Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

KISAH NYATA: Hacker Asal Wonosobo yang Mendunia Dimulai dari Warnet

Kisah hidup Tyovan dilatarbelakangi oleh kemiskinan dan cita-cita yang tinggi untuk membahagiakan kedua orangtuanya.

Penulis: faisal affan | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUN JATENG/HERMAWAN HANDAKA
Haker Tobat dan kini menjadi CEO Bahaso, Tyovan Ari Widagdo 

TRIBUNJATENG.COM -- Tyovan Ari Widagdo. Mungkin nama tersebut asing bagi sebagian orang. Mantan peretas asal Wonosobo, Jawa Tengah ini ternyata memiliki cerita kehidupan yang sangat menyayat hati sekaligus menginspirasi.

Kisah hidup Tyovan dilatarbelakangi oleh kemiskinan dan cita-cita yang tinggi untuk membahagiakan kedua orangtuanya. Namun cara yang dilakukannya bisa bikin orang geram.

Tyovan muda adalah seorang peretas yang kini tobat.

Ceritanya bermula saat ia kerap berbincang dengan orang Amerika melalui Yahoo Massanger. Karena hidup di era jaya-jayanya warnet (warung internet), hampir sepekan dua hingga tiga kali ia mengunjungi tempat tersebut.

"Padahal saat berada di warnet betah sampai enam jam. Tarif per jam Rp 7 ribu. Tapi uang saku per hari hanya Rp 5 ribu. Mau enggak mau saya harus cari akal," ujar pria yang suka main gim ding dong ini.

Akalnya licik tapi bermanfaat. Berbekal belajar dari buku di perpustakaan dan dunia maya, Tyovan menciptakan sebuah aplikasi (tools) peretas.

Cara kerja aplikasi tersebut untuk mereset waktu penggunaan komputer menjadi nol lagi.

"Jadi aplikasi tersebut saya gunakan setelah penggunaan enam jam. Setelah itu saya gunakan satu jam.

Jadi saya cukup bayar satu jam saja. Kebetulan karena di Wonosobo warnet hanya ada dua, jadi tempat tersebut selalu ramai.

Jadi perilaku saya tidak dicurigai penjaga warnet," paparnya saat jadi narasumber di program Mata Najwa On Stage di Boyolali beberapa waktu lalu.

Seketika, Tyovan mendapat wejangan dari Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo yang juga menjadi narasumber.

Ganjar berharap Tyovan bisa kembali ke warnet tersebut dan mengembalikan uang kerugian yang dilakukan oleh Tyovan dahulu.

"Inginnya juga saya kembalikan pak. Tapi sekarang warnetnya sudah tutup. Coba nanti saya cari tahu," jawabnya di hadapan Ganjar.

Tyovan melanjutkan kisahnya. Dua tahun menjadi peretas, Tyovan akhirnya bosan.

Ia beralih menjadi pengusaha di bidang teknologi informasi. Di usia 16 tahun, ia mendirikan perusahaan yang ia beri nama Vemobo.

Namun ketika ingin masuk SMA, kedua orangtuanya tak mampu untuk membayar biaya sekolah.

Wajar saja, karena ayah dan ibu Tyovan hanya penjual kupat tahu dan toko kelontong di pinggir jalan di Wonosobo. Lantas, Tyovan bersama kedua orangtuanya merantau ke Jakarta.

Di sana mereka bertiga bekerja di sebuah pabrik percetakan dan tinggal di mess yang disediakan perusahaan.

Ada cerita miris ketika di suatu pagi Tyovan mengeluarkan motor milik bosnya.

Ia melihat segerombol siswa SMA yang sedang berjalan menuju ke sekolahnya. Seketika dalam pikirannya terbesit pertanyaan.

'Mengapa mereka bisa sekolah sedangkan saya tidak?' tanyanya dalam hati.

Lalu usai memanaskan mesin motor milik bosnya, ia beranjak ke kamar untuk menemui ibunya.

Tak banyak basa basi, Tyovan langsung bertanya kepada ibunya.

"Bu, mengapa orang lain bisa sekolah sedangkan saya tidak?," ucap Tyovan.

Pertanyaannya tak dijawab oleh sang ibu, dan hanya dibalas dengan usapan tangan ke kepala Tyovan, lantas ibunya meninggalkan kamar tanpa sepatah kata pun.

Tyovan mengatakan seketika hatinya seperti tersayat.

Dari raut wajahnya, Tyovan bisa menggambarkan betapa sedihnya sang ibu mendengar pertanyaan yang baru saja ia lontarkan.

"Detik itu juga saya berjanji kepada diri sendiri. Jika suatu saat nanti saya memiliki rezeki, saya akan membuat sekolah gratis untuk anak yang kurang mampu," terangnya.

Karena dirasa sudah cukup memiliki biaya, Tyovan pulang ke kampung halaman dan mendaftar sebagai siswa di SMA N 1 Wonosobo. Kenakalan remajanya ternyata belum hilang dari dirinya.

Selama dua minggu dia tidak boleh mengakses laboratorium komputer.

Penyebabnya adalah virus yang dia buat yang akhirnya tersebar di seluruh komputer sekolah.

"Virus ini bisa mengubah nama folder dari komputer yang terinfeksi menjadi nama-nama mata pelajaran.

Seperti matematika, fisika, dan lainnya. Tapi saya juga buat antivirusnya untuk pelajar yang membutuhkan," jelasnya.

Angan-angannya untuk menciptakan situs yang khusus mengulas tentang Wonosobo ia ciptakan saat bersekolah di sini.

Hal ini dilatarbelakangi karena sedikitnya informasi tentang Wonosobo yang ada di dunia maya. Adapun hanya sebagian kecil.

Karena tak bisa mengakses laboratorium komputer sekolah, akhirnya dia cari akal dengan menjadi pengurus klub broadcasting yang baru saja dirikan oleh pihak sekolah.

Tyovan lantas mengikuti pelatihan selama tiga hari dan mengikuti lomba menjadi penyiar.

"Saya berhasil menjadi juara saat itu. Otomatis saya dipasrahi untuk memegang kunci ruangan tersebut. Ini jalan Tuhan," imbuhnya.

Kemudian ia mengerjakan website yang ia beri nama Wonosobo.com. Tapi Tyovan harus rela memecah celengan untuk membeli domain.

Selama dua bulan ia mengerjakan desainnya. Tak jarang ia terpaksa menginap di sekolah.

Masalah berikutnya adalah database. Karena situs ini berisi tentang kota dan pariwisata di Wonosobo, maka semua data hanya bisa diperoleh dari pemerintah daerah. Jadi setiap pulang sekolah ia mendatangi dinas setempat. Namun semuanya menolak.

"Akhirnya saya bertemu dengan seorang humas. Saya ajak ngobrol dan dia mau membantu saya untuk mendapatkan data-data tentang Kabupaten Wonosobo," katanya.

Tyovan meluncurkan situs Wonosobo.com di hadapan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Acara peluncuran berlangsung ketika ia sedang menghadapi masa ujian semester. Ia datang dengan seragam sekolah. Esok harinya nama Tyovan terpampang di surat kabar setempat.

"Bapak ibu guru saya kaget. Karena di sekolah saya dikenal murid yang bandel dan sering terlambat masuk kelas," imbuhnya.

Portal tersebut sukses dan banyak yang mengakses. Harapannya terwujud. Karena ia ingin penduduk dataran tinggi Dieng Wonosobo bisa mengolah potensi wisata. Bukan hanya mengandalkan pertanian saja.

Untuk operasional situs, Tyovan menawarkan iklan ke beberapa pengusaha di bidang pariwisata.

Alhasil, ada sebuah hotel dan restoran di Wonosobo yang mau beriklan senilai Rp 2 juta.

Kemudian banyak orang tertarik untuk dibuatkan website. Tarif yang ia berlakukan mulai dari Rp 1 hingga 3 juta.

Sejak saat itu hidup Tyovan tak lagi pas-pasan. Instansi pemerintah pun turut meminta bantuan kepada Tyovan untuk dibuatkan website.

Nilai proyeknya mencapai Rp 25 juta. Tentu bukan nilai yang kecil bagi siswa ini. Namun, Tyovan terkendala masalah administrasi karena harus memiliki badan usaha.

"Lalu saat itu saya coba pergi ke notaris untuk membuat perusahaan CV Vemobo yang bergerak di bidang perangkat lunak dan teknologi informasi.

Tapi yang saya dapatkan justru disuruh pulang untuk sekolah yang baik hingga bisa kuliah dan bekerja," imbuhnya.

Tak berkecil hati, Tyovan lalu datang ke notaris yang lain berbekal pakaian rapi berjas, serta bermodalkan KTP palsu yang ia buat sendiri. Karena usianya saat itu belum cukup untuk membuat CV.

Usahanya membuahkan hasil, CV Vemobo Citra Angkasa akhirnya resmi menjadi perusahaan pemegang proyek pembuatan website suatu instansi pemerintah.

"Setelah itu uangnya saya belikan laptop. Akhirnya saya punya cangkul sendiri," ucapnya.

Tyovan mendaftar di Universitas Bina Nusantara (Binus) di Jakarta Barat. Ia menilai kampus tersebut banyak anggota dari komunitas peretas bawah tanah.

"Tapi saat itu saya galau. Antara memilih kuliah atau melanjutkan bisnis di Yogyakarta. Akhirnya saya putuskan tetap kuliah sembari mengurus Vemobo," jelasnya.

Pilihannya tak salah. Tahun 2013 ia mendapatkan kesempatan berkompetisi di sebuah universitas di Amerika Serikat, Stanford.

Ia berhasil menyisihkan 38 perserta lain dari berbagai negara.

Selama dua bulan di sana, ia memanfaatkan untuk berkunjung ke Silicon Valley dan kantor pusat Google, sekaligus mencari jaringan.

Pulang dari Amerika, ia langsung ingin membuat sesuatu. "Menurut survei, orang yang bisa bahasa asing tingkat ekonominya naik 30%," katanya.

Ancaman dropout sudah di depan mata, karena dirinya selalu bolos kuliah. Tapi kemudian ia menciptakan aplikasi Bahaso pada 2015, yang sekaligus menjadi tugas akhir kuliahnya.

Perlu diketahui, Bahaso adalah aplikasi untuk belajar bahasa asing yang mudah, murah, dan cepat. Pangsa pasarnya anak muda usia 15 sampai 35 tahun.

Ia mengaku cukup terkejut ketika banyak penggunanya adalah Tenaga Kerja Indonesia yang ada di Dubai dan Hong Kong.

Ketika namanya masuk dalam daftar 30 Under 30 Forbes Asia, Tyovan mengatakan cukup kaget dan menganggapnya sebagai cobaan. Ia jadi terpacu untuk bekerja lebih baik lagi.

Saat ini, Tyovan sedang mengembangkan aplikasi pesan singkat yang ia beri nama HaiApp. Ia ingin aplikasi ini bisa mengalahkan WhatsApp dan menjadi aplikasi pesan singkat yang asli buatan Indonesia.(Faizal M Affan)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved