Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Pedagang Asongan Yang Jadi Perwira TNI AD Ukir Sejarah di Wall of Fame US Army Command

Semasa kecilnya jadi pedagang asongan hingga akhirnya menjadi perwira TNI AD dialami oleh Mayor Inf Alzaki.

Editor: suharno
FACEBOOK/PUSAT PENERANGAN TNI
Mayor Inf Alzaki (tengah) 

TRIBUNJATENG.COM - Semasa kecilnya menjadi pedagang asongan hingga akhirnya diterima menjadi perwira TNI AD (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat) dialami oleh Mayor Inf Alzaki

Dilansir dari laman tniad.mil.id, bahkan petinggi TNI AD yang masa kecilnya berjualan asongan itu kini telah menorehkan namanya dalam sejarah Amerika Serikat

Mayor Inf Alzaki memberikan pengabdian dan prestasi terbaiknya sehingga menjadi Perwira TNI AD pertama yang namanya tercatat di Wall of Fame US Army Command and General Staff College.

Pengalaman Mayor Inf Alzaki itu diceritakan saat diundang ke Dinas Penerangan Angkatan Darat (Dispenad), Jakarta, Kamis, (27/6/2019).

Mantan Napiter Bom Bali yang Jadi Penjual Soto: Lebih Susah Racik Bumbu Dapur Dibanding Racik Bom

PSIS Semarang Berencana Duetkan Silvio Escobar dan Marini Junior di Putaran Kedua Liga 1 2019

Untuk diketahui, pada 14 Juni 2019, Mayor Inf Alzaki berhasil mencatatkan sejarah sebagai Perwira TNI AD pertama yang mendapatkan Award dari The Simon Center.

“Selain mendapatkan Award (The Simon Center Writing Interagency), alhamdulillah dalam kesempatan yang diberikan (TNI AD), bisa menyelesaikan pendidikan di CGSC, US Army University dan Webster University,” ungkap Alzaki.

Diceritakan Alzaki, masa kecilnya sering berjualan asongan dan membantu usaha bengkel keluarga untuk membantu orang tua yang saat itu hidup pas-pasan.

“Ketika itu masih SD, karena kondisi orang tua dan sebagai anak pertama, saya terdorong membantu hanya dengan cara itu,” ujar Alzaki.

Diawal mulai mengasong, lanjut Alzaki, orang tuanya melarang dan meminta agar fokus belajar.

Namun olehnya, pemintaan itu dijadikan cambuk untuk semakin tekun belajar, sehingga dapat tetap bekerja membantu keluarganya.

“Karena saya selalu menjadi juara 1 di SD maupun SMP dan menjadi siswa teladan di daerah, mereka pun tidak melarang ataupun meminta saya berjualan atau bekerja di bengkel,” tandasnya.

“Meski hanya berjualan kelontongan, beliau ingin anak-anaknya dapat belajar dengan baik dan berprestasi,” ujar Alzaki

Dari apa yang disampaikan orang tuanya itu, dirinya pun semakin terdorong untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya termasuk mewujudkan keinginannya menjadi anggota TNI.

“Selain bapak dan ibu, yang menjadi figur kekaguman saya ketika itu adalah sosok Babinsa Kodim 0308/Pariaman yang dalam kesehariannya begitu tulus membantu masyarakat. Dari kekaguman itu juga yang mendorong saya ingin jadi TNI,” kata Alzaki kala ditanyakan tentang figur panutannya ketika masih kecil.

Jenderal (Purn) TNI Luhut Binsar Panjaitan dan Mayor Inf Paulus Panjaitan (paling kanan).
Jenderal (Purn) TNI Luhut Binsar Panjaitan dan Mayor Inf Paulus Panjaitan (paling kanan). (Facebook Pusat Penerangan TNI)

Bubarkan Koalisinya, Prabowo Persilakan Parpol Pendukungnya Bebas Nyatakan Sikap

Gus Sholah Yakin Terjadi Rekonsiliasi, Tetapi Tetap Minta Prabowo Loyal Sebagai Oposisi

Waktu terus berlalu, keinginannya untuk menjadi anggota TNI terus terpatri dan semakin memacu untuk tekun belajar serta mempersiapkan dirinya untuk masuk Akademi TNI melalui jalur SMA Taruna Nusantara (SMA TN) pada tahun 1998.

“Waktu itu, saya dapat informasi dari anaknya teman Ibu yang lebih dahulu masuk SMA TN bahwa selain lulusannya banyak yang menjadi Taruna (Akademi TNI) dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun di Luar Negeri, juga selama sekolah mendapat beasiswa,” ujarnya beri alasan.

“Dengan pola pendidikan yang ketat, di SMA TN tidak hanya belajar akademik saja, namun juga digembleng kedisiplinan, mental, kepribadian dan jasmani serta kemandirian,” terangnya.

“Sehingga itu, yang membuat saya lebih siap dalam mengikuti test dan masuk Akmil,” imbuh Alzaki.

Dikarenakan mengalami culture shock, prestasinya yang waktu itu masih berusia 16 tahun sempat tidak optimal.

“Mungkin karena itu, pertama kali saya jauh dari keluarga. Namun setelah itu, saya mencoba mengatur kembali cara belajar agar lebih baik. Termasuk selama di sekolah, saya jarang pesiar,” ucap pria kelahiran Bukit Tinggi itu.

“Selama menjadi siswa SMA TN, keinginan untuk menjadi TNI pun semakin tinggi, apalagi melihat sosok Taruna Akmil yang tidak hanya gagah namun juga cerdas dan berwibawa,” Alzaki menambahkan.

Perjuangan dan prestasi Alzaki kembali terlihat ketika dalam mengikuti pendidikan Candradimuka dirinya lulus menjadi yang terbaik dari Capratar (Calon Prajurit Taruna) Akademi TNI (Akmil, AAL dan AAU).

“Ketika wisuda jurit, saya bahagia karena dapat memberikan prestasi dan kebanggaan kepada orang tua saya yang waktu itu tidak sempat hadir,” ucapnya.

Diutarakan Alzaki, Wisuda Jurit merupakan awal perjuangan untuk menjadi Perwira TNI AD, sehingga selama pendidikan di Akmil pun dia memilih fokus belajar dan berlatih untuk mewujudkan cita-citanya itu.

“Dengan berbagai dinamika yang ada, bagi saya kehidupan di Akmil dirasakan lebih baik. Karenanya, membayangkan keluarga di kampung halaman, sampai lulus, meski diberikan kesempatan pesiar, saya lebih memilih mempersiapkan diri di Kesatrian. Ketika makan di rumah makan, saya terbayang keluarga saya makan apa di kampung,” terang Alzaki.

Alzaki kemudian menjabat sebagai Danmen Korps (Komandan Resimen Korps) Taruna.

Menurutnya, amanah jabatan selaku Danmen Korps yang diterimanya itu tidak hanya memberikan kebanggaan tersendiri, namun menuntut komitmen yang kuat agar dapat mengatur dan mengelola kehidupan Korps Taruna dari tingkat I s.d III dengan baik.

“Dengan usia masih dapat dikatakan remaja (21 tahun), para pejabat Korps Taruna, selain dituntut mampu berprestasi, juga menjadi contoh, teladan, serta penjembatan komunikasi antara Taruna dengan pengasuh melalui Mentar (Resimen Taruna) maupun Lembaga (Akmil),” imbuhnya.

Meski mengemban amanah yang cukup berat itu, akhirnya Alzaki pun berhasil lulus dengan meraih prestasi tertinggi dalam pendidikan Akmil yaitu Adhi Makayasa dan Trisakti Wiratama.

“Adhi Makayasa diberikan kepada lulusan Akademi TNI yang memiliki prestasi terbaik dari aspek akademis, jasmani, dan kepribadian, akumulasi dari mulai Capratar sampai dengan tingkat akhir,” terang dia.

“Sedangkan peraih pedang Tri Sakti Wiratama diberikan kepada lulusan Akmil atau Akademi TNI dengan prestasi terbaik dari tiga aspek diatas, namun hanya pada tingkat terakhir pendidikan,” tambah ayah dari dua orang putri itu.

Pasca lulus dari Akmil, Alzaki tidak pernah lepas mendapatkan prestasi yang terbaik mulai pendidikan kecabangan Infanteri, Komando maupun pendidikan spesialisasi yang diikutinya.

Terkait dengan capaiannya saat mengikuti sekolah di CGSC, Alzaki menerangkan bahwa keinginannya untuk mengikuti program The Master of Military Art and Science (MMAS) dari United States Army University dan Program Master Bussines of Administration (MBA) dari Webster University tidak direkomendasikan oleh dosennya di sana.

“Saya disarankan fokus menyelesaikan CGSC, karena dihadapkan alokasi waktu dan tuntutan hasil akademik di CGSC yang tinggi, tidak banyak siswa dari AS yang mengambil program MMAS bahkan program kuliah di universitas lainnya,” ujarnya.

Namun setelah mendiskusikan dengan keluarganya dan juga mendapatkan dukungan semangat dari senior dan rekannya, Alzaki pun dengan penuh keyakinan mendaftar dan mengikuti seleksi di program MMAS dan MBA.

Selama di AS, Alzaki aktif mengenalkan Indonesia, bersama kedua sahabatnya di beberapa acara seperti circle of knowledge di Park University, dimana dia mendapatkan apresiasi sertiifkat dari People to People Organization (Dispenad).

Perjuangan Siswa SD Ingin Jadi TNI AU

Sebuah kisah inspiratif muncul dari sosok Karim Maullah (10), siswa SD kelas 3. Perjuangan bocah yang sudah tak punya ibu ini patut dicontoh anak-anak Indonesia.

Bagaimana tidak, semangat Karim Maullah menimba ilmu begitu kuat. Bahkan, ia bangun dini hari dan mempersiapkan diri berangkat ke sekolah seorang diri nail KRL commuter line dari Kemayoran ke Depok.

Ibu Karim Maullah meninggal sejak 2018 karena sakit paru-paru, Sementara, ayah Karim Maullah tinggal di Manggarai.

Kini, Karim Maullah tinggal bersama nenek dan kakeknya. Kondisi neneknya yang sering sakit membuatnya ke sekolah dengan jarak jauh dilakukan sendiri. 

Setiap hari, Karim Maullah berangkat ke sekolah pukul 03.00. Karim Maullah menempuh perjalanan jauh dari tempat tinggalnya di Kemayoran, Jakarta Pusat menuju Sekolah Masjid Terminal (Master) Depok, Jawa Barat.

Setiap hari, Karim pergi ke sekolah di Depok menggunakan KRL commuter line. Tak ditemani orangtua, ia berangkat seorang diri.

Beberapa hari ini, cerita Karim Maullah viral di media sosial.

Dalam foto yang beredar, Karim saat itu duduk di bangku KRL dengan seragam sekolahnya dan beralaskan sandal karena ia tak punya sepatu.

Kisah perjuangan Karim Maullah menimba ilmu disampaikan oleh sang neneknya, Diana (61).

Kompas.com (Jaringan TribunJateng.com) bertemu dengan nenek Karim, Diana (61) yang saat itu sedang menjemput cucunya pulang dari Sekolah Master yang terletak di samping Terminal Depok.

Diana menceritakan bagaimana Karim akhirnya berani berangkat sekolah seorang diri dengan menempuh perjalanan jauh.

Ia mengatakan, pada awal masuk sekolah, mulanya Karim diantar jemput olehnya.

“Cuma karena saya sakit pengapuran dan sempat dirawat di rumah sakit akhirnya Karim berangkatnya sendirian,” ucap Diana sambil tersenyum tipis.

Ia mengaku sempat khawatir lantaran membiarkan anak sekecil Karim harus naik KRL sendirian tanpa pengawasan siapa-siapa.

Namun, kekhwatiran tersebut hilang oleh kemauan dan semangat Karim untuk menimba ilmu.

“Karim bilang ke saya, 'Sudah tidak apa-apa, Nek, aku berangkat sendiri, aku berani kok. Nenek sembuh aja ya dulu',” ucap Diana menirukan perkataan Karim sambil meneteskan air mata.

Akhirnya Karim sering berangkat sendiri ke sekolah.

Diana menyempatkan diri menjemput Karim jika kakinya tidak sedang sakit parah, meski saat ini pun ia masih harus menggunakan tongkat untuk berjalan.

Bangun pukul 03.00 Diana mengatakan, semangat Karim untuk sekolah sangat lah tinggi.

Karim bangun tidur dan mempersiapkan keperluannya sendiri untuk sekolah sejak pukul 03.00 WIB.

“Dia yang bangunin saya Mbak tiap hari kalau mau berangkat, ‘Nek bangun, Nek, aku mau sekolah, aku sudah siap,’ ” kata Diana.

Karim pun berangkat subuh dari Stasiun Kemayoran diantar oleh kakeknya yang bekerja sebagai tukang ojek.

“Kakeknya mah nganter sampai stasiun, nanti dia yang beli tiket sendiri dan jalan sendiri sampai sekolahan,” ucapnya.

Dari Stasiun Kemayoran, Karim menempuh perjalanan 1,5 jam sampai ke Stasiun Depok Baru.

Dari stasiun, ia berjalan kaki sejauh 550 meter atau sekitar 7 menit menuju Sekolah Master.

Sejak kecil, Karim sudah tinggal bersama kakek dan neneknya.

Ibu Karim meninggal tahun 2018 karena sakit paru-paru, Sementara, ayah Karim tinggal di Manggarai.

Menurut Diana, sejak kecil Karim biasa ditinggal pergi oleh orangtuanya karena sibuk dengan urusan masing-masing.

“Jadi seperti tidak ada yang peduli sama Karim, saya kasihan sama ini anak. Tapi sekarang jadi banyak yang sayang sama Karim,” ujar Diana.

Diana bercerita, saat masih bayi, Karim kerap keluar masuk rumah sakit akibat mengalami gizi buruk.

"Dulu Karim ini bayi gizi buruk, badannya kurus banget. Sejak kecil enggak diperhatikan orangtuanya, makanya langsung saya ambil dan urus dia sejak bayi," kata dia.

Awalnya, Diana bersama sang cucu tinggal di daerah Situ Lio, Depok.

Namun, sejak tahun 2016, ia bersama sang cucu pindah ke daerah Kemayoran, Jakarta Pusat.

Dengan hasil botol-botol bekas yang dipungutnya, Diana bisa menghidupi kebutuhan sehari-hari.

Setiap pulang sekolah, Karim selalu menyempatkan diri membantu neneknya untuk memunguti botol-botol bekas tersebut.

“Ditambah saya kan lagi sakit, dia yang jalan kadang pulang sekolah ngangkutin botol-botol bekas. Dia tuh tahu banget kalau neneknya lagi sakit, kakinya dipijetin,” ucapnya.

Diana berharap cucunya dapat menjadi orang yang sukses.

Diana mengungkapkan cucunya tersebut bercita-cita menjadi seorang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara ( TNI AU). 

Karim mempunyai impian menjadi tentara karena suka menonton film perang.

“Dia itu suka film perang terus dia selalu bilang ke saya, “Nek, aku nanti mau jadi TNI supaya bisa lindungi Indonesia dan orang banyak',” ucap Diana.

Diana selalu berdoa cucunya dapat menggapai cita-citanya.

“Saya mah hanya bisa berdoa saya bisa sekolahin dia sampai nanti dia jadi tentara biar buktiin ke orang-orang kalau orang kecil juga bisa sukses,” tuturnya.

*Artikel ini telah tayang di tniad.mil.id dengan judul 'Sisi Lain Perjuangan Mayor Inf Alzaki Dari Jualan Asongan Sampai Catatkan Sejarah di AS'

Sumber: Surya
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved