Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Banyak Cakades Suami Istri, Menantu Mertua hingga Saudara Kandung, Ini Tanggapan Amirudin

Amirudin, Ketua Program Studi (Prodi) Antropologi Universitas Diponegoro Semarang memberikan tanggapan terkait majunya pasangan suami-istri, menantu

Penulis: amanda rizqyana | Editor: muh radlis
IST
Amirudin, Ketua Program Studi (Prodi) Antropologi Universitas Diponegoro Semarang 

Ia menduga, ketika jabatan kepala desa bukan diposisikan sebagai kepala pemerintahan saja, lengkap dengan sumberdaya keuangan yang bagus, tetapi juga sebagai jabatan yang bernilai tanda atau symbolic value yang tinggi, ini yang makin mengokohkan niatan keras untuk mendapatkannya.

Ketiga, tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran terbuka yang memang umumnya masih banyak dialami di desa desa.

Sementara beban biaya pengeluaran keluarga untuk pendidikan, kesehatan, makan dan minum, tempat tinggal, dan lain sebagainya perlu pemenuhan secara berkelanjutan.

Dan karenanya, kepala desa termasuk jabatan yang dipersepsi menjanjikan.

Maka, kepala desa selalu akan dijadikan sebagai arena pertarungan antar klan guna meraih kesejahteraan klan.

Di bagian ini, kebiasaan meraih kekuasaan karena urusan perjuangan klan memang bisa menimbulkan efek paradoks karena sesungguhnya tata kelola pemerintahan desa sekarang ini telah berubah bergeser menuju ke tata kelola yang modern.

Dalam prakteknya kelak, kepala desa harus mampu mengimplementasikan pola pemerintahan yang sekarang disebut "governance belong to people".

"Dalam konteks itu, tata kelola penyelenggaraanya harus mampu menunjukan ada akuntabilitas, karakter transparansi, sifat partisipatif dengan strong legal basis, good commitment, dan inklusif," terangnya.

Amirudin menegaskan, jika proses pemilihan kepala desa pun tidak diimbangi dengan prinsip-prinsip memilih calon kepala desa yang sesuai dengan matra dan suasana tata kelola pemerintahan yang seperti itu, maka bukan mustahil, modal ekonomi dan modal kelembagaan yang telah diberikan pemerintah pusat akan menjadi modal yang mati (the dead capital), karena gagal dikelola menjadi the liquid capital yang memajukan dan mensejahterakan desa karena kegagalan sang pemimpin dalam mengurusnya.

"Maka dalam konteks itu, selain kriteria aksebilitas dan integritas, perlu diimbangi pula tolak ukur kapasitas," pungkasnya. (arh)

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved