Jokowi Setuju KPK Bisa Hentikan Penyidikan tapi Penyadapan Tak Perlu Koordinasi dengan Kejaksaan
Di tengah kontroversi revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Presiden Joko Widodo memberi dukungan terhadap langkah tersebut.
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Di tengah kontroversi revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Presiden Joko Widodo memberi dukungan terhadap langkah tersebut.
Ada tiga hal yang diusulkan pemerintah terkait revisi yaitu soal Dewan Pengawas (DP) KPK, wewenang menghentikan penyidikan, dan status pegawai KPK.
"Terhadap isu lain saya mempunyai catatan dan pandangan berbeda terhadap substansi yang diusulkan oleh DPR," kata Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Jumat (13/9).
Dalam kesempatan itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) didamping Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Kepala Staf Presiden Muldoko.
"Pertama perihal keberadaan Dewan Pengawas memang perlu karena semua lembaga negara, presiden, MA, DPR bekerja dalam prinsip check and balances, saling mengawasi.
Hal ini dibutuhkan untuk meminimalkan potensi penyalahgunaan kewenangan," ujar Jokowi.
Presiden mencontohkan dirinya diawasi dan diperiksa Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan DPR.
"Dewan Pengawas saya kira wajar dalam proses tata kelola yang baik," tambah Presiden.
Dewan Pengawas itu nantinya dipilih oleh presiden, beranggotakan tokoh masyarakat, akademisi atau pegiat antikorupsi namun bukan politisi, bukan birokrat, atau aparat penegak hukum aktif.
Calon Anggota Dewan Pengawas dijaring oleh panitia seleksi.
"Saya ingin memastikan transisi waktu yang baik agar KPK tetap menjalankan kewenangannya sebelum keberadaan Dewan Pengawas," ujar Presiden.
Kedua, mengenai penerapan wewenang KPK menghentikan penyidikan melalui penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Dalam UU KPK yang ada saat ini KPK tidak boleh menghentikan penyidikan.
Menurut Jokowi, keberadaan SP3 juga diperlukan sebab penegakan hukum harus menghormati prinsip-prinsip hak azasi manusia dan kepastian hukum.
"Dalam RUU yang disusun DPR, diberikan waktu maksimal 1 tahun untuk mengeluarkan SP3, kami minta 2 tahun. Supaya ada waktu memadai bagi KPK. Penting memberi kewenangan KPK untuk menerbitkan SP3 yang bisa digunakan ataupun tidak digunakan," kata Presiden.
Sedangkan mengenai status kepegawaian di KPK, Jokowi mengusulkan agar mereka menjadi aparatur sipil negara, seperti halnya pegawai di Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Ketiga, pegawai KPK adalah aparatur sipil negara yaitu PNS atau P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) hal ini juga terjadi di lembaga-lembaga lain yang mandiri seperti MA, MK, dan lembaga independen lain seperti KPU serta Bawaslu," tambah Presiden.
Namun Jokowi menekankan agar pelaksanaannya perlu masa transisi memadai dan dijalankan penuh kehati-hatian. "Penyelidik dan penyidik KPK yang ada saat ini masih terus menjabat dan mengikuti proses transisi menjadi ASN," katanya.
Tak setuju 4 hal
Sebaliknya Jokowi tidak setuju mengenai empat usulan dalam revisi UU KPK yang diajukan DPR.
"Saya tidak setuju jika KPK harus memperoleh izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan.
Misalnya harus izin ke pengadilan, tidak. KPK cukup memperoleh izin internal dari Dewan Pengawasan untuk menjaga kerahasiaan," kata Presiden.
Kedua, ia tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan.
"Penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur ASN yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain. Tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar," ungkap Presiden.
Ketiga, Presiden tidak setuju KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan karena sistem penuntutan saat ini sudah baik, sehingga tidak perlu diubah.
"Keempat, saya juga tidak setuju perihal pengelolaan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) dikeluarkan dari KPK dan diberikan kepada kementerian/lembaga lain. Tidak. Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK," kata Jokowi.
Revisi UU No 30 Tahun 2002 mendapat sorotan tajam karena dinilai tertutup dan dikebut. Rapat paripurna DPR pada 3 September 2019 menyetujui revisi UU KPK yang diusulkan Badan Legislatif (Baleg) DPR.
Presiden lalu menandatangani surat presiden (surpres) revisi UU tersebut pada 11 September 2019 meski ia punya waktu 60 hari untuk mempertimbangkannya. DPR dan pemerintah lalu mempercepat pembahasan revisi UU KPK agar dapat selesai pada 23 September 2019.
Baleg DPR menegaskan tidak memerlukan masukan masyarakat maupun KPK dalam pembahasan RUU tersebut.
Jokowi mengaku tetap ingin KPK berperan sentral dalam pemberantasan korupsi. "Saya telah memberikan arahan kepada Menkumham dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokraksi (PAN-RB) agar menyampaikan sikap dan pandangan pemerintah terkait subtansi revisi UU KPK," katanya.
Menurutnya KPK harus lebih kuat dibandingkan lembaga lain dalam pemberantasan korupsi.
Oleh karena itu ketika ada inisiatif DPR mengajukan RUU KPK, tugas pemerintah adalah merespon, menyiapkan daftar isian masalah (DIM) dan menugaskan menteri untuk mewakili presiden dalam pembahasan bersama DPR. (tribunnetwork/sen)