Forum Guru
OPINI Udi Utomo: Belajar Pendidikan Kebencanaan dari Jepang
Kita sepakat perlunya pendidikan kebencanaan. Presiden Jokowi pun telah memerintahkan Mendikbud
Oleh Udi Utomo SS MPd
Guru SMP 5 Pati, alumnus Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
TRIBUNJATENG.COM -- Kita sepakat perlunya pendidikan kebencanaan. Presiden Jokowi pun telah memerintahkan Mendikbud, Muhadjir Effendy untuk memasukan pendidikan kebencanaan dalam kurikulum.
Lalu bagaimana sebaiknya pendidikan kebencanaan itu diajarkan. Selama ini, bayangan kita kalau masuk kurikulum berarti menjadi mata pelajaran.
Mata pelajaran yang berisi tentang teori-teori kebencanaan dan ujungnya siswa akan diuji dengan tes. Pendapat seperti ini tidak keliru karena secara umum pembelajaran hanya dimaknai dengan menghafal fakta-fakta dan konsep-konsep.
Jika konsepnya seperti itu, maka memasukan pendidikan kebencanaan ke dalam kurikulum menjadi tidak tepat. Pendidikan kebencanaan bukanlah pelajaran berwujud teori tentang kebencanaan. Tetapi pendidikan yang bertujuan pada kebutuhan praktis atau untuk dipraktikan sebagai upaya menghadapi bencana. Jadi bukan pendidikan tentang teori kebencanaan.
Ada baiknya, kita dapat belajar dari negara lain yang telah berhasil dalam menerapkan pendidikan kebencanaan. Belajar bagaimana mereka mengajarkan kebencanaan. Salah satu negara yang telah berhasil menerapkan pendidikan kebencanaan adalah negara Jepang.
Seperti halnya Indonesia, Jepang merupakan negara dengan wilayah yang rawan bencana. Tetapi yang membedakan dengan kita adalah kesiapan Jepang dalam menghadapi bencana. Jepang sering dilanda bencana tetapi mereka dapat meminimalisir risiko jatuhnya korban.
Bagaimana Jepang mengajarkan pendidikan kebencanaan. Sehingga masyarakatnya mampu siaga menghadapi bencana. Menarik menyimak buku “Amazing Japan” karya Weedy Koshino terbitan Kompas. Dalam buku tersebut mengupas keunikan pembelajaran di persekolahan Jepang. Pada salah satu bagiannya menceritakan tentang bagaimana mengajarkan tanggap bencana pada anak.
Dari buku tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan kebencaan di Jepang bukan menjadi mata pelajaran tersendiri tetapi include dalam semua mata pelajaran. Mengapa cara ini dapat berjalan. Ini karena sistem pendidikan Jepang memberi penuh pada sekolah dan guru untuk mengembangkan kurikulum nasionalnya dengan disesuaikan konteks dan kebutuhan masing-masing sekolah.
Maka pendidikan kebencanaan di Jepang bukanlah pendidikan tentang teori kebencanaan tetapi lebih menjadi budaya sekolah. Budaya sekolah merupakan suatu nilai-nilai yang dilakukan dan sudah menjadi kebiasaan dari seluruh warga sekolah.
Karena sudah menjadi budaya sekolah maka pendidikan kebencanaan sudah menjadi bagian dari seluruh kegiatan persekolahan. Misal di dalam kalender akademik sekolah sudah ada jadwal hinan kunren atau latihan penyelamatan diri saat bencana. Jadwal latihan ini dilakukan setiap bulan sekali. Latihannya berupa simulasi ketika menghadapi bencana.
Contoh simulasinya, ketika merasakan guncangan gempa, siswa diajarkan untuk segera memakai bousai zukin(pelindung kepala) lalu berlindung di bawah meja dan menuju ke tempat terbuka. Siswa diajarkan empat prinsip O-HA-SHI-MO. Prinsip tersebut adalah Osanai (jangan dorong-dorongan), Hashiranai (jangan lari), shaberanai (jangan ngobrol), dan modoanai (jangan kembali). Simulasi juga melibatkan orang tua dalam kegiatan hiki watashi kunren yaitu suatu kegiatan serah terima murid, dari sekolah (wali kelas) kepada orang tua saat terjadi bencana (Koshino, 2018).
Pelatihan-pelatihan ini yang menyebabkan siswa Jepang sangat siap ketika menghadapi bencana. Walaupun mereka masih anak-anak tetapi mereka bersikap tenang dan tanpa kecemasan atau panik. Siswa Jepang tidak hanya memiliki pengetahuan tentang bencana saja tetapi tanggap bencana sudah menjadi sikap dan perilaku sehari-hari. Tanggap bencana sudah menjadi budaya mereka.
Sedang kelemahan di pendidikan kita. Kurikulumnya terpusat. Sementara sekolah dan guru tidak diberi ruang dalam mengembangkan kurikulum. Sehingga sekolah dan guru tidak memiliki sikap otonom. Guru selalu bekerja berdasarkan intruksi birokrasi atau saklek hanya mendasarkan pada kurikulum yang tertulis.