Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Nama Prof Eddy Jadi Trending Twitter, Ada Apa?

Tagar prof Eddy menjadi trending twitter hari ini , Sabtu (22/6/19). Hal tersebut terlihat dari timeline Twitter dengan tagar prof Eddy.

Penulis: Ardianti WS | Editor: abduh imanulhaq
YOUTUBE
Prof Eddy trending Twitter 

TRIBUNJATENG.COM- Tagar prof Eddy menjadi trending twitter hari ini , Sabtu (22/6/19).

Hal tersebut terlihat dari timeline Twitter dengan tagar prof Eddy.

Sebanyak 4600 cuitan netizen menggunakan tagar tersebut.

Seperti ini cuitan netizen:

@SatilaSuniya: Aku belum kenal sama prof Eddy tapi aku suka 2 bapak ini
Terimakasih untuk kuliah singkatnya, yang membuatku berfikir kenapa dlu ga ngambil jurusan hukum aja ya, geuning rame.

@Mr_RonyRaj: Gara-gara nonton Prof Eddy di sidang MK, saya posting pesan Gus Dur yang dikutip Prof Eddy "Kalau beda pendapat cukup di kerongkongan, jangan sampai di hati" Pesan sangat berarti bagi saya. #ProfEddy.

@raiamertha1: Prof Eddy memang ahlinya ahli. Terimakasih untuk kuliah malemnya prof.

@mirantira: sampai pen mewek aja saking terkesima sama prof eddy padahal gak paham apa yg diomongin wkwkwkwk.

@arif_sumono: Prof. Eddy OSH cocok masuk dalam kabinet pak @jokowi sebagai Jaksa Agung atau Ketua KPK, agar KPK tidak hanya jadi Komisi Pemberantasan tetapi lebih ke Komisi Penanggulangan/Pencegahan.

@jikkaix: Tadi malam nih para saksi ahli Alumni UGM pemikirannya badass semua

Diketahui,Guru Besar Ilmu Hukum UGM Edward Omar Sharif Hiariej menanggapi pernyataan Ketua Tim Hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto, yang mempertanyakan kredibilitasnya dalam memberikan keterangan sebagai ahli di Mahkamah Konstitusi.

Ahli hukum yang akrab disapa Eddy itu diajukan sebagi ahli oleh Tim Kuasa Hukum Pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di MK.

Bambang menanyakan berapa banyak buku dan jurnal internasional yang ditulis oleh Eddy terkait persoalan pemilu.

Eddy mengakui dirinya memang belum pernah menulis buku yang spesifik membahas soal pemilu.

Namun, ia menekankan seorang profesor atau guru besar bidang hukum harus menguasai asas dan teori untuk menjawab segala persoalan hukum.

"Saya selalu mengatakan, yang namanya seorang guru besar, seorang profesor hukum, yang pertama harus dikuasai itu bukan bidang ilmunya," ujar Eddy dalam sidang lanjutan sengketa hasil pilpres di gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat(21/6/2019).

"Tapi yang harus pertama harus dikuasai itu adalah asas dan teori. Karena dengan asas dan teori itu dia bisa menjawab semua persoalan hukum. Kendati memang saya belum pernah menulis secara spesifik soal pemilu," ucapnya.

Eddy mengatakan, merujuk pada dua buku soal pembuktian, maka kualifikasi menentukan seseorang dapat dikatakan ahli atau tidak.

Kategori kualifikasi dibagi lagi menjadi dua aspek, yakni berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari bangku pendidikan yang resmi.

"Ketika bicara TSM (kecurangan terstruktur, sistematis dan masif), saya menulis buku soal pelanggaran HAM, pengantar hukum pidana internasional dan kalau melihat yang saya ungkapkan dalam keterangan ahli, saya lebih banyak mengutip persoalan hukum pembuktian," kata Eddy.

Kemudian Eddy juga menjawab jumlah buku yang telah ia tulis.

Ia meminta Bambang melihat daftar buku dalam dokumen CV yang ia serahkan ke MK.

"Kalau saudara tanya sudah berapa buku, saya kira tadi sudah melampirkan CV. Ada berapa buku, ada berapa jurnal internasional. Silakan. Nanti bisa diperiksa," tutur dia.

"Kalau saya sebutkan mulai dari poin satu sampai poin 200 nanti sidang ini selesai. Jadi bukan persoalan kualifikasi saya," ujar Eddy.

Lalu Bambang menanyakan berapa banyak buku dan jurnal internasional yang ditulis oleh Eddy terkait persoalan pemilu.

"Sekarang saya ingin tanya, saya kagum pada sobat ahli tapi pertanyaannya, Anda sudah tulis berapa buku yang berkaitan dengan pemilu, yang berkaitan dengan TSM (kecurangan terstruktur, sistematis dan masif)?" ujar Bambang dalam sidang lanjutan sengketa pilpres di gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2019).

"Tunjukkan pada kami bahwa Anda benar-benar ahli.

Bukan ahli pembuktian, tetapi khusus pembuktian yang kaitannya dengan pemilu," kata dia.

Awalnya, Bambang menuturkan bagaimana ahli yang IT yang ia ajukan, Jaswar Koto, dipertanyakan kredibilitasnya oleh Tim Kuasa Hukum Jokowi-Ma'ruf.

Padahal, kata Bambang, Jaswar Koto telah menghasilkan 22 buku dan ratusan jurnal terkait teknologi informasi.

"Ahli kami kemarin ditanya dan agak setengah ditelanjangi oleh kolega kami dari pihak terkait, 'apakah Anda pantas jadi ahli?' Ahli kami itu punya 22 buku yang dihasilkan, ratusan jurnal yang dikemukakan dan dia ahli untuk finger print dan iris. Dipertanyakan keahliannya," kata Bambang.

Lantas, Bambang meminta Eddy memberikan buku-buku dan jurnal yang ia tulis terkait masalah pemilu.

Sebab, menurut Bambang, Eddy merupakan ahli hukum tapi tidak pernah menulis atau menelaah persoalan kecurangan dalam pemilu.

"Berikan kami jurnal-jurnal internasional, sudah berapa banyak yang khusus mendiskusikan masalah ini dan berapa buku yang anda punya sehingga pantas disebut sebagai ahli," kata Bambang.

"Kalau itu sudah dilakukan maka kami akan menakar anda ahli yang top. Jangan sampai ahlinya di A ngomongnya B, tapi tetap ngomong ahli," ucapnya.

Sementara itu, Eddy hanya bertopang dagu menggunakan tangan kanannya saat Bambang mempertanyakan soal kredibilitasnya sebagai ahli dalam sengketa hasil pilpres.

Teuku Nasrullah sindir Eddy

Teuku Nasrullah, menyindir ahli hukum pidana Eddy.

Nasrullah menyebut, sebagai kuasa hukum terselubung Jokowi-Ma'ruf.

Nasrullah bahkan sengaja tidak memberi pertanyaan apapun untuk memberi julukan itu.

"Saya tidak mengajukan pernyataan apapun dari kuasa hukum terselubung paslon 01 ini," ujar Nasrullah dalam sidang sengketa pilpres, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jumat (21/6/2019).

Nasrullah beralasan, materi yang disampaikan oleh Eddy dalam persidangan lebih mirip eksepsi dan pleidoi.

Karena itu, menurut Nasrullah, Eddy sudah bisa duduk di jajaran kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf dalam persidangan itu.

"Saya tidak marah meski menguliti satu per satu gugatan kami seperti isi pledoi," kata Nasrullah.

Eddy mengakui dirinya memang belum pernah menulis buku yang spesifik membahas soal pemilu.

Namun, ia menekankan seorang profesor atau guru besar bidang hukum harus menguasai asas dan teori untuk menjawab segala persoalan hukum.

"Saya selalu mengatakan, yang namanya seorang guru besar, seorang profesor hukum, yang pertama harus dikuasai itu bukan bidang ilmunya," ujar Eddy dalam sidang lanjutan sengketa hasil pilpres di gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat(21/6/2019).

"Tapi yang harus pertama harus dikuasai itu adalah asas dan teori. Karena dengan asas dan teori itu dia bisa menjawab semua persoalan hukum.

Kendati memang saya belum pernah menulis secara spesifik soal pemilu," ucapnya.

Eddy mengatakan, merujuk pada dua buku soal pembuktian, maka kualifikasi menentukan seseorang dapat dikatakan ahli atau tidak.

Kategori kualifikasi dibagi lagi menjadi dua aspek, yakni berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari bangku pendidikan yang resmi.

"Ketika bicara TSM (kecurangan terstruktur, sistematis dan masif), saya menulis buku soal pelanggaran HAM, pengantar hukum pidana internasional dan kalau melihat yang saya ungkapkan dalam keterangan ahli, saya lebih banyak mengutip persolan hukum pembuktian," kata Eddy.

Kemudian Eddy juga menjawab jumlah buku yang telah ia tulis.

Ia meminta Bambang melihat daftar buku dalam dokumen CV yang ia serahkan ke MK.

"Kalau saudara tanya sudah berapa buku, saya kira tadi sudah melampirkan CV. Ada berapa buku, ada berapa jurnal internasional. Silakan. Nanti bisa diperiksa," tutur dia.

"Kalau saya sebutkan mulai dari poin satu sampai poin 200 nanti sidang ini selesai.

Jadi bukan persoalan kualifikasi saya," ujar Eddy.

Eddy juga juga menjawab keluhan Bambang yang merasa waktu yang diberikan Mahkamah Konstitusi ( MK) untuk menyelesaikan masalah sengketa pilpres terlalu singkat.

"Soal 15 saksi dalam satu hari, memang make sense juga, terstruktur, sistematis dan masif kok speedy trial? Tapi kodifikasi undang-undang pemilu kita memang sudah mengatur itu," ujar Eddy.

Menurut Eddy, Undang-Undang tentang Pemilu memang sudah mengatur bahwa penyelesaian pelanggaran pemilu dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Dugaan pelanggaran yang ditangani Bawaslu juga mencakup pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif.

Sementara, undang-undang juga mengatur bahwa penetapan hasil perolehan suara dalam pemilihan umum dapat digugat di Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian, kewenangan MK hanya sebatas mengenai hasil perolehan suara.

Selain itu, singkatnya waktu pembuktian di MK memang diatur singkat.

Kualitas pembuktian yang utama tidak ditentukan melalui pemeriksaan saksi-saksi.

Menurut Eddy, MK mencari kebenaran formal melalui hierarki bukti-bukti yang dibawa oleh para pihak yang terkait.

Eddy mengutip apa yang dikatakan Hakim Konstitusi Suhartoyo mengenai hierarki alat bukti.

"Seperti yang diterangkan Hakim Suhartoyo, keterangan saksi itu nomor tiga.

Yang pertama itu surat-surat, karena alat bukti yang terutama," kata Eddy.

Eddy juga menyinggung tidak adanya bukti P.155 yang sempat ditanyakan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

''Maka begitu dokumen P.155 tidak ada, yah selesai,''ujar Eddy.

Doktor Hukum Pidana Termuda

Melansir hukumonline, Eddy merupakan Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Yogyakarta, kelahiran Ambon, 10 April 1973.

Ia meraih gelar tertinggi di bidang akademis tersebut dalam usia yang terbilang masih muda.

Sebagai perbandingan, bila Hikmahanto Juwana mendapat gelar profesor termuda dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) di usia 38 tahun, Eddy mendapatkan gelar profesornya di usia 37 tahun dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).

“Saat SK guru besar saya turun, 1 September 2010, saya berusia 37 tahun. Waktu mengusulkan umur 36,” tuturnya.

Sukses Eddy meraih gelar profesor di usia muda tak lepas dari pencapaiannya menyelesaikan kuliah program doktoral yang ditempuhnya dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan kebanyakan mahasiswa lain.

“Orang biasanya begitu sekolah doktor baru mulai riset, saya tidak. Saya sudah mengumpulkan bahan itu sejak saya short course di Prancis. 2001 saya sempat di Prancis 3 bulan. Di Strasbourg. Jadi saya katakan kepada pembimbing saya, Prof. Sugeng Istanto, ‘Prof, saya sudah punya bahan untuk disertasi’,” ujar Eddy.

Setelah mendapat persetujuan menulis, Eddy yang pernah menjadi Asisten Wakil Rektor Kemahasiswaan UGM periode 2002 – 2007, menyelesaikan draft disertasi pertamanya pada Maret 2008.

Disertasi Eddy membahas soal penyimpangan asas legalitas dalam pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM).

Kurang dari setahun, Eddy pun siap menghadapi ujian terbuka dengan promotor Prof. Marsudi Triatmodjo – sebab Prof. Sugeng sudah meninggal terlebih dulu – dan co-promotor Prof. Harkristuti Harkrisnowo. “Jadi saya terdaftar sebagai mahasiswa doktor itu 7 Februari 2007, saya dinyatakan sebagai doktor 27 Februari 2009,” kenang Eddy.

“2 tahun 20 hari. Dan memang Alhamdulillah rekor itu belum terpatahkan,” ujarnya. (*)

Viral Seserahan Lamaran Fortuner di Pati, Terungkap Kisah Lain, Mobil Pengantin Kini Ditahan Polisi

Pujian Kuasa Hukum Prabowo ke Saksi Jokowi Bikin Seisi Gedung MK Tertawa

Nilai 02 Tidak Bisa Membuktikan Tuduhan, Yusril Ihza: Lebih Penting Mempidanakan Bambang Widjojanto

Jelang Penutupan Sidang MK, Yusril Serahkan Surat Cuti Jokowi kepada Hakim

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved