Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Penonton ILC Aplaus saat Tengku Zulkarnain Sebut Aset First Travel Harus Dikembalikan ke Nasabah

Wasekjen MUI KH.Tengku Zulkarnain khawatir jika kasus first travel ini membuat masyarakat tidak percaya lagi hukum di Indonesia

Penulis: Ardianti WS | Editor: abduh imanulhaq
Capture Indonesia Lawyers Club
ILC Riuh Tepuk Tangan saat Tengku Zulkarnain Sebut Aset First Travel Harus Dikembalikan ke Nasabah 

TRIBUNJATENG.COM- Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH.Tengku Zulkarnain khawatir jika kasus first travel ini membuat masyarakat tidak percaya lagi hukum di Indonesia.

Hal itu diungkapkan Tengku Zulkarnain di acara ILC yang tayang pada Selasa (19/11/19).

Mulanya, Tengku Zulkarnain membahas soal progresif law ada restorative justice.

4 Anggota TNI Raih Suara Terbanyak Pilkades di Kudus, Begini Nasibnya di Militer

Ini Daftar UMK Jateng 2020 Kabupaten Kota di Jawa Tengah, Resmi Diumumkan Ganjar Pranowo

3 Tahun Jadi Ambassador, Nikita Mirzani Mengaku Langsung Cuci Muka Setelah Promosikan Skin Care M

Ahok Singgung Anggaran Lem : Kita Mainnya Bukan Aibon sama Pulpen Sih

"Kami memandang persoalan ini dari majelis ulama Indonesia, bahwa di islam itu ada progresif law ada restorative justice," ujarnya.

Tengku Zulkarnain mengatakan bahwa progfresif law menegakkan hukum secara formil dan materiil, dan ada restorative justice, dan kini negara maju sudah menggunakan hal itu

Kemudian ia menjelaskan restorative justice yang kini sudah digunakan oleh negara-negara maju.

"Dan ada restorative justice, yang sekarang negara-negara maju sudah mengambilnya," tambahnya.

Zulkarnain mencontohkan bagaimana restorative justice bekerja.

"Misalnya kalau ada terjadi denda di pengadilan ,dendanya itu untuk korban. Bukan untuk negara," ujarnya.

Restorative justice berdasarkan keterangan Zulkarnain sudah terlebih dahulu dilakukan oleh Islam sejak lama.

"Islam sudah 14 abad melakukan itu," kata Zulkarnain.

Lalu mencontohkan bagaimana restorative justice bekerja dalam Islam.

Dalam Islam ketika ada kasus, denda yang dibebankan kepada pelaku nantinya akan diserahkan kepada korban.

"Misalnya kita nabrak orang enggak sengaja mati," jelas Zulkarnain.

"Itu kan dihukum di pengadilan dibayar diyat 100 ekor unta, Rp 5 miliar, duitnya itu oleh negara diambil sebentar saja terus diserahkan kepada korban," imbuhnya.

Zulkarnain kemudian menjelaskan bahwa seharusnya aset tidak diambil oleh negara.

"Bukan diambil negara, lalu digunakan oleh negara," kata Zulkarnain.

Tujuan dari restorative justice menurut Zulkarnain adalah menjadi kompensasi bagi para korban.

"Jadi hukumnya itu restorative justice, jadi ada pengobat luka bagi korban," ujarnya.

Zulkarnain mengatakan jika negara selalu melakukan perampasan aset, akan sedikit orang yang mau melapor kasus ke pengadilan.

"Kalau misal setiap penipuan itu dilakukan perampasan oleh negara, nanti orang yang tertipu enggak mau berpengadilan ke negara," ujarnya.

Zulkarnain mengkhawatirkan jika itu terus terjadi, maka yang akan terjadi adalah main hakim sendiri karena tidak percaya dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

"Nanti kalau mengadu ke negara, kehilangan kambing jadi kehilangan kerbau, main selesaikan di jalan aja, orang tidak percaya lagi," tambahnya.

Zulkarnain menghimbau agar pemerintah juga menggunakan hati nurani dalam menangani kasus First Travel.

Menurutnya, seharusnya negara meikirkan nasib korban First Travel yang tertipu kehilangan uang dan mengharapkan uangnya dapat kembali saat melakukan pengaduan ke pengadilan.

"Oleh karena itu dalam hal ini kita majelis ulama menghimbau pakai nurani juga," jelas Zulkarnain.

Zulkarnain berharap Indonesia menerakpkan restorative justice dan mengembalikan aset First Travel ke seluruh korban yang tertipu.

"Dan tentu saja kalau ini restoravite justice, seluruh uang nasabah yang berhasil diselamatkan dari first travel wajib dikembalikan kapada nasabah," katanya.

menurutnya, umrah hanya diatur dalam peraturan menteri.

"Sehingga ketika terjadi kasus seperti ini, tidak kuat tidak ada undang-undangnya," ujarnya.

Diketahui, putusan Mahkamah Agung (MA) menguatkan vonis Pengadilan Negeri Depok dan Pengadilan Tinggi Bandung bahwa aset First Travel dirampas negara.

Terkait hal itu, kuasa hukum korban First Travel mengatakan, pihaknya akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam waktu dekat.

"Klien kami dalam waktu dekat akan mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan Mahkamah Agung RI," kata Chief Communications DNT Lawyers, Dominique dalam siaran pers, Selasa (19/11/2019).

Dominique mengatakan, peninjauan kembali sejalan dengan pernyataan dari Jaksa Agung bahwa putusan kasasi First Travel bermasalah.

Seharusnya secara hukum sesuai dengan Pasal 67 UU TPPU jo Pasal 46 KUHAP aset hasil tindak pidana dikembalikan kepada yang berhak, yakni para korban biro travel tersebut.

"Kami sepakat dengan pernyataan Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin yang menyatakan Putusan Kasasi First Travel bermasalah. Seharusnya secara hukum, aset barang bukti pada kasus ini diserahkan kepada korban.

Tidak hanya itu, kuasa hukum korban juga mendukung sikap Kejaksaan Agung yang akan menunda proses eksekusi aset First Travel.

"Terkait hal ini secara formal, Penasehat Hukum akan mengirimkan surat permohonan penundaan eksekusi kepada Kepala Kejaksaan Negeri Depok," ujar dia.

Adapun pengajuan PK tersebut bukan serta-merta diajukan. Dominique mengatakan, sebagai kuasa hukum pihaknya telah menemukan bukti baru dan kekeliruan majelis hakim tingkat pertama.

"Secara detil akan kami sampaikan kemudian saat pengajuan peninjauan kembali dalam 2 minggu ke depan," pungkasnya.

Sebelumnya diberitakan, Mahkamah Agung ( MA) menguatkan vonis yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Depok dan Pengadilan Tinggi Bandung dalam perkara First Travel.

Dalam putusan Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 Tahun 2019 yang dibacakan pada 31 Januari 2019, majelis hakim yang dipimpin Andi Samsan Nganro memutuskan agar barang bukti yang disita dalam perkara tersebut dirampas untuk negara.

"Bahwa sebagaimana fakta dipersidangan barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan oleh para terdakwa dan disita dari para terdakwa yang telah terbukti selain melakukan tindak pidana 'penipuan' juga terbukti melakukan tindak pidana 'pencucian uang' oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP barang-barang bukti tersebut dirampas untuk negara," demikian bunyi putusan tersebut seperti dilansir Kompas.com dari laman resmi Mahkamah Agung, Senin (18/11/2019). (*)

6 Fakta Meninggalnya Lelhy Arif Istri Spaso Bali United, Dimakamkan di Makassar atau Jakarta?

Angin Puting Beliung Robohkan Bangunan SMKN 1 Miri Sragen, Sejumlah Siswa Tertimpa Material

Patrick Mota Jalani Latihan Terakhir Bersama PSIS, Ini Tujuan Selanjutnya

Berita Duka, Kopilot Wings Air Nicolaus Anjar Asal Karanganyar Meninggal Dunia, Diduga Bunuh Diri

 

 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved