Letusan Gunung Krakatau 1883 Setara dengan 21 Ribu Bom Atom, Lebih dari 36 Ribu Nyawa Jadi Tumbal,
Gunung Anak Krakatau kembali menjadi sorotan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya tsunami Banten pada Sabtu (22/12) kemarin.
Seorang pengamat di rumahnya di Bogor, pada tanggal 26 Agustus pukul satu siang mendengar suara gemuruh yang tadinya dikiranya suara guntur di tempat jauh.
Setelah pukul setengah tiga siang mulai terdengar letupan pendek, sehingga ia mulai yakin bahwa kegaduhan itu berasal dari kegiatan Krakatau.
Lebih-lebih sebab suara berasal dari arah barat laut barat.
Juga di Batavia gemuruh itu dapat didengar, juga di Anyer, sedang di Serang dan Bandung mulai pukul tiga.
Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan pengalaman pribadinya.
Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa dunia akan kiamat saat itu.

***
Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai sersan pada Batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya diperintahkan bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa.
Cuaca terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan mulai menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh butiran-butiran es.
Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat. Tampaknya seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan letupan-letupan, sehingga orang pun tahu bahwa itu bukan badai halilintar biasa.
Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat kepada Gunung Krakatau yang sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah istirahat sclama dua abad.
Mereka mengirim kawat kepada koresponden di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah.
Jawabnya tiba dengan cepat:
'Di sini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan sendiri.' Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer.’
Pukul lima sore gemuruh itu makin menghebat, tanpa terlihat kilat. Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam-berat.