begitu ya, tapi waktu itu saya bisa mengambil keputusan karena feeling saya kala itu ada.
Saya tidak bisa membuktikan hingga akhir. Jujur energinya tidak cukup. Apakah nanti akan direspons juga atau tidak, rugi saya dari sisi waktu dan tenaga. Lebih baik saya menyelesaikan kompetisi saja.
Waktu itu keputusan saya ambil dari analisis perilaku. Selama ini dalam latihan, di pertandingan-pertandingan sebelumnya, tidak pernah seperti itu. Tiba-tiba kok terjadi perubahan perilaku. Lha kata kuncinya adalah ada perubahan perilaku di lapangan.
Kalau Anda sendiri pernah melihat, merasakan mendengar atau mengalami permintaan terkait pengaturan skor?
Sering, dulu waktu jadi GM PSIS sudah sering. Salah satunya saya tidak perlu sebutkan timnya. Saat itu posisi mereka sedang butuh uang. Permintaannya to the point, kok.
Bilangnya bagaimana? Apa yang dibilang?
Sudah langsung bilang, kok, 'Rp 60 juta berikan, kami kasih 3 poin. Karena tim kami juga butuh dana untuk gaji, untuk macam-macam.'
Selesai. Tinggal saya mau atau tidak. Saya bilang tidak.
Orang ini SMS mengaku manajer tim A. Apakah itu betul manajer A? Sekarang begini ini dengan mudah bisa dilacak. Sehingga kalau mau mengusut saya pikir mudah. Melalui nomor dan basis data saya pikir mudah. Mungkin saja seorang manajer juga tidak akan bicara langsung. Meski punya keinginan mereka harus hati-hati.
Bisa juga menggunakan perantara?
Ya-lah, pastilah. Bisa menggunakan orang lain yang tidak masuk dalam (manajemen) tim sangat mungkin.
Apakah modus pertama pengaturan skor ini adalah uang?
Sangat. Waktu itu PSIS butuh juara grup karena ingin terhindar dari grupnya Persebaya. Sedangkan di atas saya ada lawan yang sangat berat. Ada tim yang sudah aman, tidak mungkin turun ke Liga 3 waktu itu tapi tak mungkin lolos ke 8 besar Liga 2.
Kalau saya butuh 3 poin, saya tinggal bilang ya, lalu saya bilang nevermind. Kalau cara begini saya menuruti, pemain tidak perlu latihan. Gunanya latihan kemarin untuk apa? Jadi apa pun hasilnya ya sudah mainkan hasil latihan Anda. Sehingga hasilnya bisa juara grup, gitu.
Suara-suara beberapa orang waktu itu: kan sudah telanjur basah, Pak Ferdinand. Kalau enggak kamu ambil dan lain-lain, sulit ini. Ya tidak apa-apa! Ada orang di PSIS yang bilang ke saya ini ditawari. Saya bilang tidak. Kalau PSIS tidak lolos, saya tidak bisa jadi General Manager (GM) yang meloloskan ke Liga Super, ya sudah!
Ada yang bilang modusnya untuk judi. Pernah ada bandar yang mendekati begitu untuk mengatur skor?
Secara langsung yang terkait langsung dengan saya, belum pernah. Tapi kalau orang berbicara ke saya: ya. Ketika di sebuah pertandingan PSIS lawan sebuah tim pada zaman saya GM, orang-orang pegang PSIS. Pastilah secara sejarah, performa, di babak sebelumnya dan lain-lain perbandingannya.
Tapi kalah tuh PSIS. Saya tidak bisa beranjak dari lapangan selama satu jam karena saya tidak percaya dengan hasil itu.
Jujur yang saya ceritakan tadi, saya memecat pemain ya gara-gara (suap) itu semua. Karena secara teknis, permainan, tidak boleh kalah. Gol-golnya, gol yang sangat mudah.
Nah, kalau seperti ini, apakah pengaturan skor dari tim lawan atau dari bandar saya tidak tahu. Tapi ada orang bilang bisa saja dari bandar. Kalau dari bandar, gede itu. Kan tidak lewat manajemen.
Itu langsung ke personal pemain. Dan jujur halus gitu ya, tidak seperti zaman berapa, Piala AFF tahun berapa? Tidak sekasar PSS melawan PSIS (sepak bola gajah).
Sebagai pemain belakang kena pelanggaran tidak harus dikenakan penalti, kok. Satu meter di garis penalti selesai. Itu tidak usah dilanggar tapi kalau dilanggar kan tidak kelihatan, susah.
Atau Anda buat satu jebakan offside, pemain tertinggal. Itu sesuatu yang normal kan? Ada empat pemain belakang, tertinggal 1 orang.
Tapi apakah itu by design atau tidak? Ketika dianalisis dari pertandingan-pertandingan sebelumnya, kalau sebelumnya dia tidak pernah melakukan hal seperti itu, tiba-tiba demikian atau pelatih tidak menginstruksikan strategi jebakan offside, saya meyakini ada.
Sewaktu memecat pemain yang dicurigai terkena suap, saat itu PSIS tidak butuh kemenangan?
Saat itu butuh karena itu pertandingan pertama di 8 besar. Secara itung-itungan teknis, macam-macam, kualitas pemain mohon maaf jauh. Kami optimistis karena babak pertama leading dulu, tiba-tiba di babak kedua terjadi perubahan.
Gol ke gawang PSIS super-mudah?
Nah saat itu kepada seseorang yang saya percaya (Ferdinand menyebut sebuah nama -Red), saya bilang nanti komunikasinya sama kamu. Saat itu saya tidak berangkat ke sana (kandang lawan) karena ada keperluan. Saya tak mungkin menghubungi manajer secara langsung agar dia fokus.
Nah ketika orang ini beri kabar sudah 2-0, saya bilang tolong sampaikan ke pelatih ganti pemain (Ferdinand menyebut sebuah nama dan posisi -Red). Ternyata terlambat, belum lagi disampaikan permintaan itu PSIS bahkan sudah kebobolan dua kali.
Sepulang dari sana, orang ini langsung telepon saya dari bandara. 'Pak Ferdi tidak nonton, tak ada siaran langsung, kok bisa tahu?' Saya bilang, 'Feeling itu, feeling.'
Ketika manajer sampai di Semarang, ya, bilang memang golnya (ke gawang PSIS) mudah semua.Ya, kalau itu diukur saat pas latihan, tak mungkin gol. Tendangan jarak jauh yang sangat mudah diantisipasi.
Apakah Anda melakukan klarifikasi kepada pemain yang dicurigai?
Tidak. Kalau saya basisnya perilaku karena secara verbal orang akan mengatakan tidak. Psikolog kalau melakukan analisa perubahan perilaku ini kan jelas. Orang punya niat tertentu, lalu perilakunya dilihat.
Ketika niatnya berubah, perilakunya sudah berbeda. Bahwa misalnya saya menguak fakta di musim berikutnya, pemain pindah klub dan ternyata (suap) itubenar. Bisa diberi sesuatu. Berarti dulu analisis saya tidak salah.
Saat itu langsung memutuskan memecat atau konsultasi dulu dengan pengurus yang lain?
Dengan manajer saya (konsultasi). Waktu itu manajer kan ikut ke lapangan, karena waktu itu saya tidak ikut.
Golnya itu terlalu mudah. Ya sudah menguatkan asumsi saya. Karena saya tahu betul karena saya hampir setiap hari di lapangan melihat latihan. Kualitas si A kalau seperti ini ya tidaklah.
Contoh ya, kalau yang akhir-akhir ini bisa dibilang paling konyol, pemain PSMP Mojokerto itu. Sekelas Liga 2 lho, itu pemain Liga 3 saja tidak begitu. Jadi begitu kan, gampang sekali kan. Perubahan niat, pasti menimbulkan perubahan perilaku.
Mungkin kalau dengan klarifikasi semakin ketahuan. Misal dia menjawab gugup atau grogi...
Saya sudah mengantisipasi pasti akan ada defense, dengan segala macam. Terus bisa-bisa nanti seluruh tim menjadi kacau. Saya pikir orang-orang bola di Indonesia, manajer-manajer tim bola di Indonesia hafal aroma seperti itu. Saya yakin. Si A begitu, si B begitu, si C begitu. Ketika mau mengontrak dan sebagainya.
Berarti di kalangan manajer sebenarnya ada semacam inventori atau ada data mengenai pemain yang mudah disuap?
Tidak ada list tertulis tapi mereka tahu (Ferdinand terkekeh menjawab pertanyaan ini -Red).
Apakah di dalamnya termasuk daftar pemain timnas di zaman Anda jadi GM?
Tidak ada. Jadi waktu itu saya mendengar informasi tentang si A, si B, dari manajer sebelumnya.Ya, saya yakinlah para manajer pasti tahu kalau sudah lama berkecimpung di situ.
Kalau dari posisi pemain, pemain mana yang paling mudah atau yang gampang disuap? Atau kalau misal saya bandar judi, saya harus menyuap siapa?
Kalau pengalaman saya, kiper dan pemain belakang karena yang paling mudah itu. Meski tidak menutup kemungkinan pemain depan ada
Pemain depan? Ordernya bagaimana?
Peluang manis pun bisa digagalkan jadi gol. Paling mudah pemain belakang. Jujur, halus sih. Pemain belakang ini halus, bikin pelanggaran di menit-menit terakhir.
Apakah pelanggaran tersebut tidak harus di kotak penalti?
Tidak harus. Tadi kan yang ditembak pemain belakang dan kiper. Karena jujur mereka akan semakin pintar juga mainnya. Kedua karena offside, ini paling halus. Karena yang namanya offside salah sering terjadi.
Apakah dalam pengaturan skor seperti ini perangkat pertandingan bisa terlibat? Atau mungkin sama sekali tidak terlibat?
Kalau dugaan saya pasti, kerja sama kedua belah pihak.
Berarti kalau hanya pemain yang mendapat order akan sulit?
Kemungkinan berhasil akan lebih kuat kalau melibatkan perangkat. Soal perangkat ini sudah cukup hangat. Itu bukan isu, sering kali itu jelas banget. Jelas banget. Tidak bisa dipungkiri, kita melihat fakta.
Seperti kasus Mojokerto, jika PSSI memiliki niat kuat untuk menegakkan semua ini, langsung saja ngapain menunggu pengaduan. Jelas itulah. Wong sudah viral kayak gitu.
Mana yang lebih mudah disuap? Pemain asing atau pemain lokal yang Anda dengar?
Asumsinya, konon pemain asing lebih mudah.
Kenapa pemain asing?
Ya, kan mereka mencari nafkah di negeri orang, macam-macam, dan lain sebagainya. Tapi itu kan hanya apa ya, semacam dugaan bahwa semua pemain memiliki potensi. Tentu masing-masing memiliki karakter integritas yang berbeda-beda.
Katakanlah orang yang memiliki keinginan menyuap pasti sudah bisa memetakan siapa yang gampang. Kelihatan kok, dari cara bermain dan komitmennya, dan sebagainya.
Jujur salah satu yang disorot mengenai hedonisme pemain profesional itu sejak dulu. Sejak liga profesional. Tidak banyak pemain yang mampu mengatur keuangan dengan baik dan seterusnya.
Kita tadi sudah petakan, ya... Jadi siapa para pelaku pengaturan skor ini?
Pertama, pemain. Diperbesar peluangnya dengan melibatkan perangkat.
Berarti juga bukan cuma pengurus atau pengelola klub, juga bisa bandar?
Bisa jadi, ya. Karena dia akan mendapat keuntungan kecil, jika hasilnya terbalik kan luar biasa.
Ini pertanyaan yang paling penting, apakah pengurus PSSI juga terlibat dengan hal-hal seperti ini?
Kalau terlibat langsung bisa jadi tidak. Tetapi kenapa lalu tidak melakukan tindak lanjut membersihkan menangani dugaan kasus seperti ini? Karena ada kepentingan masing-masing. Tidak bebas kepentingan.
Jujur saja, misal ya, saya diberi petuah Pak Jonan (Menteri ESDM Ignasius Jonan): jadi pemimpin itu paling gampang itu ketika tidak punya kepentingan apa pun. Tidak punya kepentingan apa pun.
Maka bebas, beliau mengeksekusi Freeport pun santai saja, wong gak punya kepentingan. Lalu ketika sudah memiliki kepentingan, sudah tidak bisa menjadi pemimpin, sudah tidak bisa melawan apa pun.
Saya dulu misalnya sewaktu masih menjadi ketua harian PSSI Kota Semarang, tidak akan menangani teknis pertandingan. Saya tidak akan duduk di bench. Saya tidak akan menjadi manajer Unika FC.
Konyol lho, sewaktu Unika FC main, terus saya ketua harian langsung datang di pertandingan. Menunggui duduk di bench. Wasit saat pertandingan yang bayar Federasi, ya tetap tidak enak, tho?
Saya begitu saja sudah tahu. Maka waktu itu waktu saya menjadi ketua, ya, duduk di tribun. Sekarang kan, de jure saya tidak tahu, ya, siapa di belakang tim apa (Ferdinand menyebut sejumlah nama dan klub yang diduga terkait dengan kepemilikan oleh nama-nama itu -Red).
Mungkin klub dia tidak kena (pengaturan skor). Tapi ketika dia bertindak tegas ke klub lain, suatu hari akan muncul pertanyaan, 'Kok, klubmu tidak disentuh?'
Kemarin Sekjen PSSI kan bilang, kalau masyarakat melihat ya laporkan. Berarti kan tidak ada inisiatif kuat. Lho itu tidak usah dilaporkan, di video viral begitu (penendang penalti PSMP) masak tidak diusut. Ini iktikad baik, membersihkan kepercayaan. Kompetisi kita itu baru heboh di hore-horenya tapi belum di aspek prestasi.
Ada tidak kemungkinan atau peluang pelatih terlibat dalam pengaturan skor?
Kalau bicara kemungkinan tidak menutup kemungkinan. Bahkan saya juga dulu saat menjadi General Manager dapat info macam-macam. Kalau si pelatih A pasti nanti kalau mengontrak pemain ada deal-dealan dengan pemain di belakang meja, dengan pemainnya.
Maka ketika saya menjadi GM saya minta pelatih presentasi, kenapa memilih A. Relevansinya apa dengan strategi yang Anda pakai? Kelebihan dia apa? Pelatih bisa menjelaskan pemain multifungsi, oke.
Lalu saya juga melihat pelajaran harga yang ditawarkan. Kalau terlalu tinggi dengan standar yang ada, saya lihat kualitasnya masuk akal, okelah. Tapi kalau sudah tidak normal atau belum melihat atau bahkan tidak dites dulu, pelatih langsung beri rekomendasi, harga juga tidak normal. Itu mulai dari rekrutmen kebutuhan tim. Tidak mudah. Tidak mudah.
Berarti sudah lengkap, ya dari pemain hingga pelatih. Pengurus klub tadi juga sudah Anda ceritakan, ada yang membuka harga Rp 60 juta jaminan PSIS menang. Sebenarnya berapa kisaran nominalnya suap ini?
Saya tidak tahu, semakin tinggi levelnya semakin mahal. Itu kan di tahun 2013. Tahun 2013 itu dengan posisi PSIS di Divisi Utama. Waktu itu kan Liga Super yang tertinggi. Anda bisa membayangkan biaya untuk naik kasta itu kan beberapa puluh miliar rupiah. Ya, wajarlah.
Sekarang ini kasus di Liga 2 saya pikir terlalu banyak, ya. Kasus Sleman melawan Madura FC, saya menontonnya. Mungkin ada 5-6 keputusan yang super konyol. Wasit tidak boleh takut dengan suporter.
Saya di tahun ini di Liga 3 (bersama Unika FC) merasakan lebih parah. Semakin turun levelnya, semakin parah kondisinya.
Jadi ya sampai di level saya bermain di Liga 3 pun, wow, ha-ha-ha. Betapa beratnya. Saya kemarin mengandalkan pemain-pemain yang skillful saja tidak bisa.
Pemain saya adalah mahasiswa-mahasiswa olahraga yang memiliki teknik dan fisik. Kami (Unika FC) pernah kena injury time lama sekali, ya itulah situasinya.
Semua berasal, bersumber dari federasi. Federasi diisi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan personal klub lalu punya kepentingan lain di luar sepak bola. Mohon maaf, selama itu terjadi tidak akan pernah berubah.
Kalau tidak ada kehendak baik dari Federasi, kita akan sia-sia berbicara tentang mekanisme menghilangkan pengaturan skor?
Sangat sia-sia, karena anggota-anggota PSSI ini kan anggota federasi semua. Yang namanya Kongres Luar Biasa kan bisa diajukan ke anggota.
Publik itu punya suara di mana? Saya tidak tahu. Mungkin satu cara terbaik ketika kemarin momen PSSI dibekukan. Tidak ada cara lain (Ferdinand membicarakan mengenai induk organisasi olahraga lain yang ditengarai terjangkit masalah sama -Red).
Jadi jujur, dengan beberapa penggila bola dan pengamat bola terus kita ini mau bagaimana? Wong suara anggota yang punya hak untuk mengusulkan reformasi atau KLB. Notabene yang kita bicarakan semua ini anggota PSSI. Ya, sudah. Ha-ha-ha...
Setelah pengalaman-pengalaman tadi, ada tidak upaya preventif yang bisa dilakukan pengelola klub untuk membentengi pemain agar tidak terkena pengaturan skor ini?
Kalau saya dari SSB, SSB jujur hingga hari ini hanya mendidik teknik, mendidik fisik tapi tidak pernah mendidik tentang mental. Sportivitas, fairplay tidak pernah digarap sama sekali.
Berbicara pembinaan dari usia dini cuma teknik dan fisik. Mental ini contohnya kan jujur ya, sudah terlihat sedari dini (Ferdinand menceritakan tentang pemain timnas U-16 yang dilihatnya berperilaku tidak profesional di dalam dan luar pertandingan sewaktu event tingkat provinsi -Red).
Kalau yang begini tidak dibekali mental dari awal, mohon maaf berat. Saya bisa memprediksi apa yang akan terjadi di kemudian hari dengan contoh kasus seperti tadi. Jadi aspek mental pemain itu tidak hanya soal kena suap atau tidak tapi masalah integritas.
Latihan tidak sekadar memenuhi kewajiban untuk latihan. Kalau sudah mencapai prestasi dengan tetap memiliki sifat rendah hati, itu berat banget.
Lalu yang terakhir saat di usia 19-20 tahun, popularitas itu yang aspek paling menjatuhkan. Semua memuja-muja. Saya memaklumi karena kita haus prestasi tapi mereka belum siap untuk menerima itu.
Maka malam hari, mereka hanya buka Instagram berapa yang komen dan like. Ketika pagi latihan, mereka tidak berniat latihannya. Mereka memang masih mencari itu.
Jadi ya pembinaan secara komprehensif harus tapi kembali lagi apakah Federasi memikirkan ini. Saya masih ingat betul membaca berita Jepang baru mulai bangkit pada 1995. Semua berangkat dari Federasi yang bersih, Federasi yang berkomitmen.
Tahun 1995 Jepang belum apa-apa. Kita Liga Indonesia saja sejak 1994. Jadi kadang saya ditanya mantan pemain, "Bos, masih terus ingin di bola?" Ha-ha-ha, separuh jiwa saya sudah di bola. Tapi melihat realitasnya saya sendiri heran. Sia-sia tidak ya kerjanya, duitnya.
Ada yang mengejar-ngejar saya untuk membuat akademi (sepak bola) yang benar. Aduh, situasi kayak begini kan semua ditentukan oleh Federasi. Federasi harus menegakkan integritas dulu. Ini belum ngomong suporter, lho, baru ngomongi Federasi. (tribunjateng.com/abduh imanulhaq)