Jejak Peradaban Islam di Kota Tegal
Mushola Langgar Dhuwur di Tegal, Tempat Berkumpulnya Calon Jemaah Haji 200 Tahun Silam
Di Pesengkongan, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, berdiri mushola yang dikenal dengan Mushola Langgar Dhuwur
Penulis: Fajar Bahruddin Achmad | Editor: m nur huda
TRIBUNJATENG.COM, TEGAL - Kota Tegal mempunyai cerita tersendiri perihal perkembangan Islam di wilayah pesisir pantai utara.
Terletak di Pesengkongan, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, berdiri mushola berukuran sekira 8x12 meter per segi yang dikenal dengan Mushola Langgar Dhuwur.
Mushola itu dulunya adalah masjid. Tempat ibadah yang ditempati orang-orang Islam dari etnis Melayu.
Konon merupakan masjid yang cukup tua di Kota Tegal, berdiri pada 1820.
Kini tempat ibadah itu bernama Mushola Istiqomah.
Lokasinya dari jalur Pantura sekira 50 meter. Tepat di Jalan Mayjend S. Parman ada sebuah gang kecil bergapura yang bertulisakan "Pesengkongan Kawasan Bersejarah Awal Perkembangan Islam di Tegal."
Mushola tersebut berukuran kecil.
Hampir seutuhnya bagian dari Mushola Langgar Dhuwur berasal dari kayu.
Apabila menghitung usianya, peninggalan dari orang-orang Islam Melayu itu kini hampir berusia 200 tahun.
Helmi Saleh (60), pengurus Mushola Langgar Dhuwur mengatakan, perkampungan Pesengkongan dulunya menjadi tempat persinggahan berbagai etnis.

Lokasinya yang dekat dengan pelabuhan Tegal, menjadikan daerah itu sebagai tempat strategis para pendatang.
Mereka saling berkenalan, ada yang dari Sumatera, Kalimantan bahkan Gujarat India.
Kemudian Pesengkongan menjadi pusat ajaran Islam, khusunya wilayah Pantura.
"Mereka memperdalam Islam dengan berhaji. Dulu kan kalau hendak haji naiknya kapal laut. Jadi orang-orang dari Kabupaten Tegal dan Brebes kumpulnya di sini," kata Helmi saat ditemui tribunjateng.com, Selasa (7/5/2019).
Menurut cerita Helmi, kebanyakan orang menetap di Perkampungan Pesengkongan adalah orang-orang Melayu dari Sumatera.
Karena sering menjadi tempat persinggahan, lama-lama orang-orang Melayu itu menetap. Jadilah Persengkongan ini sebagai Kampung Melayu.
Lalu, mereka mendirikan masjid dengan gaya arsitektur orang Sumatera, berbentuk panggung.
Terdiri dari dua lantai. Ketika itu lantai satu digunakan untuk tempat menginap bagi yang menunggu kapal ke Mekkah. Lantai dua digunakan untuk menunaikan ibadah.

"Tapi sekarang kondisinya memperihatinkan. Dari awal berdiri belum pernah direnovasi. Masih utuh dari kayu, itu berbahaya sekali. Apalagi kayu-kayunya sudah mulai kropos," katanya.
Usia tuanya mushola ini juga dibuktikan dari kayu-kayu yang masih asli sejak awal pembangunannya.
Kayu yang digunakan dulunya adalah kayu bekas kapal yang sudah tidak digunakan lagi.
Ciri bangunan Melayu lainnya dapat dilihat dari pahatan lubang ventilasi pada pintu dan jendela mushola.

"Dulunya mushola ini masjid tertua di Kota Tegal. Digunakan juga untul sholat Jumat, tapi kemudian dibangun masjid yang lebih besar di sebelah selatan," jelasnya.
Sejarawan Pantura Wijanarto, membenarkan adanya perkampungan Melayu di Pesengkongan.
Menurutnya, dulunya Pesengkongan menjadi titik sumber mobilitas pelabuhan Tegal.
Lokasinya yang tidak jauh dari pelabuhan, menjadikan Pesengkongan menjadi wilayah bisnis.
"Jadi arus perniagaan waktu itu, Pelabuhan Tegal sama dengan Pelabuhan Cirebon dan Semarang. Menjadi pelabuhan beras, kayu jati, dan gula," ungkapnya.
Setelah muncur perniagaan, kemudian banyak orang yang berdatangan dan menggantungkan hidupnya di Pelabuhan Tegal.
Ada berbagai komunitas di Tegal saat itu, komunitas Melayu, Keling, Arab, China, dan Ambon.
Kemudian jadilah perkampungan multi etnis di Pesengkongan, ada Melayu, Keling, dan Ambon.
Karena dulu di area pelabuhan hanya terdapat hotel, munculah keinginan untuk membuat tempat transit.
Dibangunlah tempat transit sekaligus tempat ibadah berupa masjid.
"Arsitekturnya memang pengaruh kebudayaan Melayu. Struktur bangunannya yang berbentuk rumah panggung. Lalu terbuat dari kayu semua. Tapi saya tidak tahu, warna kuning yang disebut sebagai ciri Melayu tidak terlalu kentara," jelasnya.
Menurut Wijan, dinamakan Langgar Dhuwur karena konsep bangunannya yang berbetuk rumah paggung.
Hal menarik lain menurutnya, Mushola Langgar Dhuwur sempat digunakan sebagai kantor urusan agama sementara di Tegal.

Ia meragukan jika Kampung Pesengkongan menjadi cikal bakal penyebaran agama Islam di wilayah Pantura.
Wijan mengatakan, jejak peninggalan Islam yang cukup kuat adalah Mbah Panggung.
Mbah Panggung sering disebut sebagai tokoh penyebar Islam di wilayah Pantura.
Bukti kebradaannya sering dikaitkan dengan Suluk Malang Sumirang.
Usia batu bata yang menjadi makam Mbah Panggung diperkirakan berusia sekira abad ke 16 atau ke 17. Hampir seperti batu bata yang di makam Amangkurat I di Tegal Arum Kabupaten Tegal.
"Nah yang disayangkan, orang Melayu tidak mengenal candra sekala. Jika ada, dari simbol-simbol itu nantinya bisa melihat kira-kira mushola itu berdiri tahun kapan persisnya," jelasnya. (fba)